Ribuan demonstran di Kolombo, Sri Lanka, menerobos barikade
polisi dan menyerbu kediaman resmi presiden. Insiden itu terjadi selama
gelombang protes terbesar tahun ini di negara yang terhantam krisis tersebut.
Sejumlah demonstran yang membawa bendera Sri Lanka dan
mengenakan helm menyerbu masuk ke kediaman presiden, menurut tayangan TV berita
NewsFirst, seperti dilansir Antara.
Negara pulau berpenduduk 22 juta jiwa itu sedang mengalami
kelangkaan devisa parah yang membuatnya sulit mengimpor bahan bakar, pangan dan
obat-obatan, serta menjerumuskannya ke dalam krisis finansial terburuk dalam
tujuh dasawarsa terakhir.
Banyak kalangan menyalahkan keterpurukan negara itu pada
Presiden Gotabaya Rajapaksa. Sebagian besar protes damai yang digelar sejak
Maret telah menuntut pengunduran dirinya.
Ribuan orang membanjiri distrik pemerintah di Kolombo sambil
meneriakkan slogan-slogan anti presiden dan menyingkirkan sejumlah barikade
polisi ketika bergerak menuju kediaman Rajapaksa, menurut seorang saksi.
Polisi menembakkan peluru ke udara tetapi tak mampu
menghentikan massa yang marah mengepung kediaman presiden, kata saksi.
Reuters belum bisa memastikan keberadaan sang presiden.
Meski kelangkaan bahan bakar telah menghentikan layanan
transportasi, para demonstran menumpang bus, kereta dan truk dari beberapa
wilayah negara itu untuk mencapai Kolombo.
Mereka memprotes kegagalan pemerintah melindungi mereka dari
kehancuran ekonomi.
Ketidakpuasan makin menjadi-jadi dalam beberapa pekan
terakhir ketika negara itu berhenti mengimpor bahan bakar, yang mendorong
penutupan sekolah dan penjatahan bensin dan solar untuk layanan esensial.
Sampath Perera, nelayan berusia 37 tahun, menumpang sebuah
bus yang sesak dari kota pinggir laut Negombo, 45 km dari Kolombo, untuk ikut
berunjuk rasa.
“Kami sudah memberi tahu Gota berulang kali untuk
pulang tetapi dia masih memegang erat kekuasaannya. Kami tak akan berhenti
sampai dia mendengarkan kami,” kata Perera.
Bersama jutaan orang lainnya, dia menjadi korban kelangkaan
bahan bakar yang kronis dan inflasi yang mencapai 54,6 persen pada Juni.
Instabilitas politik dapat mengganggu pembicaraan Sri Lanka
dengan Dana Moneter Internasional untuk mendapatkan dana talangan 3 miliar
dolar AS (Rp44,93 triliun).
Situasi itu juga menghambat upaya Sri Lanka untuk
mendapatkan restrukturisasi sejumlah utang luar negeri dan mengumpulkan dana
dari sumber multilateral dan bilateral untuk mengatasi kekurangan devisa.
Baca Juga