Keberadaan buzzer dan akun bot
 di media sosial merupakan fenomena yang hingga saat ini menjadi
 perhatian masyarakat. Eksistensi mereka dinilai sebagai pisau bermata dua di
 dunia virtual. Di satu sisi, bisa menjadi penyebar pesan positif namun sisi
 lainnya menjadi penyebar hoaks dan propaganda misinformasi di tengah publik.
 Bahkan, belakangan muncul istilah BuzzeRp untuk menyebut buzzer yang mengunggah
 konten dan menyebarkan pesan-pesan titipan di dunia maya karena dibayar pihak
 tertentu.
Efek Demokratisasi
Sekretaris Umum LHKP PP
 Muhammadiyah, Abdul Rahim Gazali menilai kehadiran buzzer dan bot merupakan
 efek samping dari proses demokratisasi yang terus terjadi negara ini.
“Demokratisasi salah
 satunya memberikan efek kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi, sejatinya
 positif karena memberikan kesempatan bagi setiap orang, baik itu pejabat,
 kelompok proletar, mahasiswa, hingga petani bisa menyampaikan kritik, saran,
 dan kecaman atas peristiwa yang terjadi di negeri ini,” jelas Rahim dalam
 diskusi virtual, Kamis (30/9/2021).
Kebebasan berpendapat, lanjut
 dia juga membuat masyarakat jadi memiliki kesempatan untuk menyuarakan aspirasi
 kepada pemerintah. Sisi positif ini, menurutnya akhirnya terbawa ke dalam
 aktivitas masyarakat dunia maya alias warganet hingga memunculkan yang namanya
 buzzer.
“Namun kebebasan
 berpendapat ini bagaikan dua mata pisau, bisa positif dan negatif. Positif
 ketika digunakan untuk kebaikan, memperbaiki setiap keadaan yang dipandang
 tidak produktif bagi situasi demokrasi negara kita. Bisa menjadi negatif saat
 digunakan untuk mengecam atau bahkan memfitnah pihak lain,” jelasnya.
Ia pun mengamati buzzer yang
 melontarkan kecaman atau fitnah biasanya disampaikan akun-akun yang menggunakan
 nama samaran dan sulit diidentifikasi identitas penggunanya.
“Inilah yang menurut saya
 sangat berbahaya karena memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk
 menyampaikan kritik atau kecaman secara tidak bertanggung jawab,” jelas
 dia.
Munculnya Aktivis Pengecut
Abdul Rahim Gazali mengatakan
 kehadiran buzzer belakangan melahirkan aktivis pengecut yang sembarangan
 melontarkan hoaks dan misinformasi di dunia maya, kemudian saat cuitan atau
 unggahannya viral dan jadi masalah bakal berusaha kabur dari tanggung jawabnya.
“Buzzer memicu munculnya
 fenomena aktivis pengecut karena menyampaikan sesuatu bukan dengan nama
 sebenarnya. Dari situ, muncul efek buruk dari lahirnya konten-konten seperti
 seperti berita bohong, sampai usaha untuk merusak lawan politik dengan cara
 tidak sehat,” pungkasnya.
Pengamat IT dari Media Kernels
 Indonesia, Ismail Fahmi menyebut akar kemunculan buzzer dan bot dimulai pada
 tahun 2012. Kala itu, muncul fenomena adanya bot, algoritma, dan akun-akun yang
 terotomatisasi untuk kebutuhan politik yang digaungkan di jagad maya.
“Biasanya digunakan oleh
 aktor-aktor politik di setiap negara di seluruh dunia yang tujuannya,
 memanipulasi opini publik melalui platform-platform seperti Twitter, Facebook,
 Instagram, YouTube, dan belakangan ini ada TikTok,” ujarnya dalam kesempatan
 yang sama.
Di Indonesia, kehadiran buzzer
 dan bot pun ramai khususnya pada momen-momen Pemilihan Kepala Darah hingga
 Pemilihan Presiden. Akun-akun ini biasanya digunakan untuk menyerang lawan
 politiknya atau mengagung-agungkan kelompok tertentu.
