Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama satu setengah tahun bikin semua kalangan babak belur demi bertahan hidup. Namun, musisi Rizki Rahmahadian Pamungkas, yang dikenal dengan nama panggung Pamungkas, terus tegak dalam berkarya.
Di awal 2021, Pamungkas merilis “Solipsism 0.2” yang berjarak delapan bulan dari “Solipsism” yang rilis pada Juni 2020. Di bulan April lalu, lagu “To the Bone” yang ia rilis di tahun 2019 telah memecahkan rekor paling lama memuncaki tangga lagu Indonesia Top 50 di layanan streaming musik Spotify. Baru-baru ini, Pamungkas meluncurkan kolaborasinya dengan musisi Ahmad Dhani berupa aransemen ulang lagu-lagu Dewa 19. Band kawakan tersebut pun ikut mengaransemen ulang sejumlah lagu milik Pamungkas.
Menurut Pamungkas, situasi yang penuh keterbatasan membuat dirinya bisa terus kreatif membuat lagu. Pelantun “I Love You but I’m Letting Go” tersebut berbincang dengan Asumsi soal rutinitasnya dalam berkarya.
Hai, Mas Pam! Gimana kabarnya?
Kabar saya baik. Alhamdulillah masih terus bertahan, trying to stay healthy and sane. Memang belum bisa kerja, jadi setiap hari kerjaan gue paling latihan vokal, mencoba untuk bikin lagu. Sekarang lagi sibuk pindahan rumah, terus bolak-balik ke rumah bokap juga karena baru operasi. Spending more time with family, ngobrol sama ponakan, pacaran walaupun enggak sering, terus kemarin sudah vaksin kedua. Secara mental, memang kangen banget gue manggung dan ditransfer setelahnya.
Pandemi ini benar-benar menguji semua orang. Sementara, banyak karya Pamungkas yang justru rilis di masa pandemi. Gimana siasatnya supaya bisa tetap bertahan dan berkarya?
Menurut gue, itu cuma pilihan lo mau melakukan apa, it’s a matter of choosing the right things. Bukan benar atau salah, tapi tepat.
Problem di gue biasanya banyak yang dipikirin, tapi susah jalan, jadi berhenti di kepala. Kayak entar bikin gini, takutnya gini, entar takut gini juga lagi. Tapi, setelah dijalani, skenario-skenario yang ada di kepala enggak ada yang terjadi juga. Ternyata takut hanyalah konsep, dan ketika menjalaninya, kita belajar juga.
Kadang kita lupa untuk bisa sampai ke suatu tempat harus keluar kamar, buka pintu depan, buka pintu mobil, masuk ke mobil, ditutup lagi. Jalannya juga enggak langsung masuk tol. Keluar perumahan dulu, belok kanan kiri dulu, ada lampu merah dulu.
Apa yang gue pelajari dari diri gue, gue orangnya seneng banget skipping process. Maunya langsung sampai. Padahal, konsepnya harus pelan-pelan. Jadi kalau ditanya bagaimana supaya bisa semangat terus dan bikin karya dan gimana jaganya, boleh punya cita-cita besar, tapi tetap harus fokus di depan dan hari ini, karena kita enggak ada yang tahu perubahan.
Satu tahun setengah pandemi, Indonesia menurut gue maju banget. Indonesia sekarang udah serba digital. Everybody knows how to brand themselves. Di Instagram keren-keren, banyak yang sudah tahu how to present themselves. TikTok juga menunjukkan orang-orang makin lebih nyaman tampil si depan kamera. Dua tahun lalu enggak begini. Menurut gue. ini kemajuan. Kembali pada dasarnya, lo bisa adaptasi, maka lo bisa bertahan.
Gue juga enggak setiap hari semangat juga. Supaya nggak semangat, itu semua pilihan.
Kita semua punya waktu 24 jam yang sama. Kita harus mengendalikan waktu, jangan waktu yang mengendalikan kita. Kita yang menentukan hari ini mau mengerjakan apa. Inilah yang selama ini gue lakuin setiap hari. Walaupun agak susah, tapi kalau kita tahu waktu, kita yang mengendalikan, kapan waktu buat istirahat, dan kapan harus ngerem.
Emangnya, gimana strategi Pamungkas sebagai musisi sebelum pandemi?
Sebenarnya enggak jauh beda antara sebelum dan pas pandemi. Gue tipe orang yang selalu percaya kalau musiknya enak, dan enak itu relatif, dan bisa nyampe kepada pendengar, ga perlu heavy thing buat di marketing kayaknya. Menurut gue, I’ll do try my best di song writing, produksinya, dengan situasi, alat-alat dan keadaan yang gue punya dimaksimalin.
Semaksimal mungkin karena gue percaya, karya adalah bola salju. Sisanya adalah amplifying. Basicnya adalah karyanya. There’s no real strategy.
Misalnya, kayaknya gue belum pernah nih bikin lagu enam menit yang pop banget. Terus pengen satu lagu nadanya chorus semua. “To the Bone” gitu , atau dipatah-patahin semuanya sebenarnya jadi reff.
Terus kayaknya, belum pernah bikin lagu ¾, akhirnya bikin lagu “Deeper.” Belum pernah bikin lagu dari (kunci) G, di album pertama nggak ada lagu dari (kunci) G. Akhirnya bikin “Flying Solo” dari G. Gitulah akhirnya, gue lebih eksplor ke sananya daripada mikirin gimana supaya menjual.
Intinya lebih ke gimana dari guenya. Kalau gue bangga, pasti nyampenya (ke pendengar) juga beda.
