Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melontarkan kritik soal parahnya perilaku korupsi yang terjadi di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin saat ini. Autokritik nih, Pak Mahfud?
Korupsi Lebih Gila dari Zaman Orba
Mahfud mengungkapkan kasus korupsi yang terjadi saat ini lebih gila daripada korupsi yang dilakukan saat Soeharto menjabat sebagai presiden di era Orde Baru (Orba). Pernyataan ini disampaikan Mahfud dalam Dialog Menko Polhukam: Pengembangan Situasi Aktual Politik, Hukum dan Keamanan bersama Universitas Gadjah Mada baru-baru ini.
Menko Polhukam mengungkapkan kritik kasus korupsi di Indonesia itu berawal saat ia mengaku mengetahui pernyataan lamanya yang kembali viral di media sosial.
“Beberapa waktu lalu, ada viral sebuah pernyataan saya, bahwa di era reformasi ini korupsi semakin meluas. Itu pernyataan saya pada tahun 2017. Jauh sebelum jadi menteri itu. Viral lagi,” kata Mahfud dalam tayangan video tersebut.
Ia mengaku, menerima banyak pertanyaan dari warganet yang terkesan menyindirnya, kalau dirinya mungkin mau meralat pernyataannya tersebut setelah kini jadi menteri. “Orang yang iseng nanya, ‘apa Pak Mahfud setelah jadi pejabat mau meralat pernyataan ini?’, ‘Apa tidak malu ada di era seperti ini, katanya korupsi semakin meluas dari zaman Orba?’ Saya katakan, saya tidak akan meralat. Kita lihat saja kenyataan sekarang, hari ini saja korupsi jauh lebih gila dari zaman Orba,” ungkapnya.
Baca juga: BIN Tak Lagi di Bawah Menkopolhukam, Kini di Bawah Presiden | Asumsi
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menerangkan, alasan lebih gilanya kasus korupsi saat ini bukan dari nilai korupsinya, melainkan pelaku korupsi yang lebih luas. “Saya tidak mau mengatakan lebih besar jumlah (nilai korupsinya), tapi meluas. Ingat enggak, dulu nggak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim, enggak berani dulu. Gubernur, pemda, bupati, enggak berani. Dulu korupsinya terkoordinir,” lanjut dia.
Hal yang terjadi saat ini, lanjut dia, kasus korupsi terjadi di lingkaran DPR, hingga hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. “Gubernur, kepala daerah, DPRD, semua korupsi sendiri-sendiri,” ucap Mahfud.
Namun lewat pernyataannya ini, ia mengingatkan supaya masyarakat tidak asal mudah menyalahkan pemerintah atas semakin parahnya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini.
“Orang harus paham agar tidak selalu menyalahkan pemerintah, mengatakan ‘pemerintah kok goblog!’, ‘kok BLBI dibiarkan berjalan begitu lama, sampai 20 tahun?’ Saya katakan, Pak Jokowi baru 2 tahun jadi presiden. Saya baru jadi menteri setahun, berarti 16 tahun sebelumnya bukan urusan kita,” tuturnya.
Menyikapi hal ini, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal Budiyono menyebut pernyataan yang disampaikan Mahfud merupakan autokritik, sekaligus pengakuan bahwa reformasi di negeri ini belum berhasil dijalankan dengan baik.
Baca juga: Mahfud MD: Indonesia Ada Kemajuan Meski Banyak Korupsi | Asumsi
“Kadang-kadang pernyataannya Pak Mahfud memang suka membingungkan. Beliau pasti tetap akan membela presiden, pemerintah, tapi di sisi lain masih bersayap. Saya memaknai itu pengakuan bahwa reformasi belum semuanya berhasil,” terang Zaenal saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Rabu (9/6/21).
Biaya Politik Tinggi Penyebab Korupsi Menggila
Zaenal menilai, pernyataan Mahfud ini tidak sepenuhnya ditujukan kepada pemerintahan Jokowi saat ini, melainkan fenomena korupsi yang terjadi sejak dimulainya era reformasi.
“Saya ingin memandangnya lebih luas. Mungkin tidak hanya era Pak Jokowi, tapi era Megawati, SBY, juga ternyata Pak Harto yang dulu dikecam habis, tidak seburuk yang dikira banyak orang,” katanya.
Dirinya mengapresiasi kritik yang disampaikan Mahfud. Diharapkannya, kritik ini bisa menjadi bahan koreksi untuk pemerintah memperbaiki diri.
“Seperti yang disampaikan Mahfud, kalau dulu korupsi hanya di lingkaran penguasa dan elite. Sekarang sudah sampai ke DPRD, sekarang main semua. Bahkan sampai level mengerikan. Korupsi di level bawah juga ada yang mengorupsi dana Covid-19,” imbuhnya.
Ia setuju dengan ucapan Mahfud yang meminta masyarakat tak lantas menebarkan kebencian terhadap pemerintah saat ini. Menurutnya, hal ini justru bisa menambah masalah baru.
“Jadi, saya kira ini autokritik buat kita semua, bagaimana meluruskan reformasi dan demokrasi. Jangan sampai karena salah sistem, kita justru mengecam demokrasi dan kembali ke otoritarian. Ini yang berbahaya,” ungkapnya.
Baca juga: Sanggah Pernyataan, Mahfud Sebut Dirinya Tak Tolerir Perilaku Koruptif | Asumsi
Sementara itu, soal semakin menggilanya korupsi saat ini, menurutnya, tak lain disebabkan adanya sistem demokrasi yang belum mampu menerapkan manajemen yang baik.
“Sistem demokrasi setelah orde baru, yang dianggap bisa menjadi jurus sakti memperbaiki tata negara, ternyata di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Perlu komitmen untuk mengawal itu,” katanya.
Dirinya menilai, penyebab bisa meluasnya kasus korupsi di tanah air tak lain disebabkan sistem politik di Indonesia yang mendewakan uang.
“Akarnya dari partai politik. Kalau saja pemilihan anggota DPR, DPRD dan Pilkada masih seperti sekarang, enggak akan hilang korupsi. Ini karena biaya politik yang mahal menyebabkan kasus korupsi menggila,” jelasnya.
Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti mengamini pandangan Zaenal yang menyebut kasus korupsi di negeri ini kian parah karena tingginya biaya politik.
“Orang-orang seperti saya, seperti teman-teman saya yang punya sedikit pengetahuan politik tapi ga punya modal, pasti akan kalah. Justifkasinya apa? 70 persen anggota DPR yang di 2019 kemarin adalah pengusaha. Artinya, yang bukan pengusaha mau tidak mau ada money talks. Di situlah celah korupsi terbuka,” kata Ray melalui pesan singkat.