“Misalnya sebut saja ada
 Muslim Cyber Army, Republik Cyber Projo, Relawan Prabowo-Sandi Digitalc4 Team
 atau Pride, sampai Jasmev, Jokowi Ahok Social Media Volunteers,” imbuhnya.
Kini, menurutnya buzzer dan
 bot sudah bisa dibilang membangun industri tersendiri karena kerap digunakan
 untuk menyebarkan unggahan yang merupakan pesanan kelompok tertentu agar viral
 secara otomatis. “Makanya kita kenal ada BuzzeRp, buzzer yang dibayar dan
 mereka cuma unggah cuitan berapa baris doang misalnya di Twitter, kemudian diteruskan
 akun-akun real. Ketika viral, biasanya akun bot itu akan hilang tersembunyi,”
 katanya.
Paling Banyak Konten
 Pornografi
Direktur Jenderal Informasi
 dan Komunikasi Publik Kemkominfo, Usman Kansong mengamini belakangan memang
 semakin banyak buzzer dan bot buatan kelompok tertentu yang meresahkan publik
 karena menyebarkan berbagai kabar bohong, konten asusila, hingga propaganda
 yang menyesatkan.
Ia menegaskan selama ini
 Kemenkominfo telah memiliki berbagai instrumen regulasi untuk menindak konten-konten
 negatif di dunia maya yang disebarkan oleh buzzer atau bot. Meski demikian,
 kata dia penindakan terhadap orang-orang yang ada di balik buzzernya bukan
 kewenangan pihaknya.
“Ada Undang-undang ITE
 dan Undang-undang Pornografi yang selama ini, menjadi instrumen regulasi yang
 bisa kita gunakan untuk membersihkan ruang digital dari konten-konten negatif.
 Penindakan lewat regulasi ini adalah kontennya bukan orangnya. Kalau terkait
 orangnya, pengunggahnya, atau buzzer-nya itu urusan penegak hukum,” terangnya.
Usman Kanson mengungkapkan,
 langkah yang paling banyak dilakukan Kemenkominfo dalam menindak konten-konten
 negatif di medsos antara lain melakukan kontra narasi dan menghapus konten
 negatif ini dari platform digital tersebut.
Data 2020, kata Usman ada
 sekitar 2 juta konten negatif yang terkait dengan unggahan buzzer dan bot yang
 ditindak oleh Kemenkominfo. Sebagian besar kontennya masuk ke dalam kategori
 pornografi.
“1.086.000 konten
 pornografi yang paling banyak ditindak, disusul konten radikalisme sekitar 570
 sekian,” ucap Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo.
Penggunaan AI
Usman mengatakan Kemenkominfo
 telah menggunakan artificial intelligence alias kecerdasan buatan untuk
 menelusuri dan menindak konten-konten negatif yang diunggah buzzer maupun bot.
“Kominfo dalam
 membersihkan dunia maya dari konten negatif, melalui teknologi AI yang biasa
 disebut AIS yang asal namanya dari kata “pengais” karena tugasnya
 mengais konten-konten negatif setiap detiknya,” terangnya.
Selain itu, Kemenkominfo juga
 membentuk tim khusus untuk memantau konten-konten medsos karena menyadari
 penggunaan AI masih banyak keterbatasan dalam menindak konten-konten negatif.
Kemkominfo juga mengandalkan
 laporan masyarakat untuk mengawasi konten-konten di media sosial.
“Mekanisme pelaporannya
 bisa melalui laporankonten.id kalau menemukan konten-konten negatif. Contohnya
 yang dilaporkan kayak ada kasus yang belum terlalu lama, misalnya Muhammad Kece
 yang melalui YouTube melakukan ujaran kebencian dan dilaporkan masyarakat, kami
 takedown 20 kontennya lalu polisi yang menangkapnya,” tandasnya.