Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan surat keputusan SP3 kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan diterbitkannya surat penghentian penyidikan dan penuntutan atau SP3. Secara otomatis dengan penerbitan surat SP3 menyebabkan 2 tersangka, yakni Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim bebas dari status tersangka.
Pengumuman diungkapkan sendiri oleh pemimpin KPK dua periode, Alexander Marwata pada Kamis, 1 April 2021 di Gedung Dwiwarna KPK.
” Hari ini kami akan mengumpulkan penghentian penyidikan terkait tersangka SN dan ISN. Keputusan ini diambil berdasarkan aturan dalam Pasal 40 Undang-Undang KPK,” kata Alexander Marwata di kantornya.
Pasca pengumuman SP3, KPK lantas berniat secepatnya mengugurkan daftar pencarian orang kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai buronan interpol dengan dicabutnya red notice kepada keduanya.
“Itu juga yang akan dilakukan (Penghentian kasus BLBI) Secepatnya. Karena sudah dihentikan maka status SN dan ISN sudah tidak lagi menjadi tersangka,” tutur Pelaksana Tugas (Plt) Juru bicara KPK Ali Fikri kepada Asumsi.co, Minggu, (4/4/ 2021).
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga tidak mempermasalahan SP3 SKL BLBI. Sebab, keputusan KPK ini terpaksa diambil berdasarkan rujukan dari hasil putusan Kasasi tersangka sebelumnya, Syafrudin Temenggung.
“Berdasarkan putusan kasasi SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) yang dilepas (onslag) artinya ada perbuatannya bukan pidana tapi perdata. Karena itu saya katakan bahwa perbuatan SAT tidak bisa disamakan dengan Sjamsul Nursalim yang secara nyata telah merugikan negara triliunan rupiah,” ucap Abdul Fickar Hadjar kepada Asumsi.co.
Meskipun begitu, keputusan ini masih saja menimbulkan tanda tanya banyak pihak. Mengingat dalam perkara perbitan SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI negara sudah dirugikan sekitar Rp 4, 58 Triliun. Kerugikan negara ini sendiri sudah dihitung ulang oleh pihak Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2017 lalu.
Apalagi salah salah satu auditor investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara pernah menjelaskan hal tersebut di muka persidangan.
Ia memberikan keterangan dalam Persidangan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Senin, 6 Agustus 2018 lalu.
Nyoman bercerita adanya penyimpangan dari surat keterangan keterangan lunas (SKL) yang diberikan oleh Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Penyimpangan tersebut dilakukan kepada Sjamsul, Itjih dan Syafruddin Arsyad Temenggung.
“Sejak awal saya sudah merasa ada penyimpangan dari pemberian SKL BLBI dari Pak Sjamsul Nursalim ini. Pertama terjadi misrepresentasi utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun,” ujar ahli dari BPK I Nyoman Wara kala itu.
Pernyataan Nyoman ini dituturkan di depan Ketua Majelis Hakim Yanto menjelaskan bahwa kebijakan piutang senilai Rp 4,8 Triliun tersebut sebagaaset lancar pada perhitungan jumlah pemegang saham (JKPS) dalam perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
Padahal penerapan MSAA tersebut bisa diterapkan bila perjanjian penyelesaiaan BLBI dengan jaminan aset obligor. Sementara pada kasus SKL BLBI tersebut masuk kepada golongan kredit macet.
“Artinya saya bilang kalau dua perusahaan milik Pak Sjamsul Nursalim, yakni PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (MW) tersebut masuk ke dalam piutang tak lancar atau kredit macet. Jadi tidak bisa dimasukkan ke dalam pemberian SKL BLBI hakikatnya tidak bisa karena pemberian SKL harus lancar antara aktiva dan pasiva penerimaan kewajiban dari obligor,” ujar I Nyoman Wara saat itu.
Hujan Protes SP3 Kasus SKL BLBI
Pasca pembekuan kasus sejak diterbitkannya SP3 SKL BLBI menuai reaksi banyak pihak. Salah satunya pihak Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana nilai bahwa Sjamsul dan Itjih Nursalim patut menjalankan hukuman karena dianggap telah merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun.
” Saya kira penting bagi kita untuk melihat kasus ini telah merugikan negara sekitar Rp 4, 58 triliun. Jadi tentu saja harus didalami mengapa SKL BLBI justru di SP3 kan,” tutur Kurnia Ramadhana kepada Asumsi.co, Minggu, (4/4/2021).
