Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan memicu polemik di tengah masyarakat, menyusul adanya rencana disetarakannya produk-produk legal seperti rokok, hasil pengolahan tembakau lainnya, hingga minuman beralkohol dengan narkotika dan psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif.
Ubah Undang-Undang: Adapun RUU Omnibus Law Kesehatan ini bakal mengubah sembilan undang-undang kesehatan yang saat ini berlaku di Indonesia. Kesembilan aturan perundang-undangan yang diubah itu antara lain:
Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Rumah Sakit, Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Keperawatan, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, dan Undang-Undang Kebidanan.
Selain itu, Omnibus Law Kesehatan juga bakal mengubah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang berkaitan dengan bidang kesehatan.
Draf Aturan: Sementara itu, soal rencana status hukum produk-produk legal seperti rokok, hasil pengolahan tembakau lainnya, dan minuman beralkohol dengan narkotika serta psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif, tercantum dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3). Padahal saat ini, narkotika dan psikotropika telah diatur oleh undang-undang tersendiri.
“Zat adiktif dapat berupa, narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya,” tulis draf rancangan aturan tersebut.
Rokok Picu Penyalahgunaan Narkoba: Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Eva Susanti mengemukakan mengonsumsi rokok elektronik rentan terjerumus melakukan tindakan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza).
“Penyalahgunaan narkoba melalui rokok elektronik sudah pernah terjadi. Data Badan Narkotika Nasional, ada orang yang memasukkan narkotika itu ke dalam rokok,” kata Eva seperti dikutip dari Antara, Jumat (14/4/2023).
Narkoba Dicampur Rokok: Menurut Eva Susanti, ada banyak jenis narkotika yang dapat dicampurkan ke dalam rokok elektronik. Ia menyebutkan, nikotin merupakan perantara penyalahgunaan napza dan hasil penelitian menunjukkan bahwa 90 persen pengguna kokain di Amerika Serikat memulai tindakannya dari merokok.
“Jadi, mudah sekali orang membuat anak-anak kehilangan masa depan, kehilangan harapan, kehilangan umur, dan kehilangan kesempatan. Anak-anak dijadikan target sebagai pasar untuk memasarkan rokok elektronik,” tuturnya.
Picu Multitafsir: Menyikapi adanya wacana ini, pakar tata negara dan hukum kesehatan Universitas Sebelas Maret Sunny Ummul Firdaus menilai, ketentuan ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif.
Pasalnya, bila dibiarkan tanpa adanya penjelasan lebih lanjut terkait aturan ini, dengan di satu sisi rokok saat ini memiliki aturan hukum tersendiri bisa memicu multitafsir.
“Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat,” tutur Sunny melalui keterangan persnya.
Perlu Pertimbangan DPR: Lebih lanjut, Sunny turut mempertanyakan maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan. Hal yang dipertanyakannya, dengan ketentuan tersebut mengarah pada ditafsirkan masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal atau malah, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal.
“Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan apa dampak yang akan muncul dari klausul zat adiktif tersebut jika disetujui,” ucapnya.