Luar Jawa

Rambu Solo, Upacara Orang Mati Suku Toraja Ber-budget Sultan Demi Kedamaian Jiwa

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Instagram @ayodolan

Kematian merupakan salah satu siklus hidup manusia yang dinilai sakral bagi Suku Toraja, Mereka memiliki ritual yang disebut Rambu Solo. Ritual ini merupakan upacara adat yang bertujuan untuk menghormati, serta menghantarkan arwah seseorang yang telah mati menuju alam ruh atau Surga yang masyarakat setempat menyebutnya dengan puya.

Salah satu komunitas adat suku di Tana Toraja yang kerap menggelar upacara rambu solok ialah Kete Kesu. Kete Kesu menempati Kampung Bonoran, Kelurahan Tikunna Malening, Toraja Utara, sekitar 14 km dari Kota Rantepao.

Menurut Tangdilintin dalam bukunya, “Toraja: Sebuah Penggalian Sejarah dan Budaya”, asal nama upacara ini berasal dari nama aluk rambu solo’.  Arti katanya aluk adalah keyakinan, sementara rambu dan solo’ memiliki arti asap atau sinar serta turun dalam bahasa daerah setempat. 

Dengan demikian, aluk rambu solo’ dapat diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun atau waktu senja. Sebutan lain untuk upacara ini adalah aluk rampe matampu’ yang artinya adalah upacara yang dilaksanakan di sebelah barat dari rumah atau tongkonan. 

Kepercayaan Leluhur

Kawasan Kete Kesu menjadikan kerbau merupakan binatang yang dianggap suci. Binatang ini diyakini akan mengiringi arwah mereka yang telah mati. Semakin banyak jumlah kerbau yang digunakan dalam upacara Rambu Solo, ada keyakinan sang arwah akan semakin cepat menuju alam ruh.

Upacara ini dilandasi oleh kepercayaan, serta keyakinan leluhur mereka yang disebut dengan Alok Talodo. Kepercayaan ini memercayai perlunya pemujaan terhadap arwah leluhurnya. 

Mithen Lullulangi lewat buku “Arsitektur Tradisional Toraja” menuliskan bahwa kepercayaan Alok Talado, menurut penganutnya diturunkan oleh Puang Matua yang kemudian diturunkan secara turun menurut kepada anak cucu dan generasi turunannya.

Penganut kepercayaan ini meyakini bahwa Tuhan tertinggi adalah Puan Matua, pencipta manusia pertama dan alam dengan segala isinya. Sang Pencipta dalam bahasa setempat disebut dengan Totiu Mampata yang artinya menciptakan manusia.

Kepercayaan Aluk To Dolo meyakini, semakin tinggi tempat jenazah diletakkan, maka akan semakin cepat pula rohnya menuju ke Nirwana. Apabila dari golongan bangsawan yang meninggal, maka diharuskan memotong kerbau yang jumlahnya tak sedikit sebagai Ma’tinggoro atau kurban.

Proses pemotongan hewan kurbannya, menggunakan pisau kecil yang mampu menebas leher kerbau dalam sekali ayunan.Puncak dari upacara Rambu Solo dilaksanakan sekitar bulan Juli dan Agustus di sebuah lapangan khusus. 

Umumnya, upacara ini terbagi ke dalam dua prosesi, yaitu Prosesi Pemakaman yang juga disebut Rante, serta Pertunjukan Kesenian. Prosesi ini tidak dilangsungkan secara terpisah, namun saling melengkapi dalam keseluruhan upacara pemakaman.

Butuh Budget “Sultan”

Upacara ini diyakini suku Toraja sebagai penyempurna kematian seseorang. Bagi, mereka seseorang belum dinyatakan meninggal dunia belum melaksanakan upacara Rambu Solo

Orang yang telah meninggal, namun belum melakukan upacara ini akan tetap diperlakukan seperti orang yang masih hidup oleh Suku Toraja. Pihak keluarga dan masyarakat setempat, tetap akan menyajikan makanan dan minuman, diajak bercengkrama, hingga almarhum dibaringkan saat akan tidur.

Adapun upacara pemakamannya membutuhkan biaya dengan budget “sultan”, yang nominalnya puluhan hingga ratusan juta Rupiah. Ada banyak persyaratan yang perlu dipenuhi keluarga almarhum. Salah satunya adalah hewan kurban berupa kerbau dan babi. Bagi masyarakat Toraja, kerbau adalah hewan suci yang dapat menghantarkan arwah ke puya.

Kurban yang dikurbankan juga tidak sembarangan, yaitu Tedong Bonga alias kerbau bulai atau albino. Harga satu ekor kerbau berkisar Rp20 hingga Rp50 juta. Bahkan, ada pula kerbau yang harganya mencapai Rp600 juta.

Jumlah kerbau yang dikurbankan tergantung pada strata sosial keluarga yang ditinggalkan. Semakin tinggi strata sosialnya, semakin banyak jumlah kurbannya. Seperti untuk strata sosial menengah, 8 hingga 10 ekor kerbau dan sekitar 30 sampai 50 ekor babi. Bagi kalangan bangsawan, kurban yang dibutuhkan lebih banyak lagi. Jumlahnya, bisa mencapai sebanyak 150 ekor kerbau.

Kerbau-kerbau ini kemudian diarak keliling desa sebagai bentuk penghormatan. Setelahnya, kerbau akan dipertarungkan, baru disembelih. Daging kerbau akan dibagikan secara merata ke semua orang yang membantu proses pelaksanaan upacara ini.

Jenazah Dibekali Pakaian Hingga Uang

Selain menyembelih kurban, peti yang digunakan bagi jenazahnya wajib dihiasi berbagai pernak-pernik perhiasan. Peti jenazah yang memiliki bentuk atap rumah adat Suku Toraja ini, dihias menggunakan kain adat dan tali yang terbuat dari emas dan perak. 

Di dalam petinya, juga diisi sejumlah barang yang akan dijadikan bekal bagi yang telah berpulang sebagai “bekal perjalanan” mereka menuju puya. Barang-barang yang dimasukkan ke dalam peti mulai dari pakaian, perhiasan, hingga sejumlah uang. 

Menariknya, anggota keluarga yang masih hidup juga bisa “menitipkan” barang atau uang ke dalam peti jenazah untuk diberikan kepada anggota keluarga lainnya yang sudah lebih lama meninggal dunia.

Setelah melewati upacara, almarhum akan diarak ke pemakaman yang ada di dinding tebing. Di lokasi pemakaman, pancang peti dipotong terlebih dahulu menggunakan gergaji, sehingga hanya meninggalkan peti jenazah. 

Peti tersebut tidak dikuburkan di dalam tanah. Tradisi Suku Toraja, makam dalam peti justru dimasukkan ke dalam goa atau rumah kecil yang khusus menyimpan beberapa peti jenazah. 

Peti jenazah yang telah dimasukkan ke dalam rumah khusus tersebut, menandakan sang ruh sudah tidak ada lagi di dunia. Kerbau-kerbau yang dikurbankan tadi, mengantarkan ruh beserta jiwa jenazah yang ada di dalam peti, menuju ke alam puya yang damai.

Share: Rambu Solo, Upacara Orang Mati Suku Toraja Ber-budget Sultan Demi Kedamaian Jiwa