Dalam satu pekan terakhir, aparat nampaknya sedang gencar menangkapi para preman. Tidak hanya di Jakarta, penangkapan orang-orang yang selama ini kerap dianggap meresahkan itu juga dilakukan di beberapa daerah, seperti Batam hingga Makassar.
Titah untuk menangkap para preman ini turun dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kamis (10/6/2021), tak lama setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan keluh kesah sopir truk Tanjung Priok yang sering kena palak. Tak lama titah itu turun, ratusan orang yang diindikasi preman ditangkap.
Tetapi, bukan kali ini saja Indonesia berurusan dengan preman. Seperti predikatnya yang sudah akrab kita dengar, kehadiran preman memang berdampingan dengan denyut republik ini. Penggunaan istilah ini bahkan lebih tua dari usia Republik Indonesia.
Preman biasanya disematkan pada orang yang dikenal kerap mengganggu, meresahkan, arogan, dan suka minta uang dengan cara paksa. Karena citra ini, tindakan yang mengacu pada kerjaan preman sering disebut dengan premanisme.
Baca juga: Selesaikan Pungli dan Premanisme di Priok Tak Cukup Telepon Kapolri Pak Jokowi | Asumsi
Diambil dari Bahasa Belanda
Mengutip Kompas, kata preman sendiri diadopsi dari Bahasa Belanda, vrijman yang punya arti orang bebas. Mulanya predikat ini tidak melulu negatif. Soalnya, vrijman merujuk pada orang yang tidak terikat pengabdian terhadap pemerintahan kolonial, tetapi turut menjalankan praktik yang mendukung kepentingannya. Orang bebas ini hadir di wilayah legal dan bekerja dalam konteks hukum maupun di luar hukum.
Namun, istilah ini kemudian mengalami perluasan makna, mencakup mereka yang enggan bekerja sama dengan kolonial. Citranya dibuat negatif karena orang yang menentang ini kerap juga melakukan kekerasan dan keributan.
Lambat laun, preman lantas diasosiasikan pada jagoan di satu daerah tertentu yang punya kekuatan fisik dan pengaruh. Mereka sempat berperan sebagai pialang kuasa, yakni perantara antara pihak yang berkuasa dengan masyarakat setempat untuk sebuah kebijakan politik maupun bisnis hingga menjadi manifestasi dari protes sosial melalui praktik perbanditan.
Diburu dan Dimanfaatkan
Dalam perjalanannya, preman juga berdiri di banyak sisi. Selama perang kemerdekaan, ada di antara mereka yang memihak kolonial, namun ada pula yang sebaliknya. Bahkan di tahun 1946, sejumlah preman yang ditahan dibebaskan untuk ikut berjuang bersama gerakan republik.
Di era Pemerintahan Soeharto, predikat preman dengan sudut pandang negatif kian muncul seiring maraknya aksi kejahatan yang dilakukan. Sorotan utamanya adalah aksi premanisme di Medan pada 1980-an yang meresahkan masyarakat.
Baca juga: Kiprah Dakwah Anton Medan | Asumsi
Beberapa tahun dari situ, preman semakin dipandang negatif dengan adanya operasi pembasmian preman. Operasi ini sering dikenal sebagai Penembakan Misterius (Petrus).
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada 2012 merilis laporan atas insiden petrus yang dilakukan institusi keamanan terhadap orang yang dikategorikan sebagai preman. Dalam data tersebut, jumlah korban meninggal akibat penembakan yang berlangsung pada rentang waktu 1982-1985 adalah 167 orang.
Namun, di tengah konotasi negatif, preman juga sering menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam konteks sosial dan politik. Salah satunya menjaga tertib sosial di tengah-tengah masyarakat.
Harian Kompas menyebut pada tahun 1984, misalnya, preman di Kota Medan, Sumatera Utara, bertugas untuk mengawal masyarakat agar patuh terhadap kebijakan parkir dari pemerintah. Para preman ini bekerja dengan memungut uang parkir untuk disetorkan kepada para pemborong. Uang setoran kemudian kembali disalurkan pemerintah setempat (Kompas, 16 April 1984).
Baca juga: Haji Lulung, Si “Preman Pensiun” Tanah Abang | Asumsi
Karir Kriminal dan Kebutuhan Ekonomi
Kriminolog UI, Bhakti Eko Nugroho dalam The Conversation menyebut motivasi seseorang terlibat dalam kelompok preman biasanya didasarkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Namun, mereka tak hanya bisa berada di posisi yang sama. Untuk maju, mereka harus menunjukan loyalitas dan meningkatkan karir lewat penyelesaian tugas kriminal.
Banyak ragam yang menentukan seseorang akan berada di kelompok preman mana. Ini kerap bersinggungan dengan atribut kultural seperti etnis, bahasa, dan kebiasaan. Secara teknis, kesamaan atribut-atribut kultur akan memudahkan dan mempercepat proses sosialisasi nilai-nilai di dalam kelompok kriminal.
“Di Indonesia, hubungan kultural antar-individu dalam kelompok kriminal membuat persoalan premanisme menjadi kian kompleks,” tulis Bhakti.
Bagaimana Menghadapi Preman?
Menurut Bhakti, menyikapi persoalan preman tak bisa setengah-setengah. Kekeliruan dalam melihat akar persoalan premanisme akan menimbulkan bencana yang lebih besar dibanding premanisme itu sendiri. Lain dari itu, negara juga tidak boleh merespons premanisme dengan cara-cara preman.
Menurutnya, pemerintah perlu menanggulangi premanisme secara komprehensif dengan melihat masalah ini sebagai masalah kesejahteraan. Pemerintah harus memulai dari penyelenggaraan pendidikan yang merata dengan kualitas maksimal dan akses seluas-luasnya.
Baca juga: Apa Jadinya Kalau Preman Pasar Ikut Dilibatkan Tangani COVID-19? | Asumsi
“Dengan demikian, anak-anak muda di seluruh Indonesia dapat menjangkau dan terlibat dalam proses pendidikan yang mengembangkan diri dan potensinya secara optimal,” tutur Bhakti.
Pemerintah juga perlu serius dalam menciptakan lapangan kerja yang terdistribusi secara merata. Hal seperti ini penting untuk menekan kemungkinan berkembangnya kelompok preman menjadi organisasi kriminal yang mapan.
“Mengabaikan persoalan laten ini artinya menciptakan iklim yang kondusif bagi kelompok-kelompok preman untuk tumbuh menjadi kelompok organized crime yang mapan,” ujar Bhakti.