Viral video ceramah Ustaz Adi Hidayat (UAH) menyebut, pahlawan nasional Kapitan Pattimura sebenarnya bernama asli Ahmad Lussy, bukan Thomas Matulessy.
“Dalam uang seribu itu ada gambar namanya siapa?, Kapiten Pattimura, siapa nama aslinya?, banyak orang yang kemudian menyebutnya Thomas Matulessy. Kami berusaha mencari, lihat tanya sejarah, dikumpulkan, Allahu Akbar, ternyata nama asli itu bukan Thomas Matulessy, tetapi Ahmad Lussy,” ucapnya.
Ia pun menyebut orang Barat mempermainkan sejarah Indonesia agar anak-cucu tidak paham para pejuangnya di masa lalu. Ia mengklaim, Ahmad Lussy seorang pemimpin pesantren yang mengerahkan santrinya untuk berjuang menegakkan kebenaran di bumi pertiwi.
“Makanya, Ahmad Lussy, tiba-tiba berubah menjadi Thomas, saya mau katakana bahwa kalau disebut Thomas orang tidak ingat bahwa orang ini dekat dengan Allah SWT,” tuturnya.
Menurut UAH, orang Barat sengaja mengganti agar generasi berikutnya tidak ingat kalau Ahmad Lussy mewujudkan kemerdekaan Indonesia dengan senantiasa bertahajud ketika malam dan berpuasa di siang harinya.
“Ini persis seperti orang Barat dulu pernah melakukannya ke Ibnu Sina, diganti Avicenna, Ibnu Rusyd diganti dengan Averroes,” ujarnya.
Jika ditelusuri, pendapat Kapitan Pattimura bernama asli Ahmad Lussy pernah disebutkan Prof Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya, Api Sejarah. Narasi yang ‘membesarkan’ peran kelompok Islam juga terungkap dalam buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman (2012) karya Fahmi Basya, hingga Majapahit Kerajaan Islam (2014) karya Herman Sinung Janutama.
Dosen ilmu sejarah Universitas Airlangga Pradipto Niwandhono menilai, narasi yang ‘membesarkan’ kelompok Islam dan mengkambingkan hitamkan orang Barat itu lebih bersifat ideologis. Ia menganggap, persoalan dalam narasi UAH lebih ke arah prasangka bahwa sejarah Indonesia seluruhnya dikorupsi dan terdistorsi oleh kesarjanaan kolonial.
Ia pun merunut kronologis mengapa narasi seperti itu sengaja dipopulerkan. Ketika aksi seperti 212 muncul, maka ada kekhawatiran akan membesarnya pengaruh Islam atau meningkatnya Islamofobia. Disisi lain, buzzer mulai mengkampanyekan upaya melindungi kearifan lokal dari budaya Timur Tengah.
Kampanye nasionalisme kultural tentang kebesaran peradaban pra-Islam ini sebenarnya serupa dengan apa yang diusung para sarjana kolonial (orientalis). Maka, itu pasti menimbulkan reaksi balik dalam bentuk kampanye Islamis bahwa wacana-wacana tentang sejarah nasional Indonesia sebenarnya diselewengkan oleh penjajah Barat atau sekuler yang menjadi penerusnya.
“Masalahnya pengetahuan tandingan (dari) orang-orang ini (yang menyebarkan narasi ‘membesarkan’ peran Islam) tidak dilandasi oleh metode sejarah yang memadai, itu saja,” ucapnya kepada Asumsi.co, Selasa (5/7/2022).
Senada, dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Surabaya, Adrian Perkasa menilai, narasi UAH itu lebih ke arah persoalan asumsi sejarah Indonesia dikorupsi oleh pengetahuan orientalis Eropa.
Orientalisme (penggambaran unsur-unsur budaya Timur oleh orang-orang Barat) Eropa itu merupakan persoalan yang dialami negara-negara terjajah. Efek kolonialisme masih membekas dan warisan kolonial sebabkan orang-orang Indonesia saat ini masih ‘membebek’ ke Barat.
“Nah, pola oposisi biner (sebuah sistem yang berupaya membagi dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural. Dalam hal ini, maksudnya membagi dunia menjadi Timur dan Barat) semacam itu yang berbahaya. Itu akhirnya kita (orang Indonesia) kalau adanya pengaburan sejarah, dikit-dikit langsung kita salahkan pihak Barat, padahal tidak bisa seperti itu,” tuturnya.
Ia menganggap, masa lalu di Indonesia ibarat multiverse. Ada berbagai macam universe yang dibuat dari beragam historiografi (penulisan sejarah). Historiografi tradisional itu dikenal berupa babad, prasasti, hikayat, kronik, hingga tambo.
Namun, penjajah Eropa tiba-tiba memperkenalkan historiografi modern yang saat ini dikenal sebagai Ilmu Sejarah. Historiografi modern itu awalnya diperkenalkan sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronje pada 1920-1930-an.
“Profesor yang terlatih di Leiden itu dianggap representasi dari penjajah, kalau representasi dari penjajah itu jahat, maka asosiasinya langsung jahat. Inilah kemudian mengapa cerita-cerita dan historiografi-historiografi yang lebih populer yang semacam dari babad. Itu universe yang berbeda dengan universe yang diciptakan Ilmu sejarah modern,” tuturnya.
Disisi lain, historiografi modern atau Ilmu Sejarah kritis saat ini hanya diajarkan di perguruan tinggi. Imbasnya, orang-orang yang berminat dengan sejarah akhirnya memilih tulisan-tulisan populer daripada Ilmu Sejarah kritis.
Menurut Adrian, korban oposisi biner (Barat dan Timur) itu tidak boleh ditertawakan. Apalagi, dianggap hanya sekadar mencari sensasi atau pembenaran Islam. Ia menilai, perlu ruang diskusi yang sehat untuk menyesaikan persoalan itu, tentu bukan melalui media sosial. Sebab, perdebatan di media sosial hanya berakhir perundungan atau menyudutkan pihak lain.
“Kalau tidak ada forum untuk mendiskusikan historiografi kedua belah pihak (yang membenarkan Thomas Matulessy sebagai seorang Kristen Protestan taat atau Ahmad Lussy yang dianggap Muslim taat), ini sama saja dengan kontroversi sejarah lainnya. Misalnya, Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, masing-masing pihak tidak mau duduk bersama perspektifnya bagaimana,” ujar Adrian.
Baca Juga:
Misteri Makam Attila the Hun, Pemimpin Suku Barbar ‘Cambuk Tuhan’
Pengadilan Jerman Hukum Eks Penjaga Kamp Nazi Berusia 101 Tahun