Isu Terkini

Kiprah Dakwah Anton Medan

M. Ashari — Asumsi.co

featured image
Facebook/H. Anton Medan

Kabar duka tentang wafatnya Muhammad Ramdhan Effendi atau dikenal dengan nama Anton Medan muncul pada Senin (15/3/21). Anton Medan menarik perhatian banyak pihak karena lintasan hidupnya yang berliku dan sempat lekat dengan dunia hitam. Ia setidaknya telah berkutat dengan dunia kejahatan dari masa kecil, sejak berumur 12 tahun.   

Namun, lintasan hidupnya berbalik 180 derajat ketika ia memutuskan lepas dari dunia kejahatan. Ia memilih untuk mendekat ke ajaran agama Islam. Seiring waktu, Anton Medan tidak hanya belajar agama islam, tapi juga mendakwahkannya.

Kiprah Anton Medan sebagai pendakwah terekam dalam studi yang dilakukan oleh Wai-Weng Hew dan dituangkanya dalam artikel berjudul Expressing Chineseness, Marketing Islam, The Hybrid Performances of Chinese Muslim Preachers. Hew merupakan seorang sarjana dari Australian National University. Artikel Hew ini menjadi salah satu bagian dalam buku berjudul Chinese Indonesians Reassessed: History, Religion and Belonging yang disunting oleh Siew-Min Sai & Chang-Yau Hoon. Buku itu terbit pertama kali pada tahun 2013.

Dalam studinya, Hew menyebutkan bila Anton Medan menjadi salah satu pendakwah keturunan Cina populer disamping Koko Liem dan Tan Mei Hwa.  Keterkenalan ketiga pendakwah itu disebutkannya telah menembus batas-batas komunitas Tionghoa. Mereka tidak hanya popular di antara etnis Tionghoa mualaf, tapi juga etnis lainnya yang beragama islam.

Wai-Weng Hew melihat salah satu indikasi utama popularitas para pendakwah keturunan Tionghoa yang dibahasnya itu dari frekuensi mereka diundang untuk berbicara di televisi. Indikasi lainnya juga terlihat dari kehadiran masyarakat ketika mereka memberikan ceramah.

Hew menilai popularitas ketiga pendakwah keturunan Tionghoa itu bisa muncul karena tidak terlepas dari runtuhnya rezim Orde Baru. Menurutnya, keruntuhan rezim tersebut telah memungkinkan kebudayaan Tionghoa kembali mendapatkan tempat yang lebih leluasa dalam kehidupan publik Indonesia. Sebagaimana diketahui, Presiden Republik Indonesia Periode 1999-2001 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Pencabutan Inpres tersebut menjadi titik penting bagi perjalanan masyarakat Tionghoa. Pasalnya, mereka bisa merayakan Imlek dan hari raya lainnya secara terbuka.

Lebih lanjut, dalam bahasan khusus mengenai Anton Medan, Hew menulis bahwa Anton Medan atau Tan Kok Liong adalah karakter yang kontroversial karena lintasan hidupnya yang sempat bersinggungan dengan dunia hitam. Ia menyebut Anton Medan pada awalnya merupakan sosok seorang gangster atau preman yang terlibat dalam perampokan, perdagangan obat terlarang dan perjudian ilegal. Aksi-aksi itu juga yang pada akhirnya membuat Anton Medan merasakan penjara selama 18 tahun dalam lintasan hidupnya.

Namun, penjara itu pula yang menghantarkan Anton Medan menjadi mualaf dan mengganti namanya dengan Muhammad Ramdhan Effendi. Hew menyebutkan bila Anton Medan memulai aktivitasnya sebagai pendakwah di tengah-tengah narapidana dan pelacur, sebelum akhirnya semakin dikenal di masyarakat luas. Selain itu, Anton Medan juga disebutkannya telah mendirikan ruang pelatihan bagi para narapidana dan preman untuk bisa menjadi pekerja berkeahlian serta berwawasan relijius. Tidak hanya berdakwah, pada tahun 2005 juga Anton Medan mendirikan pesantren yang masih berdiri sampai saat ini, yakni Pondok Pesantren Terpadu At-Taibin di Bogor. Di pesantren itu, katanya, para santri tidak hanya diajari juga pengetahuan agama, tapi juga pengetahuan entrepreneurship.

Pada bagian lain, Hew menuliskan percakapannya dengan Anton Medan terkait aktivitasnya berdakwah. Anton Medan sempat mengatakan kepada Hew bahwa uang bukanlah pertimbangan utama dalam berdakwah. Dalam hal ini, Hew menyebutkan bahwa Anton Medan tengah membedakan pribadinya sebagai pendakwah dengan pendakwah keturunan Tionghoa lainnya. “Saya tidak berdakwah untuk uang dan saya bebas mengatakan hal apapun yang ada di benak saya,” kata Anton saat itu kepada Hew.

Dalam bagian lain, Hew juga menuliskan percakapannya dengan Anton Medan mengenai anggapan dirinya adalah sosok yang konservatif. Anggapan itu muncul dan banyak disorot oleh media massa ketika Anton Medan mengunjungi keluarga terdakwa bom Bali, Amrozi dan Imam Samudra. Anton mengunjungi keluarga besar Amrozi dan Imam Samudra sebelum kedua terdakwa itu dihukum mati.

Hew menyebutkan bahwa ia berkesempatan mengikuti Anton Medan pada saat mengunjungi keluarga besar Amrozi dan Imam Samudra ke Lamongan, Jawa Timur. Anton Medan, dituliskan oleh Hew, disambut secara hangat oleh keluarga besar Amrozi dan Imam Samudra. Belakangan, Anton Medan mengatakan kepada Hew bahwa dirinya sempat berkenalan dengan Amrozi dan Imam Samudra ketika tengah berceramah di penjara. Anton juga mengemukakan kepada Hew bagaimana pada saat itu beberapa kalangan muslim yang segan mengunjungi keluarga besar Amrozi dan Imam Samudra karena takut disangka teroris.

“Banyak kalangan muslim takut mengunjungi keluarga mereka (Amrozi dan Imam Samudra). Tapi, sebagai muslim, apa salahnya mengucapkan bela sungkawa? Dan ini bukan berarti aku mendukung tindakan teror mereka,” kata Anton Medan kepada Hew.

Hew menggambarkan sosok Anton Medan sebagai pendakwah yang terus berupaya membuktikan kesalehannya. Pada saat bersamaan, Anton juga dituliskannya sebagai sosok memiliki sisi toleran dimana hal tersebut didasarkan atas keterlibatannya dalam beragam aktivitas lintas keyakinan agama.

Share: Kiprah Dakwah Anton Medan