Jadi lebih mengedepankan unsur spontanitas ya?
Iya. Gue memang pemikirannya selalu mencoba lebih keras untuk fokus di musiknya.
Waktu (bikin) album kedua, gue dengerin album pertama, terus revisi sendiri. Evaluasi diri sendiri, ini kurangnya apa ya? Apa yang bisa di-improve dari segi musiknya, song writing, chord-nya. temponya, belum pernah bikin lagu yang temponya cepat.
Kalau ada yang ikutin perjalanan musik dari album pertama ke album ketiga, sebenarnya di album pertama medium ballad, tiba-tiba di album dua keluarnya banyak yang joged-joged. Terus di album kedua belajar lagi, (ternyata) enggak ada sound yang organic ya. Akhirnya, di album ketiga, akhirnya coba pakai drum. Walau dengan segala keterbatasan, niatnya selalu maju ke depan dan mencoba membuat sesuatu yang belum pernah dibuat.
Saat ini, industri musik sudah dibanjiri berbagai platform seperti Spotify, YouTube, Apple Music. Apakah Pamungkas memiliki strategi pemasaran tersendiri?
Sebenarnya enggak ada yang baru sih secara teori, karena kalau promosi itu kan hanya amplifikasi, jembatan dari karya gimana caranya kita menjembatani karyanya kepada marketnya. Ada yang dari video klip, manggung. Kalau Pamungkas, gue selalu mencoba stick on the value of songs, stick on the value of singer, dan gue sendiri selalu mencoba apapun yang keluar di medsos, atau di YouTube, atau di media sekalipun, gue selalu berusaha menunjukkan kalau I’m really proud of it.
It carries the value of me as a person, as a singer and the songwriter, and the song too.
Jadi gue enggak pengen keluarin sesuatu cuma karena melihat, ini kayaknya laku. Gue cukup egois untuk membuat hal konten-konten, kalau gue merasa enggak gue banget, jadi gue modif lagi. Yang pusing manajemen, karena enggak selesai-selesai. Menurut gue, idealis itu di tengah. Itu kan kata dasarnya ideal, jadi ada di antara yang orang suka dan yang lo banget. Jadi idealis itu, lo enggak egois dan enggak terlalu jilat pantat orang. Everybody’s happy. Kalau bodo amat, gue maunya gini aja, itu kan egois.
Selama pandemi, ada nggak teman musisi yang jadi tempat belajar bareng?
Banyak banget. Gue banyak ngobrol terakhir sama Romantic Echo, gue manggilnya Jak Jek. Gue juga sering ngobrol dengan Oslo Ibrahim, Randy Pandugo. Kalau ngumpul, dengerin vinyl bareng-bareng. Kemarin, sebelum PPKM kan sempat longgar, kita sering ketemu dengerin Red Hot Chilli Peppers bareng-bareng. Dengerin, kok drumnya bisa gini ya? Banyak belajar berbagai perspektif dari mereka. Kayak, banyak hal di luar musik yang bisa dipelajari, ujung-ujungnya di-convert balik ke musik. Sebenernya, gue dengerin apa saja. Cuma memang pas di vinyl, “Californication” berasa banget moodnya pas dengar.
Di masa pandemi kita lihat banyak musisi banting stir, berdagang misalnya. Apakah Pamungkas sudah memulai rencana bisnis juga?
Dari dulu, gue orang yang tidak suka sekolah tapi suka sekali belajar. Selama pandemi, gue hampir setiap hari nonton video restorasi mobil. Terus jadi muncul ide, kayaknya seru deh kalau ngebangun mobil. Terus gue belajar lagi tentang farming, bikin rumah. Gue memang orang yang suka belajar dan setiap hari harus belajar sesuatu, sekecil apapun.
Gue cukup beruntung punya dua manajer. Sebelum pandemi dan dari awal gue bilang ke manajer-manajer, gue nggak mau tahu soal uangnya. Yang mau gue tahu soal musik. Laporan uang ke gue juga jangan terlalu dalam karena gue enggak mau terkontaminasi oleh the business side of things. Karena musik ketemu bisnis bukan sesuatu hal yang baik buat gue.
Jadi gue fokus ke musik, sampai album ketiga minimal dan ternyata sudah dipikirkan tuh jadinya tabungan gue lumayan sudah cukup, dan bisa buat bertahan sekarang. Alhamdulillah. Gue beruntung punya tim yang berpengalaman di industri ini. Mereka sadar, kerjaan musisi nggak akan bisa bertahan selamanya.
(Jadi) sudah dibikinin bisnis ini dan itu. Pokoknya, bisnisnya bikin orang enggak menyangka, karena jauh dari dunia musik. Kalau bisa, orang jangan sampai tahu dan enggak mau gue buka juga apa bisnisnya. Gue mau orang kenal gue (sebagai) musisi aja dan bisnis lain enggak perlu tahu.
Ternyata Pamungkas adalah orang yang cukup berserah diri juga, ya.
Gue belajar dari Mas Ahmad Dhani, dia bilang rezeki dan usaha tuh beda jalur. Rezeki udah ada yang atur. Follower satu juta itu di luar kontrol kita. Kalau usaha, seyogyanya memang harus dilakukan yang terbaik. Viewers, dia bilang, bentuk rezeki. Bukan kontrol kita. Jalurnya beda. Jadi, menurut gue, memang baiknya kita bikin aja kayak filosofi desain. Ketika hal-hal sempit dan terbatas, maka kreativitas lo akan tinggi, karena gue anak DKV. Soal hasilnya, itu sudah urusan yang di atas.