Bangladesh bersiap memberi potongan pajak untuk perusahaan yang mempekerjakan transgender. Langkah ini dinilai sebagai langkah progresif yang dijalankan negara di Asia Selatan itu untuk meningkatkan dukungan bagi kelompok rentan.
Mengutip Aljazeera, sejarah baru ini diumumkan pada Kamis (4/6/21) oleh Menteri Keuangan Bangladesh AHM Mustafa Kamal. Menurutnya, mempekerjakan transgender dalam sebuah perusahaan akan meningkatkan standar hidup mereka. “Saya mengusulkan untuk memberlakukan insentif pajak khusus dengan maksud untuk menyediakan lapangan kerja dan memastikan peningkatan standar hidup dan integrasi sosial dan ekonomi dari anggota gender ketiga,” kata Mustafa.
Potongan pajak yang diberikan adalah sekitar lima persen, atau diganti dengan 75% dari gaji transgender, jika mereka mempekerjakan 100 pekerja atau 10% tenaga kerja mereka dari masyarakat. Lain dari itu, batas minimum pajak untuk transgender juga ditingkatkan.
Baca juga: Transgender Bisa Bikin e-KTP, Seperti Apa Kolom Jenis Kelaminnya?
Menanggapi ini. Presiden kelompok hak transgender Sadakalo Hijra Unnayan Sangha, Anonnya Banik mengaku sangat mengapresiasi kebijakan itu. Kendati demikian ia tidak ingin kelompoknya hanya dijadikan sebagai propaganda politik dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Ia juga menyerukan langkah-langkah lebih lanjut termasuk keringanan pajak untuk bisnis yang dijalankan oleh orang-orang transgender.
“Kami sangat terpukul oleh krisis virus corona. Kami harus diberikan keringanan pajak dan pinjaman tanpa bunga,” kata Banik.
Sementara, Kepala eksekutif dari perusahaan denim terkemuka di Bangladesh, Smart Group, yang mempekerjakan 26.000 orang, menyambut baik langkah tersebut. “Ini akan mendorong banyak kelompok bisnis untuk mempekerjakan orang transgender. Ini akan menjauhkan mereka dari jalanan,” kata Mostafizur Rahman kepada AFP.
Rangkaian Kebijakan
Dalam satu dekade terakhir, Bangladesh secara berangsur memang membuat rangkaian kebijakan untuk meningkatkan hak hidup transgender. Setidaknya, sejak 2013, Bangladesh telah secara resmi menetapkan transgender sebagai gender ketiga di negaranya. Mengutip Dhaka Tribune, pada 2019, transgender yang disebut sebagai hijras bahkan telah memiliki hak memilih dengan gendernya dalam pemilihan umum. Itu ditegaskan dengan formulir pendaftaran dari KPU Bangladesh yang menambahkan hijras sebagai jenis kelamin di data pemilih bersanding dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Upaya ini tentu menjadi perhatian. Meski mayoritas masyarakat Bangladesh adalah muslim konservatif, tidak bisa ditutupi kalau ada sekitar 1,5 juta orang transgender di dalam masyarakat. Namun, sebagai minoritas dan kelompok rentan, mereka kerap mengalami diskriminasi hingga kejahatan dalam waktu yang sangat panjang
Kerentanan dan diskriminasi yang mereka alami seringkali membuat kaum transgender ini kehilangan haknya. Penindasan dan pelecehan telah mendorong mereka untuk meninggalkan rumah mereka dan mempersulit mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Akhirnya untuk bertahan hidup banyak dari mereka yang terlibat dalam mengemis, perdagangan seks, hingga tindak kejahatan lainnya.
Langkah Perdana Menteri Sheikh Hasina yang mengizinkan transgender diidentfikasi sebagai gender ketiga pada 2013 tentu jadi angin segar. Secara bertahap, kebijakan baru terus lahir.
Selain hak memilih dengan gendernya dan pemotongan pajak buat perusahaan yang mempekerjakan transgender, saat ini Bangladesh juga sedang mewacanakan pengaturan hak waris untuk mereka.
Perdana Menteri Sheikh Hasina, dalam Dhaka Tribune mengatakan pada rapat kabinet November 2020 lalu, undang-undang warisan baru untuk kelompok tersebut, sedang disusun.
Berbeda dengan hukum sebelumnya yang melarang warisan jatuh ke orang transgender, UU baru ini justru memberi peluang berbeda.
“Kami sedang mencoba untuk menyusun undang-undang sesuai dengan hukum syariah Islam dan konstitusi kami yang akan menjamin hak milik bagi anggota keluarga transgender,” kata Menteri Hukum Anisul Huq kepada AFP.
Disambut Baik. Tapi….
Rangkaian kebijakan baru ini tentu disambut baik oleh kalangan transgender Bangladesh. Kendati demikian, memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan bersama untuk membuat transgender lebih diterima di lingkungannya.
Ananya Banik menyebut, terkait wacana UU hak waris misalnya, ini tentu sangat menarik buat kaum transgender. Tetapi sulit dibayangkan bagaimana penegakannya nanti mengingat masih banyak transgender di Bangladesh yang tidak diterima oleh keluarganya.
“Sebagai seorang aktivis, saya senang masalah ini menjadi fokus. Tapi ini bukan hanya masalah undang-undang, melainkan membutuhkan perubahan di seluruh masyarakat,” kata Banik.
Baca juga: Daftar Negara yang Menolak dan Menerima Transaksi Kripto
Banik yang kini berusia 40 tahun saja, saat memilih menjadi transgender harus keluar dari rumah pada usia 16 tahun. Ini tak lain karena tekanan yang diterimanya dari masyarakat.
“Saya harus meninggalkan keluarga saya karena tekanan yang mereka terima dari keluarga lain ketika saya tumbuh dewasa. Dan saya tidak sendiri, ada ratusan ribu anggota komunitas kami yang harus meninggalkan keluarga mereka,” kata dia.
Dia mengatakan banyak transgender meninggalkan rumah mereka pada usia muda, sering diusir dari anggota keluarga, dan dapat menghadapi kekerasan jika mereka kembali untuk mengklaim warisan mereka. Kelompok hak asasi juga takut akan reaksi keras dari kelompok garis keras agama.
Pada tahun 2015 ekstremis agama membunuh seorang aktivis gay terkemuka dan editor majalah LGBTQI, sementara homoseksual terkemuka lainnya telah melarikan diri dari negara itu.
Lain dari itu, ada juga usulan dari kaum transgender untuk mengubah identitas mereka sebagai hijras menjadi transgender saja. Soalnya, istilah hijras hanyalah istilah lokal yang mungkin akan sulit digunakan saat mereka ke luar negeri atau keperluan internasional lainnya.
“Karena masyarakat internasional tidak begitu akrab dengan kata hijrah, mungkin akan menimbulkan masalah bagi kami ketika kami pergi ke luar negeri. Kami meminta pemerintah mengubah kata menjadi transgender atau gender ketiga karena kata-kata ini diakui secara internasional,” kata Ivan Ahmed Katha, aktivis transgender lainnya.