Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyayangkan sikap sejumlah Guru Besar Ilmu Kedokteran dari berbagai universitas ternama yang mengkritisi, soal Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan.
Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan, kritik tersebut disampaikan hanya berdasarkan provokasi dan fakta sesat yang diembuskan oleh pihak-pihak tertentu.
“Kami menyesalkan para guru besar tersebut tidak membaca dan tidak tabayun mencari fakta sebenarnya terkait RUU Kesehatan,” ujar Syahril dalam keterangannya, Senin (11/7/2023).
Ia menambahkan, penolakan terhadap RUU Kesehatan hanya didasarkan pada kabar bohong yang beredar di WhatsApp (WA) Group.
RUU Kesehatan, lanjut dia disusun untuk membuat masyarakat lebih mudah mengakses dokter serta memperoleh pengobatan dan layanan kesehatan yang murah. Misalnya, isu yang diembuskan para guru besar terkait terminologi dan waktu aborsi.
“Padahal masalah aborsi sudah diatur dalam UU KUHP yang baru dan RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangan. Isu lain yang salah kaprah terkait kebijakan genomik,” ucapnya.
Lebih lanjut, Syahril mengatakan pengobatan presisi secara genomik sudah umum di negara lain. Bahkan, di Indonesia sudah jauh ketinggalan.
“Malaysia dan Thailand sudah memulainya lebih dari lima tahun lalu. Kenapa guru besar ini keberatan dengan ilmu baru ini? Kemenkes siap menerima para guru besar untuk berdiskusi kapan pun agar tidak termakan hoaks dan bisa mengedukasi para mahasiswa secara akurat,” terangnya.
Sebelumnya, Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) melayangkan petisi penolakan RUU Kesehatan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI, Puan Maharani.
FGBLP mengusulkan RUU itu ditunda pengesahannya serta dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran dan semua pemangku kepentingan.
Setelah membaca, menelaah, dan mendiskusikan secara seksama berbasis evidence base tentang RUU Kesehatan, FGBLP mengidentifikasi berbagai hal serius yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi azas sosial pembuatan UU. Di antaranya, azas keterbukaan atau transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, serta kejelasan rumusan.
Kedua, tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan. Ketiga, berbagai aturan dalam RUU Kesehatan berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan dan mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.