Toxic masculinity alias maskulinitas beracun dapat menghambat operasional perusahaan. Toxic masculinity merupakan anggapan yang salah kaprah tentang bagaimana seorang laki-laki harus bersikap. Misalnya, laki-laki tidak boleh menangis.
“Tentu anggapan tradisional maskulinitas seperti ini bisa mendorong perilaku negatif di tempat kerja,” ujar Direktur Eksekutif, Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita, dilansir dari Antara.
Dampak: Toxic masculinity berdampak adopsi perilaku negatif terhadap laki-laki yang berbahaya bagi perempuan, masyarakat, maupun dirinya sendiri.
Bentuk adopsi perilaku negatif bisa berupa tampilan dominasi yang tidak diinginkan dan pengambilan risiko tidak bertanggung jawab dan kebencian terhadap perempuan. Bahkan, perilaku bias yang negatif tersebut bisa tertanam dalam bawah sadarnya.
Hasil survei: IBCWE merilis hasil survei Toxic Masculinity pada Februari 2022 guna memotret peran maskulinitas salah kaprah dalam dinamika kesetaraan gender di tempat kerja. Survey ini memetakan 10 toxic masculinity yang ada di dunia kerja di Indonesia dan kebanyakan responden setuju dengan adanya maskulinitas salah kaprah ini.
“Artinya masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki standar yang sulit dicapai oleh laki-laki. Standar yang tidak dapat dicapai inilah yang bisa mendorong perilaku atau atau budaya kerja yang negatif. Seperti misalnya budaya kerja saling sikut, mendahulukan pekerjaan atau tidak pernah mengakui kesalahannya,” tutur Maya.
Hasil temuan survei ini menyatakan bahwa sebanyak 91% responden setuju apabila laki-laki memerlukan teman mencurahkan perasaan.
Lalu, 88% responden setuju kalau laki-laki membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan 80% responden setuju laki-laki harus lebih dominan dari perempuan dalam segala hal. Serta, 95% responden setuju laki-laki perlu mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Hal itu menampik anggapan sosial bahwa tugas domestik hanya dilakukan oleh perempuan.
Selain itu, 81% responden setuju laki-laki harus kuat secara fisik dan mental; 62% responden setuju laki-laki lebih pantas melakukan pekerjaan berat (fisik); serta 71% responden setuju laki-laki dinilai harus selalu bisa mengambil keputusan dalam pekerjaannya.
IBCWE melakukan survei cepat ini pada 896 orang selama bulan Februari 2022. Responden tersebut terbagi atas 532 perempuan (59,4%), 362 laki-laki (40.4%), dan 2 orang yang tidak menyebutkan jenis kelaminnya (0,2%). Sebagian besar responden berusia 25-34 tahun.
Dari total 535 responden yang mengaku menikah, 237 di antaranya adalah laki-laki. Sisanya, 297 responden perempuan yang sudah menikah. Dari sisi pendidikan, sebanyak 498 orang merupakan sarjana, terdiri dari 210 laki-laki dan 288 perempuan.
Sebanyak 491 orang responden mengaku bekerja sebagai karyawan swasta. Rinciannya, 206 laki-laki dan 284 perempuan. Sisanya, tidak menyebutkan jenis kelaminnya.
Baca Juga:
4 Tanda Anda Terjebak dalam Hubungan Toxic
Mengenal Toxic Positivity, Perasaan Harus Bahagia yang Berefek Buruk ke Psikologis
Bukan Hanya Britney Spears, Kasus Toxic Parents Juga Ada di Sekitar Kita