Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyematkan nama baru terhadap varian-varian mutasi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang menimbulkan pandemi lebih dari satu tahun terakhir. Pengubahan nama ini dilakukan untuk memudahkan penyebutan varian virus baru dan diyakini akan memengaruhi pada upaya edukasi dan penanganan di masyarakat.
Melansir laman WHO, pada data yang diperbaharui 31 Mei 2021, nama-nama baru yang disematkan pada mutasi virus SARS-CoV-2 diambil dari alfabet Yunani.
Mark Pallen, pakar bakteriologi yang ambil bagian dalam penamaan ini, kepada The Guardian menyebut, alfabet Yunani diambil setelah beberapa bulan pertimbangan. Kata dia, pakar awalnya mengajukan beberapa kemungkinan, salah satunya menggunakan dewa-dewa Yunani.
WHO juga membagi dua karakter mutasi virus SARS-CoV-2 yang memiliki nama baru ini menjadi Variants of Interest (VOIs) dan Variants of Concern (VOCs).
Baca juga: Mengenal Triple Mutant, Penyebab Melonjaknya Kasus Covid-19 di India | Asumsi
VOIs merupakan kategori yang mengindikasikan varian memiliki mutasi yang memengaruhi sifat penularan, kepekaan alat tes, keparahan gejala, hingga kemampuan virus menghindari sistem imunitas. Sementara VOCs mengindikasikan varian itu lebih berbahaya dibandingkan virus versi asli dilihat dari kecepatan penularan, angka kematian dan mengurangi respons vaksin.
Berikut Nama Barunya
WHO menamakan virus B.1.1.7 yang didokumentasikan di Inggris pada September 2020 dengan nama Alpha. Nama Beta-nya disematkan untuk varian B.1.351 yang terdokumentasi bermutasi di Afrika Selatan pada Mei 2020.
Sementara untuk varian P.1 yang bermutasi di Brasil dan terdokumentasi pada November 2020 dinamakan sebagai Gamma. Lalu, mutasi B.1.617.2 yang bermutasi di India dan didokumentasikan pada Oktober 2020 dinamakan sebagai Delta.
Empat mutasi virus Covid-19 ini masuk pada kategori VOCs.
Mutasi virus yang masuk ke kategori VOI terdiri dari enam varian.
Pada varian B.1.427/B.1.429 yang terdokumentasi di Amerika Serikat pada Maret 2020, WHO memberi label Epsilon. Mutasi yang terekam di Brasil pada April 2020 dan semula dinamakan P.2 kini bernama Zeta. Varian B.1.525 yang terdokumentasi di beberapa negara pada Desember 2020 diberi label Eta.
Baca juga: Benarkah Vaksin di Indonesia Tidak Efektif Lawan Mutasi Covid-19 N439K? | Asumsi
Lainnya, mutasi P.3, yang terdokumentasi di Filipina pada Januari 2021, diberi label Theta. Iota untuk varian B.1.526 yang terdokumentasi di Amerika Serikat pada November 2020. Terakhir, mutasi B.1.617.1 di India, yang terekam pada Oktober 2020, kini diberi label Kappa.
Nama Lama Untuk Penelitian
Meski sudah diberi nama baru, sistem tata nama yang mapan untuk penamaan dan pelacakan garis keturunan genetik SARS-CoV-2 oleh GISAID, Nextstrain dan Pango akan tetap digunakan oleh para ilmuwan dalam penelitian ilmiah.
Nama-nama baru ini dibuat untuk membantu diskusi publik dan telah disepakati lewat diskusi sekelompok ilmuwan dari Kelompok Kerja Evolusi Virus WHO, jaringan laboratorium rujukan Covid-19 WHO, perwakilan dari GISAID, Nextstrain, Pango dan pakar tambahan dalam virologi, nomenklatur mikroba, dan komunikasi dari beberapa negara dan lembaga untuk mempertimbangkan label yang mudah diucapkan dan tidak menstigmatisasi untuk VOI dan VOC.
“Alfabet Yunani, yaitu Alpha, Beta, Gamma, yang akan lebih mudah dan praktis untuk dibahas oleh audiens non-ilmiah,” ungkap WHO dalam pernyataannya.
Sebelumnya, dalam diskusi publik, nama yang disematkan pada varian baru virus SARS CoV-2 sering merujuk pada negara asal virus itu bermutasi. Misalnya saja penyebutan varian India atau varian Brasil.
Mengutip New Scientist, penamaan ini tidaklah adil untuk masyarakat di negara tersebut. Mark Pallen dari Quadram Institute di Norwich, Inggris, menulis di New Scientist pada bulan Maret bahwa pendekatan yang mirip dengan yang digunakan untuk penamaan badai mungkin berguna untuk menghasilkan nama yang netral dan lebih mudah diingat untuk varian virus ini.
Menghindari merujuk varian virus mutasi SARS CoV-2 dengan nama geografis juga dapat mendorong negara untuk mendeteksi dan melaporkan varian dengan cepat, yang sangat penting untuk mengelola penyebarannya. “Tidak ada negara yang harus distigmatisasi karena mendeteksi dan melaporkan varian,” kata Maria van Kerkhove, kepala teknis Covid-19 di WHO melalui Twitter.
Baca juga: Bikin Parno, Seberapa Bahaya Mutasi Virus Corona Bagi Penyintas? | Asumsi
“Secara global, kami membutuhkan pengawasan yang kuat untuk varian.” Kerkhove menambahkan.
Orang Asia Masih Distigma
Mengutip The Herald, terlepas dari penamaan awal virus Corona dan penyakit yang disebabkannya, orang-orang Asia dari seluruh dunia telah menjadi sasaran diskriminasi dan serangan xenofobia sejak pandemi dimulai. Kejahatan kebencian terhadap orang Asia terus terjadi dan mengalami lonjakan, terutama di Amerika Serikat.
Yang terburuk adalah serangkaian penembakan massal 16 Maret 2021 di tiga spa atau panti pijat di Atlanta yang menewaskan delapan orang, enam di antaranya adalah wanita Asia.
Presiden Joe Biden menandatangani Undang-Undang Kejahatan Kebencian Covid-19 pada 20 Mei 2020 yang menekankan soal peningkatan kekerasan terhadap orang Amerika keturunan Asia. Undang-undang tersebut membantu membuat informasi kejahatan rasial negara bagian dan lokal lebih mudah diakses oleh publik.
Dr. Marietta Vazquez, wakil ketua keragaman, kesetaraan dan inklusi untuk pediatri di Yale School of Medicine menyebut perilaku dan stigma yang dikaitkan pada penyakit tertentu bisa mencegah orang mendapatkan perawatan yang mungkin sangat mereka butuhkan untuk menjadi lebih baik dan mencegah orang lain jatuh sakit.
“Ketika dihadapkan dengan jenis diskriminasi yang terus-menerus dan meningkat ini, teman, tetangga, dan kolega kami, yang berasal dari Asia, dapat merasa tidak nyaman di tempat-tempat yang seharusnya mereka merasa diterima, disertakan, dan aman. Jenis diskriminasi ini juga dapat membahayakan kesehatan mental mereka,” kata Vazquez.