Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai produk regulasi itu dapat mempercepat aksi pemerintah melakukan perampasan aset masyarakat.
Manajer Kajian Kebijakan Eknas Walhi, Satrio Manggala mengatakan, kebijakan itu secara historis memang dikhususkan bagi kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN). Kebijakan sebelum-sebelumnya memiliki warna seirama, yakni bermula dari penerbitan Perpres 56/2017 dan kemudian direvisi melalui Perpres 62/2018. Pada perkembangan terakhir direvisi melalui Perpres 78/2023.
“Peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional. Jika Perpres 56/2017 spesifik ditujukan untuk PSN, maka kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN,” kata Satrio Manggala melalui siaran pers Walhi.
Secara norma, Perpres 78/2023 memiliki kesamaan dengan perpres sebelumnya. Satrio Manggala menilai perspektif yang dituangkan dalam norma Perpres 78/2023 semakin memperlihatkan kesesatan logika hukum Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Pada masa akhir pemerintahan, Jokowi sengaja mempertahankan logika hukum sesat yang bertentangan dengan Konstitusi RI. Walhi mencatat beberapa masalah fundamental dalam peraturan tersebut,” katanya.
Satrio Manggala berpandangan, dalam beleid itu Jokowi gagal memahami makna Hak Menguasai Negara (HMN). Dalam Perpres 78/2023, Jokowi membuat penyesuaian dengan UU Cipta Kerja lewat penambahan hak baru pada tanah negara yaitu, tanah dalam pengelolaan pemerintah. Pasal 3 ayat (2) menunjukkan kesesatan ini dengan menganggap Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah memiliki tanah.
Padahal menurut dia, hal itu jauh dari pengertian HMN dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Putusan MK No. 35/PUU-X/2012; Putusan MK No. 50/PUUX/ 2012; dan Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010. Putusan-putusan itu sepaham menyatakan bahwa negara tidak dalam posisi memiliki sumber daya alam termasuk tanah, melainkan hadir untuk merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).
Kekeliruan kedua Jokowi juga karena menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Semisal Pasal 4 huruf b Perpres 62/2018 dinilai memperlihatkan ketidakberpihakan negara pada rakyat di tengah meluasnya konflik agraria dengan ragam kompleksitas masalah.
Satrio Manggala mencontohkan konflik agraria di Pulau Rempang, menurutnya bukan rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah, melainkan negara abai terhadap pengakuan dan perlindungan hak atas tanah yang dikuasai rakyat secara turun temurun. Pada konflik-konflik agraria lain yang melibatkan entitas badan pemerintahan atau badan usaha milik negara, perpres 78/2023 kata dia, berpotensi mencerabut hak atas tanah rakyat.
“Ketidakpahaman Presiden dalam memahami konsepsi negara hukum dan sejarah konflik agraria yang berakar dari kekeliruan memaknai Hak Menguasai Negara mengaburkan fakta keberadaan masyarakat yang memanfaatkan suatu bidang tanah dalam pengelolaannya jauh sebelum suatu entitas badan pemerintahan, badan hukum, atau badan usaha milik negara hadir mengambil alih tanahnya,” katanya.
Walhi mencatat terdapat sejumlah kekeliruan lain dalam aturan dimaksud. Misalnya mengenai mengaburkan posisi keberadaan dan hak masyarakat yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan dari negara dalam menguasai dan mengelola tanah. Kemudian, menyederhanakan masalah dalam konflik agraria lewat solusi ‘penanganan dampak sosial kemasyarakatan’ dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional melalui uang dan/atau pemukiman kembali.
Sebab itu, Satrio Manggala mendesak Jokowi untuk segera mencabut Perpres 78/2023 demi menghindari konflik sosial dan ekologis skala besar di berbagai tempat di Indonesia.
“Perpres 78/2023, yang salah satunya menambahkan pemberian kewenangan kepada badan yang memiliki kewenangan pengusahaan pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas akan bisa menjadi legitimasi,” katanya.
“Misalnya pada konflik agraria seperti di Pulau Rempang, di mana Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) akan dengan mudah mempercepat pengusiran masyarakat Rempang yang hingga hari ini masih mempertahankan ruang hidupnya dengan menggunakan beleid ini,” sambugnya.
Baca Juga:
Ganjar Pranowo Capres Pertama yang Diterima Sri Sultan Hamengku Buwono X
Paket Kokain Senilai Rp4,6 Triliun Ditemukan Terdampar di Pantai Australia
TNI AL Gagalkan Penyelundupan 3,3 Kg Sabu di Perairan Sebatik