Sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana menjadi sorotan dunia karena tulisan opininya di situs NRC yang menuai kontroversi di Belanda. Pemicunya bermula saat dirinya menulis opini tentang periode “Bersiap” yang dinilainya rasis.
Awal kejadian: Bonnie diketahui merupakan salah satu dari dua kurator tamu dari Indonesia untuk pameran “Revolutie! Indonesie onafhankelijk” atau yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti “Revolusi! Kemerdekaan Indonesia.”
Pameran ini rencananya digelar di Rijksmuseum mulai 11 Februari mendatang. Melalui pameran ini, perspektif internasional terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Kolonial Belanda selama periode 1945-1949 akan ditampilkan.
Selain Bonnie, kurator tamu asal Indonesia yang juga terlibat dalam pameran ini adalah Amir Sidharta. Dua kurator lainnya untuk pameran ini berasal dari Belanda, yakni Harm Stevens dan Marion Anker.
Isi opini: Sekadar informasi, “Bersiap” merupakan terminologi Belanda untuk menyebut masa yang dikenal sebagai “Agresi Militer” di Indonesia, atau saat awal kemerdekaan Indonesia.
Melansir NL Times, opini Bonnie berjudul Schrap term ‘Bersiap’ voor periodisering want die is racistisch yang dimuat di situs NRC, meminta agar penggunaan istilah ‘Bersiap’ dalam terminologi Belanda dihapuskan.
Dalam tulisannya, Bonnie mendesak dihapusnya kata “Bersiap” karena penggunaannya dianggap menggambarkan periode kekerasan di Indonesia selama era revolusi pada tahun 1945 hingga 1950 sebagai hal yang rasis.
“Bersiap (siap berdiri) digunakan sebagai seruan pertempuran oleh pejuang kemerdekaan muda Indonesia sebagai aba-aba perang untuk menyerang orang-orang Belanda yang baru tiba di Kamp Jepang,” katanya dalam tulisannya di situs NRC.
Pandangan sejarah: Dalam catatan sejarah Indonesia terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda pada tahun 1947 dan 1949. Pada masa itu, diperkirakan sekitar 5.000 tentara Belanda dan sedikitnya 100.000 orang Indonesia tewas karena peristiwa kekerasan.
Meski Indonesia telah mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945, baru pada 27 Desember 1949 Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Bonnie menyebutkan, akar masalah dari peristiwa terjadinya itu disebabkan oleh ketidakadilan yang diciptakan oleh kelompok kolonial.
“Ini membentuk struktur masyarakat hierarkis berbasis rasisme serta menyelimuti eksploitasi daerah jajahannya,” ucapnya.
Keberatan FIN: Federasi Belanda-Indisch (FIN) menyatakan keberatan terhadap tulisan Bonnie. Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits juga memprotes tulisan tersebut.
Dibbits menyatakan kalau opini yang tertuang di dalam artikel tersebut, merupakan pendapat pribadi yang disampaikam oleh Bonnie, serta tidak diakui pihak museum.
Menurutnya, di Belanda istilah ‘Bersiap’ umum dipakai untuk merujuk pada kekerasan anti-kolonial yang dilakukan orang Indonesia selama periode antara tahun 1945 hingga 1950.
Dalam edisi cetak artikel tersebut yang diterbikan pada 12 Januari lalu, judul itu diganti dengan “Simplicerende term ‘Bersiap’ deugt niet als periode-naam” atau “Penyederhanaan istilah ‘Bersiap’ karena tidak masuk akal untuk periode tersebut”.
Kabar dilaporkan polisi: Atas opininya yang memicu kontroversi, kabarnya Bonnie Triyana pun dilaporkan ke pihak kepolisian setempat oleh pihak-pihak yang menyatakan keberatan.
Rijksmuseum dan otoritas negara Belanda pun memastikan kalau kata “Bersiap” tetap digunakan karena konteksnya tidak seperti yang disampaikan oleh Bonnie.
Meski demikian, mereka tidak menyangkal kalau terjadi kekerasan dan penderitaan selama Agresi Militer yang dikaitkan dengan ‘Bersiap’ masih meninggalkan luka hingga kini dan dirasakan banyak orang. (zal)
Baca Juga:
Di Balik Nama ‘Nusantara’, Antara Sejarah, Filosofi dan Luka Lama
Penemuan Rel Trem di Jakarta: Warisan Abad 19, Sistem Kereta Tertua
Demo Tolak Lockdown di Belanda, Dua Warga Diduga Ditembak Polisi