Menurut Kurnia, dasar aturan yang menjadi pedoman KPK menghentikan kasus adalah Pasal 40 UU KPK Nomor 19 tahun 2019 bisa dijadikan pedoman bagi pelaksanaan undang-undang tindak pidana korupsi.
Adanya pertimbangan yang dinilai tumpang tindih, satunya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004. Mengingat ICW menilai pihaknya mengendus kemungkinan adanya nego-nego dari pejabat struktural KPK dengan Komisi III DPR mengenai uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test agar terpilih menjadi pucuk pimpinan KPK.
” Saya menilai Kenapa tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba SP3 KLB itu diberlakukan dengan alasan adanya pasal 40 UU KPK No 19 tahun 2019 itu. Bisa jadi patut diduga ini sudah disepakati oleh sejumlah saat uji kelayakan dan kepatutan dulu dengan orang partai,” tutur Kurnia.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga tidak setuju dengan keputusan KPK terkait kasus Sjamasul dan Itjih Nursalaim dihentikan. Koordinator MAKI Boyamin Saiman rasa keputusan itu sangat tidak benar diterapkan. Hal ini karena sebelumnya sudah ada perkara hukum yang berjalan terkaget dalam surat dakwaan atas syafruddin Arsyad Temenggung yang disebut dengan jelas didakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro Jakti.
“Hukum di Indonesia tidak bisa berlaku surut. Mengingat sebelumnya sudah ada 1 orang tersangka yang dijelaskan ke penjara yakni Kepala BDNI. Artinya hukum di Indonesia menganut sistem pidana kontinental warisan Belanda yaitu tidak berlakunya sistem yurisprudensi,” kata Bonyamin kepada Asumsi.co.
Termasuk juga datang dari penggiat anti korupsi Mantan Ketua Pukat UGM, sekaligus Pakar Hukum Tata Negara, Zaenal Arifin Mochtar. Zaenal Arifin Mochtar menuturkan bahwa pengertian kasus dengan SP3 barulah pertama kali dilakukan oleh KPK sepanjang sejarah berdirinya lembaga antirasuah itu.
” Sudah ada dalilnya bahwa revisi DPR tahun 2019. KPK boleh melaksanakan menghentikan kasus pidana yang sedang diurusnya. Tapi bukan berarti bahwa kasus sebesar ini bisa untuk dihentikan. Sepertinya ada kesan tidak ada perlawanan untuk itu. Apa motifnya,” tanya Zaenal Arifin Mochtar pada diskusi virtual, Sabtu, 3 April 2021.
SP3 Layak Untuk Perkara Kedaluarsa Hukum
Selain memprotes keputusan SP3 KPK, ICW juga menilai perkara SKL BLBI belum bisa ditetapkan perkara kedaluarsa hukum, karena adanya penyelidikan baru. Mengingat adanya novum (bukti baru) penyelidikan pihak BPK tersebut, sehingga dalam perkara ini sepatutnya tidak adanya masa daluarsa hukum atau kedaluwarsa hukum di KUHP maupun KUHAP tidak berlaku untuk kasus SKL BLBI.
Aturan masa kedaluarsa hukum pidana diatur pada Pasal 85 ayat (2) juncto Pasal 85 ayat (1) KUHP dimana usia kasus yang disidik belum mencapai 16 tahun.
Kurnia menerangkan dalam rentang waktu tersebut juga diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah berlaku.
“Ini juga terkait persoalan Syafruddin dengan Itjih dan Sjamsul Nursalim. Ada perbedaan perlakuan yang bisa dilihat. Pada Syafruddin ia telah didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di Pasal itu juga memuat ancaman pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, atau pidana mata dalam hal tertentu. Sementara Itjih dan Sjamsul justru malah di SP3 kan. Ini ada apa?,” tanya Kurnia.
Hal senada juga dikatakan oleh ahli Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Zaenal Arifin Mochtar menilai bahwa kasus ini belum masuk kategori masa daluarsa hukum.
“Dalam Pasal 78 ayat 1 Pasal 79 KUHP, kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, masa kedaluarsa berlaku setelah 18 tahun sejak tindak pidana terjadi. Apalagi kasus korupsi bukanlah kejahatan hukum pidana biasa namun masuk ke dalam extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa,” tutur Arifin Mochtar.
