Krisis energi dialami alami sejumlah negara seperti Inggris, India dan China. Meski memiliki cadangan energi batu bara 38,84 miliar ton, Indonesia tetap perlu waspada.
Dengan rata-rata produksi batubara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batubara masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Dari jumlah tersebut, kebutuhan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) ditargetkan dapat mencapai 137,5 juta ton.
Adapun pada tahun 2020 sendiri, realisasi produksi batubara Indonesia berada di angka 558 juta ton. Sekitar 134 juta ton dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kalimantan menyimpan 62,1% dari total potensi cadangan dan sumber daya batubara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton sumber daya dan cadangan 25,84miliar ton. Selanjutnya, wilayah punya potensi tinggi adalah Sumatera dengan 55,08 miliar ton (sumber daya) dan 12,96 miliar ton (cadangan).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini 80 persen batubara digunakan untuk pembangkit listrik.
Belajar dari Negara yang Mengalami Krisis Energi
Penyebab krisis energi di China yang terjadi saat ini utamanya disebabkan karena raksasa energi China kehabisan stok batu bara. Ketergantungan China akan batu bara sangatlah tinggi. China mengkonsumsi batu bara sebesar 1.907 MTOE (Million Tonnes of Oil Equivalent) per tahun.
Sebagian besar batu bara di China, mayoritas digunakan untuk industri pembangkit listrik dengan kisaran 53,85 persen, kemudian baru industri baja dan industri kimia.
Sedangkan di posisi kedua ditempati oleh India dengan jumlah konsumsi per tahun adalah 452 MTOE per tahun. Inggris sendiri bergantung pada daya gas alam pada 40 persen pemakaian listriknya. Selain kenaikan harga gas alam, Inggris juga mengalami kenaikan harga listrik.
Baca Juga: Bakal Dipajaki Sri Mulyani Mulai 2022, Apa Itu Pajak Karbon?
Sejumlah negara-negara Eropa daratan juga terancam krisis energi. Ancaman ini datang akibat meningkatnya kebutuhan energi tersebut dalam menghadapi musim dingin. Krisis ini terjadi akibat lonjakan harga akibat peningkatan permintaan gas alam kala pandemi, gangguan pasokan yang disebabkan oleh pemeliharaan, dan penurunan daya yang dihasilkan oleh angin.
Indonesia Perlu Waspada
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan bahwa Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan yang tinggi, karena krisis energi di China membawa konsekuensi pada harga komoditas energi yang cenderung meningkat.
“Problemnya Indonesia adalah net importir minyak mentah, bukan negara yang surplus minyak. Artinya, untuk penuhi kebutuhan BBM dalam negeri sendiri kita harus impor, katanya saat dihubungi Asumsi.co, Senin (4/10/2021).
Sepanjang Januari-Agustus 2021 setidaknya Indonesia menurut BPS tercatat melakukan impor minyak mentah US$4,5 miliar dengan kenaikan 177,3% secara tahunan. Sementara impor hasil minyak mencapai US$8,3 miliar atau naik 94,4%.
Menurutnya situasi krisis energi di China akan dorong harga beragam jenis komoditas energi meningkat dalam beberapa bulan ke depan.
“Bagi Indonesia jelas ini adalah ancaman serius, semakin tinggi harga komoditas energi membuat kemungkinan harga BBM non subsidi segera dilakukan penyesuaian. Tarif listrik dan harga LPG juga menyusul dilakukan penyesuaian apabila tren harga energi global merangkak naik secara konsisten,” katanya.
Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan meski kita sekarang surplus energi, namun mengingat permintaan dari negara lain juga meningkat maka batu bara kita mau nggak mau akan ekspor lebih besar.
“Implikasinya program gasifikasi dari batu bara akan lambat dan gagal sehingga suatu saat kita juga akan defisit,” kata pengamat ekonomi senior ini.
Apa Solusinya?
Bhima mengatakan bahwa ini dilematis. Di satu sisi pemerintah dan pelaku usaha pasti akan dorong kenaikan ekspor secepat mungkin memanfaatkan momentum bonanza harga energi dunia.
“Booming harga batubara terakhir terjadi pada Agustus 2018, setelah itu dalam 3 tahun terakhir harga batubara melandai, baru di 2021 harga naik tinggi. Tapi memanfaatkan booming saat ini kemudian pasokan didalam negeri di obral juga bukan langkah yang sustainable,” katanya.
Menurut lulusan Universtias Bradford ini pembatasan ekspor jadi langkah yang cukup bijak, untuk reserve batubara dalam jangka panjang dan bagus untuk menyiapkan transisi ke energi baru terbarukan.
“Semakin eksploitasi batubara dilakukan sebenarnya dalam jangka panjang cukup merugikan ekonomi, karena persepsi investor negatif melihat komitmen Indonesia dalam pengendalian sektor ekstraktif ternyata lemah,” katanya.
Ia menambahkan selain melakukan pembatasan atau kuota ekspor, cara lainnya adalah meningkatkan DMO (Domestic Market Obligation) batubara. “Sehingga efek harga batubara yang naik, setidaknya pemerintah bisa cegah shortage batubara di dalam negeri dan stabilisasi tarif listrik bisa terjaga,” katanya.
Senada dengan Bhima, Tauhid mengajurkan pemerintah perlu ada Domestic Market Obligation (DMO) dimana 25 % untuk kepentingan domestik. “Namun, perlu dilihat kembali datanya mengingat data antara data ekspor dari BPS dengan data impor dari negara-negara mitra dagang cukup banyak berbeda. Tinggal ketegasan banyak pihak agar DMO benar-benar dijalankan dengan baik,” katanya.
Dihubungi terpisah, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa pemerintah melakukan transisi untuk energi terbarukan.
“Karena saya rasa untuk konsumsi domestik, batu bara masih diperhitungkan sehingga tidak ada ketakutan. Kalau kita melihat pasokan batu bara sejauh ini cukup aman. Namun, kita perlu energi transisi sudah mulai dan dengan cara itu,” katanya.
Menurutnya pemerintah bisa melihat sejauh mana transisi itu bisa terjadi di Indonesia, khusus konsumsi domestik. “Karena ke depan kita akan mengalami penurunan cadangan batu bara,” katanya.