MS, seorang pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerjanya. Pelecehan kepada MS, yang seorang laki-laki, dilakukan oleh rekan kerjanya yang laki-laki juga. Bukan hanya dilecehkan, ia juga dirundung.
Pelecehan dan perundungan pada MS bukan dilakukan oleh satu dua rekan kerjanya saja. Dalam keterangan yang disebar kepada awak media, ada sampai tujuh pegawai KPI yang melakukan perundungan dan pelecehan padanya.
Hal ini pun bukan baru terjadi kemarin sore. MS telah menerima perlakuan itu sejak 2012. Ia juga bukan diam. Kurang lebih lima tahun diperlakukan semena-mena oleh rekan kerja, MS pernah melapor kepada Polisi. Laporan yang ia layangkan, berdasarkan rekomendasi Komnas HAM.
Namun apa yang ia dapat? Laporan MS tidak digubris secara serius. Kabarnya, laporan itu hanya didengar, tetapi tidak dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Polisi hanya meminta MS melaporkan kepada atasannya di KPI, agar masalah ini diselesaikan secara internal.
Ya, MS melapor ke atasan. Tapi, alih-alih tujuh rekan kerjanya mendapat sanksi, malah MS yang dipindahtugaskan. Pindah ke divisi yang ‘lebih ramah’. Kepindahan MS tak menyelesaikan masalah. Ia justru makin dirundung. Disebut pengecut dan tukang ngadu.
Baca Juga: Pentingnya Keseriusan Negara Menghapus Kekerasan Seksual di Tempat kerja | Asumsi
Pengalaman MS mungkin bukan kali ini terdengar. Banyak dari penyintas pelecehan seksual hingga perundungan yang mengalami nasib sama. Sebelum kasusnya viral, mereka bukan tidak pernah mencoba melayangkan laporan ke pihak berwajib. Hanya saja, laporan yang dilayangkan seringkali tidak ditanggapi serius.
Lantas apa yang membuat laporan korban pelecehan seksual sering dianggap remeh?
Kepada Asumsi.co, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan laporan pelecehan seksual sering dianggap remeh karena dianggap bukan perbuatan yang fatal. Padahal, tindakan ini tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga mental. Dalam kasus MS misalnya, pelecehan dan perundungan yang diterimanya menyisakan trauma buat dia.
“Pelecehan itu bukan hanya kejahatan, tetapi juga perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia,” kata Beka.
Menurut dia, publik juga mesti paham kalau pelecehan dan kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja. Baik perempuan, anak, dan laki-laki. Oleh karena itu, ia pun menilai perlunya edukasi di masyarakat soal kesetaraan relasi antar manusia dan penegakan hukum.
“Selain itu, bisa juga dengan segera disahkannya RUU PKS,” kata Beka.
Dalam kasus MS, benar yang bersangkutan pernah mengadukan perlakuan tak pantas yang diterimanya pada 2017. Saat itu, Komnas HAM menyatakan perbuatan rekan kerja MS di KPI sebagai tindak pidana. MS kemudian direkomendasikan untuk melaporkan peristiwa tersebut ke kepolisian.
Dengan mencuatnya kasus ini, Komnas HAM pun akan menyelidiki dugaan pembiaran pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di kantor KPI.
“Kita akan melihat apakah ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh KPI atau kepolisian. Karena apa, pembiaran terhadap tindakan pidana juga pelanggaran HAM,” kata Beka.
Sejauh ini, Komnas HAM masih mengumpulkan keterangan korban MS dan menyelidiki kembali sikap KPI dan kepolisian yang membiarkan kasus tersebut sejak 2012. Beka juga menegaskan, akan kembali meminta keterangan pada korban MS dalam waktu dekat.
Baca Juga: Fakta Kasus Pelecehan Seksual di KPI Pusat, Korban Diperbudak Sampai Ditelanjangi | Asumsi
Lewat keterangan tertulis, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni, menyayangkan sikap polisi di Polsek Gambir yang kabarnya sempat tidak menganggap serius saat korban sempat melaporkan kasus yang dialaminya.
Dalam keterangan, MS sempat menceritakan bahwa ia telah dua kali mencoba melapor ke Polsek Gambir. Namun, dua kali pula pengaduan MS tidak pernah diteruskan oleh polisi.
“Kalau begini, sangat disayangkan karena nantinya korban perundungan jadi enggan mengadu ke polisi,” kata Sahroni.
Menurut dia, dalam kasus seperti ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tengah dibahas di DPR memang sudah semestinya segera disepakati. Lewatnya, pelaporan-pelaporan kasus seperti ini bisa lebih efektif penindakannya.
Sahroni juga meminta, agar pelaku dipecat dan dihukum seberat-beratnya, serta korban diberi bantuan perawatan untuk memulihkan mentalnya yang tertekan. “Para pelaku harus dihukum secara tegas. Tidak dipecat saja, tapi juga dihukum sesuai dengan tindakannya,” ucapnya.
Diklaim Tidak Pernah Lapor
Mengutip CNN Indonesia, kepolisian membantah bahwa MS pernah membuat laporan ke Polsek Gambir. Namun, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus membenarkan kejadian yang menimpa MS.
“Tapi memang ada kejadian itu di tahun 2015 lalu, 22 Oktober 2015 di kantor KPI Pusat, Jalan Gajah Mada,” ujarnya.
Polres Metro Jakarta Pusat juga telah mendatangi MS pada Rabu (1/9/2021) malam dan mengarahkan yang bersangkutan untuk membuat laporan polisi. MS kemudian datang ke Polres Metro Jakarta Pusat dengan didampingi oleh Komisioner KPI untuk melaporkan peristiwa tersebut.
Yusri menerangkan, dalam laporan itu ada lima orang yang dilaporkan. Yakni RM, FP, RE, EO, dan CL.
Enggan Lapor Karena Takut
Sementara itu, dalam riset Indonesia Judicial Research Society (IJRS), banyak korban kekerasan seksual berpikir ribuan kali untuk melapor karena takut. Dalam survei yang melibatkan 2.210 responden dengan margin of error dua persen, alasan takut disampaikan oleh lebih dari separuh responden (33,5 %).
Selain dari itu, ada juga yang mengaku malu (29,0%), tidak tahu melapor kemana (23,5%) dan merasa bersalah (18,5%).
Alasan-alasan tersebut dapat dikarenakan adanya stigma negatif yang diberikan kepada korban, khususnya perempuan. Sehingga, melahirkan sikap-sikap di masyarakat yang menyalahkan korban, baik dari masyarakat dan aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, korban merasa tidak menemukan tempat yang aman dan mendukung pemenuhan akses keadilannya. Padahal, siapapun korban seharusnya mendapatkan dukungan yang baik dari lingkungan.
Menurut temuan West Coast LEAF Vancouver, banyak korban kekerasan seksual yang juga enggan melapor karena khawatir atas minimnya perlindungan identitas bagi korban. Sehingga, mereka takut akan tersebarnya informasi tentang perkara yang mungkin berdampak pada kesehatan mental dan kondisi finansial mereka.