Jika tidak pandemi, Borobodur hari ini, 26 Mei 2021, tentu sudah ramai. Biasanya, para penganut Buddha dari mancanegara sengaja datang ke candi yang ada di Jawa Tengah itu untuk merayakan puncak hari raya Waisak.
Khasnya perayaan Waisak di sana, membuat magnetnya tak lagi berlaku bagi umat Buddha saja. Banyak masyarakat lain yang ikut hadir untuk merasakan atmosfernya. Mereka ikut mengabadikan perayaan Waisak di sana. Saking banyaknya yang hadir, sampai-sampai sempat terjadi pro kontra pada 2013 karena ada beberapa fotografer yang dianggap tidak menghargai kekhusyuan ibadah penganut Buddha di sana.
Memotret acara Waisak juga tidak dilarang. Akan tetapi banyak fotografer yang tidak tahu sopan santun.
— TWC BOROBUDUR (@BorobudurPark) May 27, 2013
Borobudur yang jadi satu dari sekian keajaiban dunia diklaim sebagai candi Buddha terbesar di Asia Tenggara. Tak heran kalau candi peninggalan Dinasti Sailendra, yang hidup antara 780 sampai 840 Masehi, ini menjadi sangat ikonik.
Namun, meski sudah berdiri berabad-abad, fungsi Borobudur sebagai tempat ibadah sempat ditinggalkan. Ini terkait dengan memudarnya pengaruh Buddha di Jawa sejak Majapahit tak lagi berkuasa pada tahun 1500-an.
Peringatan Waisak baru kembali digelar secara nasional di sana sekira 500 tahun kemudian. Adalah Biksu Ashin Jinarakkhita yang menginisiasinya.
Baca juga: Perjalanan Agama Hindu Hingga Diakui di Indonesia | Asumsi
Biksu Indonesia Pertama
Biksu Ashin, yang punya nama lahir Tee Boan An, dianggap sebagai biksu pertama Indonesia setelah 500 tahun keruntuhan agama Buddha pada era Majapahit. Mengutip Historia, Tee sejak muda sudah tertarik pada spiritualitas. Ketertarikan ini yang membawanya melakukan perjalanan ke Solo dan Yogyakarta hingga kemudian berkenalan dengan anggota-anggota teosofi.
Tee sebetulnya punya latar pendidikan Barat. Setelah Kemerdekaan, Tee kuliah di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Alam, Universitas Groningen, Belanda. Namun, ketertarikannya pada dunia spiritual membuatnya mulai mempelajari ajaran agama-agama besar dunia hingga jatuh hati pada Buddhisme. Minatnya yang semakin besar pada Buddhisme membawanya pada keputusan untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk mempelajarinya, dan menghentikan studinya di bidang kimia.
Pada 1951, Tee kembali ke Indonesia dan mulai menyebarkan Buddhisme. Ia kemudian menjadi wakil ketua Pemuda Teosofi yang punya tugas membangun komunitas Buddha di klenteng-klenteng, di mana ceramah Dharma (ceramah tentang ajaran-ajaran Siddharta Gautama) tak pernah diadakan.
Pada 1953, Tee belajar Dharma pada biksu Pen Ching, pendiri Vihara Kong Hoa Sie, Jakarta. Oleh biksu asal Fujian, Tiongkok, ini dia ditahbiskan dan mendapat nama baru, yakni Ti Chen.
Edij Juangari, dalam “Menabur Benih Dharma di Nusantara: Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita” yang dikutip Historia, menyebut bahwa Tee melanjutkan pendidikan Buddhismenya ke Burma. Di sana, Tee mendapat bimbingan dari biksu U Nyanuttara Sayadaw hingga ditahbiskan sebagai biksu dalam mazhab Theravada pada 23 Januari 1954. Dari sini, dia mulai menyandang nama Ashin Jinarakkhita.
Di Indonesia, Ashin memulai pengabdian serta ceramah-ceramah Dharma ke berbagai daerah serta mendatangi komunitas-komunitas kepercayaan, seperti di Dieng dan Bromo. Meski membawa tradisi Theravada dari Burma, dia terbuka terhadap pembauran tradisi yang telah ada di Nusantara.
Waisak Borobudur, Kebangkitan Kembali Buddha di Nusantara
Dalam “Menolak Waisak Nasional Walubi” (Totok, 2017), Biksu Ashin Jinarakkhita disebut mempelopori perayaan Waisak di Borobudur pada 22 Mei 1953. Historia menyebut, Biksu Ashin membuat Borobudur kembali aktif menjadi situs agama Buddha, bukan sekadar bangunan mati.
Baca juga: Tahun Baru Imlek: Lambang Hewan dan Alam Sebagai Simbol Keseimbangan Ekosistem | Asumsi
Perayaan Waisak ini bisa dibilang besar. Pesertanya tidak hanya berasal dari seluruh Indonesia, tetapi juga Singapura, Thailand, Burma, Sri Lanka hingga India. Perayaan Waisak 1953 ini juga sering disebut sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan kembali umat Buddha di Indonesia.
Sebelum 1953, sekira tahun 1930-an, Waisak sempat digelar juga di Borobudur. Namun, kala itu, Waisak bukan digelar oleh komunitas Buddha melainkan oleh para anggota teosofi yang banyak diikuti oleh orang Eropa dan ningrat Jawa. Bedanya, di awal dekade 1930, Waisak dirayakan secara meditatif ketimbang seremoni, seperti yang digagas Biksu Ashin Jinarakkhita.
Para teosof menamakan ritual ini sebagai tirakatan wungon purnomosiden. Peneliti menyebut ritual ini adalah bentuk ketertarikan para teosof pada filosofi yang dibawa Siddharta Gautama. Penemuan candi Borobudur oleh Stamford Rafles dan candi-candi umat Buddha yang lain semakin memberi motivasi para teosof untuk lebih menggali ajaran Buddha.
Mengutip laman Kemendikbud, Waisak versi para teosof ini berhenti saat terjadi perang kemerdekaan.
Waisak Monumental
Perayaan Waisak Nasional di Borobudur kembali digelar pada 1956. Biksu Ashin saat itu belum lama pulang dari perjalanan bergurunya ke Burma.
Waisak kali ini cukup monumental karena bertepatan dengan usia agama Buddha ke 2500 atau yang disebut dengan Buddha Jayanti. Gelarannya diselenggarakan oleh Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) yang didirikan Biksu Ashin pada 1955.
Organisasi ini mempunyai jaringan cukup kuat di Indonesia dan komunitas Buddha Internasional. Ini terbukti dengan diterbitkannya buku “2500 Buddha Jayanti” oleh PUUI dengan kontributor artikel PM India Jawarharlal Nehru, Presiden World Fellowship of Buddhist, Prof. Dr. GP Malalasakera, hingga Ketua Les Amis du Bouddhisme, Mademoiselle G Constat Lounsbery, B.Sc.
Waisak monumental lain di Borobudur terjadi juga pada 1959. Kali ini diisi dengan pentahbisan biksu dan samanera (petapa muda) dari Indonesia untuk pertama kali dalam sejarah sejak kebangkitan kembali agama Buddha di Nusantara.
Acara perayaan Waisak Borobudur 1959 digelar dengan sembahyang di Candi Mendut kemudian melakukan prosesi jalan kaki menuju Candi Borobudur. Sesampai di Candi Borobudur, umat melakukan ritual puja pradaksina atau mengelilingi stupa utama sebanyak tiga kali dan bermeditasi hingga melewati detik-detik Waisak.