ICW dan MAKI Ambil Langkah Pra Peradilan SKL BLBI
ICW dan MAKI merasa keberatan dengan keputusan SP3 KPK dalam perkara SKL BLBI. Maka keduanya pun batal mengambil langkah tegas mengadukan perkara ini ke jalur praperadilan.
” Kami berharap bahwa kasus ini tidak berhenti begitu saja karena perbuatan nursalim keluarga telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah. Akan mendarat kami sangat perlu bagi Jaksa KPK untuk penggugat SKL ini. Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang. Dan kalau bisa kami sendiri dengan sejumlah pegiat antikorupsi yang akan melaporkan perbuatan ini ke perkara perdata,” kata Kurnia Ramadhana.
Senada dengan ICW, MAKI juga akan melakukan gebrakan yang sama dengan melayangkan gugatan pro peradilan melawan KPK untuk membatalkan SP3 perkara dugaan korupsi tersangka pasutri Sjamsul dan Itjih Nursalimsalin itu.
” MAKI berencana akan segera mengajukan gugatan praperadilan Untuk membatalkan SP3 itu di pengadilan negeri Jakarta Selatan gugatan ini akan kami lakukan secepatnya maksimal akhir bulan April 2021,” pungkas Bonyamin.
Menanggapi upaya dari ICW dan MAKI, pihak KPK mengaku tidak akan menghalang-halangi proses tersebut. KPK mengatakan bahwa setiap orang yang berkedudukan sama dimata hukum atau equality before the law. Bagi siapapun yang merasa tidak mendapatkan keadilan maka ia berhak mencarinya.
” Silakan saja kalau mau melaporkan perkara ini ke praperadilan tapi yang jelas KPK tidak akan menghalang-halangi karena menurut kami equality before the law itu penting,” tutur Ali Fikri.
Seperti diketahui bahwa BLBI merupakan skema pinjaman pemerintah di Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas karena krisis 1998. Pada Desember 1998 Bi menyalurkan dana sekitar Rp 147,7 triliun kepada 48 Bank. Mulai dari 10 bank merupakan bank beku operasi limbah bank take over 18 bank berstatus bank beku kegiatan usaha dan 15 lainnya adalah bank dalam likuiditas.
Bank Dadang Nasional Indonesia (BDNI) merupakan salah satu bank yang ditetapkan sebagai bank dalam penyehatan atau bank beku operasi BDNI kemudian menandatangani pengambilan aset dengan badan penyehatan perbankan nasional BPN melalui Master statement aquisition agreement (MSAA).
Kemudian Sjamsul Nursalim pemegang saham pengendali BDNI menanggung sisa keuangan kewajiban BDNI sebesar Rp 28,4 triliun pembayaran dilakukan secara tunai senilai Rp 1 triliun dan penyerahan aset perusahaan Rp 27,49 triliun.
Setelah itu, di tahun 2002 terjadi proses likuiditas terhadap kewajiban obligor sebesar Rp 4,8 triliun dari proses tersebut 1 triliun direstrukturisasi sedangkan Rp 3,7 triliun lainnya tidak dilakukan pembahasan.
Pada tahun 2004 PPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL surat keterangan lunas terhadap Sjamsul Nursalim . Keputusan ini tentu saja menimbulkan banyak spekulasi mengingat saat itu kewajiban obligor masih ditagihkan penerbitan SK pada Sjamsul sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Menindaklanjuti SKL BLBI kemudian di tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan atau (BPK) memeriksa penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) atas laporan pelaksanaan tugas BPPN. BPK dalam laporannya menyatakan semua obligor telah memenuhi kewajiban BPPN.
Namun di tahun 2017 hasil audit BPK justru menunjukkan sebaliknya adanya perbedaan yang signifikan dari hasil audit di tahun 2006 silam. Audit BPK 2017 mengindikasikan adanya kerugian keuangan negara sebesar 4,58 triliun dan diduga terjadi indikasi tindak pidana korupsi dalam penerbitan surat SKL blbi KPK kemudian memeriksa Sjamsul Nursalim.
Kerancuan itu kemudianmembuat KPK untuk melakukan penetapan tersangka terhadap syafruddin Arsyad Temenggung dan pada 10 Juni 2019 Sjamsul dan istrinya menjadi tersangka.