Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menilai pemerintah tidak boleh mengintervensi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi batas minimum usia calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres).
“Bahwa pemerintah tidak boleh mencampuri urusan persidangan ataupun independensi peradilan,” kata Fahri kepada Asumsi.co, Senin (25/9/2023).
Fahri berujar, agar pemerintah membiarkan Mahkamah yang menentukan apakah uji materi itu berkenaan dengan isu konstitusional yang mesti diputuskan oleh MK.
“Jadi kalau saya kira pemerintah lewat Menkopolhukam itu sudah benar, tidak akan mencampuri dan tidak boleh, proses hukum yang saat ini sedang berlangsung di MK,” katanya.
Kendati begitu, Fahri menjelaskan bahwa idelanya batas usia capres/cawapres bukan diputuskan MK. Akan tetapi dibahas di legislatif, dalam hal ini DPRI.
Sebab masalah menyangkut batas usia capres/cawapres berkenaan dengan pengaturan mengenai pejabat publik. Di mana menurut Fahri, hal itu perupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.
“Jadi sifatnya open legal policy, jadi mestinya MK tidak menilai sampai sejauh itu. Kecuali pengaturan yang sifatnya open legal policy itu sendiri, sesuai dengan putusan MK itu nyata-nyata melanggar prinsip-prinsip misalnya tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukanoleh DPR,” katanya.
“Ya idealnya DPR,” sambungnya.
Fahri menerangkan, MK bisa menimbang suatu kebijakan jika kebijakan itu melanggar konstitusi yang diisyaratkan dengan melanggar sejumlah prinsip.
“Melanggar prinsip-prinsip rasionalitas, kemudian melanggar keadilan interoable, yang gitu-gitu. Kalau yang seperti itu terjadi, ya UU itu boleh dinilai oleh MK karena melanggar prinsip-prinsip tadi,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md mengatakan pemerintah tidak akan mengintervensi keputusan MK dalam masalah uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), khususnya mengenai batas usia capres dan cawapres.
Mahfud mengatakan MK adalah sebuah lembaga yang hanya bisa membatalkan aturan kalau salah dan tidak berwenang untuk membuat atau mengubah aturan.
“Itu standar ilmiahnya (MK) sejak tahun 1920, ketika MK pertama kali berdiri di dunia yakni di Austria tepatnya; yang diputus oleh MK itu bukan aturan yang tidak disenangi orang, tetapi yang melanggar konstitusi,” ujar Mahfud, dilansir Antara.
Apabila sebuah aturan tidak melanggar konstitusi, maka kata Mahfud, MK tidak boleh membatalkan atau mengubah aturan tersebut karena lembaga yang berwenang untuk mengubah aturan adalah legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Kalau menyangkut open legal policy, politik hukum yang sifatnya terbuka, maka MK boleh tidak menerima. Tidak menerima dengan menolak itu sangat berbeda. Kalau menolak artinya permohonan ditolak, sedangkan tidak menerima berarti dikembalikan untuk proses di lembaga lain atau proses baru,” ujarnya.
Tercatat terdapat tiga perkara menyangkut uji materi terhadap batas usia capres/cawapres ini. Perkara pertama teregister dengan Nomor 55/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa. Dalam petitumnya, mereka menggugat Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berkaitan dengan batas usia capres-cawapres.
Erman Safar dan Pandu Kesuma Dewangsa meminta frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam pasal tersebut diganti menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara”.
Kemudian, ada perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda Yohanna Murtika. Keduanya menggugat Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Pada petitumnya, Ahmad Ridha Sabana dan Yohanna Murtika meminta frasa “berusia paling rendah 40 tahun” dalam pasal tersebut diganti menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah”.
Selanjutnya, perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan atas nama Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menggugat pasal yang sama. PSI dalam petitumnya meminta batas usia capres-cawapres diubah menjadi 35 tahun.
Baca Juga:
Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Presiden Jokowi Minta Mahkamah Konstitusi Jadi Wasit yang Adil Saat Pemilu 2024
Usai Batas Minimum, Kini Muncul Gugatan Batas Usia Maksimal Capres dan Cawapres 70 Tahun