Seperti kita ketahui, pandemi COVID-19 adalah masalah multidimensi. Maka dari itu, pendekatan lintas disiplin, riset dan penelitian di bidang sosial humaniora menjadi penting untuk diintegrasikan dalam pembuatan kebijakan, terutama untuk menghadapi dampak sosial yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.
Keterwakilan ragam, dan perspektif sektor sosial humaniora akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik bagi pembuat kebijakan, sehingga isu darurat seperti pandemi dapat ditangani lebih cepat dan efektif.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa untuk membawa perubahan kebijakan, terutama dalam konteks pandemi COVID-19, para peneliti dari sektor sosial humaniora menghadapi banyak tantangan dalam proses komunikasi maupun advokasi kebijakan.
Untuk membicarakan hal tersebut, Asumsi berkolaborasi bersama Knowledge Sector Initiative (KSI), mengundang para perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, PPIM UIN Jakarta, SurveyMETER dan The Conversation Indonesia dalam Knowledge Exchange (KSIxChange) untuk mengulas lebih dalam terkait tantangan dan rekomendasi dalam mengomunikasikan penelitian sosial humaniora untuk penyusunan kebijakan. Webinar yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Asumsi pada Selasa, 25 Mei 2021, ini diharapkan juga dapat memfasilitasi pertukaran pengetahuan antara pemerintah, lembaga penelitian, dan individu lainnya untuk mendukung proses pengambilan kebijakanberbasis bukti. Webinar ini dipandu oleh Primatia Romana Wulandari selaku KnowledgeExchange & Learning Lead, Knowledge Sector Initiative.
Bicara tentang pentingnya suatu riset, seberapa penting riset dalam menentukan kebijakan?
Dalam hal ini, Sumedi Andono Mulyo, selaku Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana Bappenas, menyatakan bahwa kolaborasi dalam perumusan kebijakan berbasis pengetahuan itu penting. Ia juga menekankan bahwa keberhasilan maupun kegagalan kinerja suatu kebijakan bisa dipengaruhi dari tiga hal.
“Kinerja suatu kebijakan, seperti manfaat dan dampak itu dikatakan gagal atau berhasil, ada tiga hal yang paling tidak berpengaruh. Yang pertama adalah kemampuan mengidentifikasi masalah. Di sini, peran data dan informasi menjadi sangat penting. Faktor yang kedua, perumusan kebijakan, menyangkut perencanaan dan penganggaran. Yang ketiga adalah implementasi kebijakan” jelasnya.
Beliau juga mengatakan bahwa terdapat dinamika terkait dengan pengambilan kebijakan publik. Tetapi, data analisa yang baik memampukan pengambilan kebijakan yang baik.
Lantas, bagaimana strategi yang bisa dilakukan kepada pengambil kebijakan untuk mengomunikasikan riset?
Dalam hal ini, Didin Syafruddin, selaku Direktur Riset PPIM UIN Jakarta, menyatakan bahwa dalam menyampaikan hasil riset kepada lembaga pengambil kebijakan, riset tersebut harus matang secara konseptual dan metodologi.
“Tidak mudah. Maka bisa jadi terjadi penolakan. Karena karakternya (penelitian PPIM UIN Jakarta) yang sensitif, persoalan yang dikaji sensitif, maka tantangan yang selalu kami coba usahakan adalah tantangan konseptual. Secara konseptual, ini harus benar-benar kokoh. Secara metodologi benar-benar juga harus baik dan bisa dipertanggung jawabkan saat kita menyampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan” ujarnya.
Dr. Ni Wayan Suriastini, M. Phil, selaku Direktur Eksekutif Survey METER, juga memberikan tips dan trik dalam mengomunikasikan hasil riset. Ia menuturkan bahwa dalam riset, komunikasinya harus maksimal dan identifikasi masalahnya juga harus tepat.
“Jadi sisi komunikasinya kami betul-betul. Kemudian dari sisi identifikasi masalahnya yang tepat, dari segi waktu dan topik yang kita pilih. Hal inilah yang kemudian membuat cepat di up ke kementerian maupun dinas” tuturnya.
Tak hanya itu, Dr. Ni Wayan juga menyatakan bahwa dalam mengomunikasikan riset, harus juga mengomunikasikan perencanaan dari riset tersebut. “Kita mengomunikasikan studinya bukan hanya pada hasilnya saja, namun juga pada perencanaan juga kita sampaikan.
Mulai dari kepada Kementerian Kesehatan kita sampaikan bahwa kita memiliki rencana seperti ini. Kemudian juga ke kabupaten kota, ke dinas kabupaten kota kita sampaikan” jelasnya.
Dalam proses mengomunikasikan penelitian, kita juga memahami peran media yang menjembatani dan menyampaikan pentingnya ilmu pengetahuan. Menurut Ika Krismantari, selaku Kepala Editor The Conversation Indonesia, tantangan terbesar dari yang dihadapi peneliti biasanya adalah tantangan teknis yang menjadi gap besar antara peneliti dan publik.
“Tantangan teknis ini adalah kemampuan mereka berkomunikasi dengan publik luas. Jadi mungkin mereka biasa kerja di lab, menggunakan jargon-jargon asing. Ketika berbicara dengan publik, mereka gagap. Dan ini sayang sekali sebenarnya kalau saya lihat. Karena saya lihat begitu banyak pengetahuan yang hanya tersimpan di laboratorium atau perpustakaan saja, tetapi tidak bisa diakses oleh publik,” katanya.
Maka dari itu, sebaiknya peneliti harus mengetahui bagaimana cara komunikasi yang efektif agar pesan yang ingin disampaikan bisa terkirim dengan baik. Selain itu, sebaiknya para peneliti juga menggunakan bahasa yang mudah dimengerti publik ketika menyampaikan suatu hasil riset.
Kolaborasi antara pengambil kebijakan dan peneliti tentunya merupakan hal penting. Harapannya, untuk kedepannya para pengambil kebijakan bisa terus berkolaborasi dengan para peneliti agar bisa mengambil keputusan berdasarkan riset yang mendalam dan terus mendukung ekosistem pengetahuan dan inovasi Indonesia yang ideal.
KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi oleh Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar secara berkala ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan.