Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak Anwar Usman mundur dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) setelah lembaga penjaga konstitusi itu mengabulkan permohonan uji materi soal syarat capres/cawapres.
Mereka menilai, di bawah kepemimpinan Anwar Usman, MK justru menjelma menjadi lembaga yang tidak independen serta cenderung mendukung pemerintah dan/atau DPR. Anwar Usman bersikeras tidak mundur dari majelis hakim yang akan memutus isu dengan substansi terkait atau berpotensi menguntungkan keluarganya, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.
PSHK mengkhawatirkan jika Anwar Usman tetap menjabat sebagai ketua dan hakim konstitusi, maka kepercayaan publik terhadap MK akan terus merosot.
“Keberadaan Ketua MK Anwar Usman yang ikut memutus perkara ini, bagaimanapun sarat akan konflik kepentingan, sebab perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara eksplisit menyebutkan upaya untuk mendorong Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan keponakan Anwar Usman atau masih memiliki hubungan keluarga dengan yang bersangkutan, berkontestasi menjadi calon presiden atau calon wakil presiden,” demikian keterangan tertulis PSHK.
Diketahui, pada Senin (16/10/2023), dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Yaitu, dengan menafsirkan syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi, ‘… berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,”.
Atas posisinya dalam penanganan perkara tersebut, Anwar Usman telah melanggar Prinsip Ketidakberpihakan Sapta Karsa Hutama, sebagaimana Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Menurut prinsip itu, hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara jika dianggap tidak dapat bersikap netral.
Sebab, anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan. Menurut mereka, Anwar Usman semestinya menyatakan mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara a quo.
PSHK menilai pertimbangan dan amar putusan tersebut memperlihatkan bahwa MK semakin kesasar (tersesat). MK telah menggadaikan kredibilitas dan muruahnya sebagai the guardian of the constitution dengan para hakim bersikap inkonsisten. Para hakim yang sebelumnya menolak permohonan putusan Nomor 29-51-55/ PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy, mendadak berubah pandangan secara drastis.
Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan substansi persoalan yang sama, para hakim tersebut justru mengabulkan untuk sebagian dan memberikan tambahan norma baru pada syarat capres-cawapres.
“Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat indikasi desakan, ancaman, ataupun intervensi yang potensial mengganggu independensi hakim konstitusi tersebut. Lebih daripada itu, MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy, yang berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK,” demikian keterangan tertulis PSHK.
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 malah membawa MK masuk ke dalam urusan pembentukan kebijakan yang seharusnya menjadi ranah pembentuk undang-undang. PSHK memandang, nuansa politik yang kental sudah terlihat dalam permohonan pengujian UU 17/2017 tentang Pemilu itu karena mengupayakan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, memenuhi kualifikasi pencalonan capres-cawapres.
“Prasyarat menjadi capres-cawapres disesuaikan agar Gibran memperoleh privilege untuk dapat ikut berkontestasi di Pilpres 2024,” katanya.