Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan seluruh hakim MK yang berjumlah sembilan, terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip kepantasan dan kesopanan.
Ketua MKMK Jimly Asshidiqie yang membacakan putusan mengatakan, keputusan itu karena seluruh hakim MK terbukti tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Tak hanya itu, MKMK menilai para hakim itu membiasakan praktik pelanggaran benturan kepentingan sebagai sesuatu yang wajar. Atas pelanggaran itu, MKMK menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor.
Keputusan itu tertuang dalam putusan nomor 5/MKMK/L/10/2023 terkait laporan pelanggaran etik dengan terlapor enam hakim. Yaitu, Manahan M. P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M. Guntur Hamzah.
“Menimbang bahwa berdasarkan uraian duduk perkara, fakta-fakta yang terungkap dalam rapat dan sidang pemeriksaan, serta pertimbangan hukum dan etika di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Majelis kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi in casu Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” ujar Jimly Asshiddiqie dalam sidang pengucapan putusan MKMK yang disiarkan secara virtual, Selasa (7/11/2023).
Jimly menilai para hakim tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan, termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pakewuh. Imbasnya, kesetaraan antar hakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi.
“Dengan demikian, para Hakim Terlapor secara bersama-sama terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Penerapan Angka 1,” katanya.
Putusan tersebut terkait laporan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI), Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani, serta Alamsyah Hanafiah.