Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM),
 Prof. Apt. Zullies Ikawati Ph.D, mengatakan ganja medis bisa menjadi alternatif
 jika pengobatan sebelumnya tidak memberikan respons baik.
Ganja sebagai alternatif: Jadi, penggunaan ganja medis belum
 menjadi pilihan utama. “Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya
 tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat
 yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan,” tutur Pakar
 Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM itu, dilansir dari Antara.
Untuk menyatakan obat lain tidak efektif perlu mengikuti
 prosedur pemeriksaan akurat. Jika benar-benar tidak ada yang mempan, maka ganja
 medis bisa digunakan. 
“Itu pun dengan catatan harus berupa obat yang sudah teruji
 klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas,” ucapnya.
Kandungan ganja: Zullies menyebut, posisi ganja medis ini
 sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat-obat lain, jika memang tidak
 memberikan respon yang baik.
“Yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga
 adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja
 yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi,” ujar Zullies.
Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya
 terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa
 tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif. Senyawa lainnya adalah
 cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat
 psikoaktif. CBD memiliki efek salah satunya adalah anti kejang, yang merupakan
 salah satu efek dari pengobatan untuk cerebral palsy yang ramai diperbincangkan
 belakangan ini.
Regulasi : Dari segi regulasi, kata dia, bisa mengacu pada
 senyawa morfin, karena juga berasal dari tanaman candu/opiat. Ganja layak
 diperlakukan sama dengan morfin.
Morfin adalah obat yang legal dan dapat diresepkan untuk
 indikasi penyakit tertentu yang memang tidak bisa diatasi dengan obat lain,
 seperti nyeri kanker. Tentu dengan pengawasan dan distribusi yang ketat. Namun,
 tanamannya tetap ilegal dan masuk ke dalam narkotika golongan 1, karena
 berpotensi besar untuk disalahgunakan.
“Untuk itu, perlu diatur kebijakan pemanfaatan obat
 yang berasal dari ganja, terutama jika sudah mengikuti kaidah riset dan
 penemuan obat, sampai obat didaftarkan di BPOM. Sementara, tanaman ganjanya
 tetap tidak bisa legal, karena berpotensi disalahgunakan,” tutur Zullies.
Ganja untuk obat: Menurut Zullies, sebaiknya pemanfaatannya
 ganja bukan untuk alasan terapi. Namun, digunakan sebagai obat, dengan
 mengambil unsur komponen aktif ganja. Sebab, ketika sudah dalam bentuk murni,
 maka bisa ditetapkan dosisnya dan dipisahkan dari senyawa yang bersifat
 psikoaktif (yang menyebabkan ketergantungan). Misalnya, ganja medis adalah
 cannabidiol. Obat ini sudah dikembangkan dan bahkan sudah disetujui FDA sebagai
 obat anti kejang.
Selama pengembangan dan pemanfaatan ganja medis ini masih
 dalam koridor saintifik, didukung bukti klinis, dan sudah mempertimbangkan
 manfaat dan risiko (risk and benefit), maka alternatif ini baru bisa
 bermanfaat.
Baca Juga