Wacana masa jabatan presiden selama tiga periode ramai dikritik karena dinilai tak sesuai semangat reformasi dan berpotensi mundur kembali ke era Orde Baru. Kekuasaan yang terlalu lama cenderung bisa disalahgunakan.
Mulanya, isu itu dihembuskan oleh politikus senior Amien Rais. Ia curiga ada upaya pihak-pihak tertentu untuk mengusulkan pasal soal masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Ia menyebut Presiden Joko Widodo berupaya menguasai semua lembaga tinggi negara, terutama DPR, MPR, dan DPD.
Isu ini sebetulnya pernah bergulir sebelumnya dan Jokowi juga sudah menegaskan menolak wacana jabatan presiden tiga periode tersebut pada 2019. Saat berbincang dengan wartawan kepresidenan di Istana Merdeka, Senin (2/12/19) lalu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut ada pihak yang ingin mencari muka dengan memunculkan wacana tersebut.
Teranyar, Jokowi kembali memastikan bahwa dirinya sama sekali tak berminat menjadi presiden untuk tiga periode. Ia pun meminta tak ada kegaduhan baru dengan isu-isu yang muncul di publik.
Baca Juga: Amien Rais Curiga Muncul Pasal Presiden 3 Periode, Jokowi Pernah Tolak Wacana Itu
“Apalagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik ya sikap saya nggak berubah. Janganlah membuat kegaduhan baru, kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi,” kata Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/21).
“Saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama-sama.”
Di hari yang sama, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, juga menepis wacana liar tersebut. Melalui keterangannya, Senin (15/3), Bamsoet, sapaan akrabnya, memastikan tidak ada pembahasan apapun di internal MPR RI untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Selain Jokowi dan Bamsoet, berbagai pihak lain, mulai dari politikus, anggota DPR RI, hingga pakar hukum tata negara, juga sepakat menolak wacana jabatan presiden tiga periode. Hampir semua menegaskan bahwa kekuasaan perlu dibatasi.
Potensi Korup Jika Kekuasaan Terlalu Lama
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, menilai sangat bahaya jika kekuasaan hanya dipegang satu orang dengan durasi jabatan yang panjang. Situasi buruk sudah pernah terjadi di Indonesia saat era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
“Bahayanya jika kekuasaan terlalu lalu lama dipegang oleh satu orang dan kelompoknya, maka kekuasaan akan korup atau disalahgunakan,” kata Ujang saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (16/3).
Lantas Ujang menyamakan kondisi itu dengan kutipan populer dari Lord Acton yakni “Power tends to corrupt. But absolute power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan itu akan cenderung korup atau disalahgunakan. Dan kekuasaan yang absolut, penyalahgunaan kekuasannya pun akan besar.
Baca Juga: Vokal Jadi Tukang Kritik, Perjalanan Manuver Keras Amien Rais ke Jokowi dan Presiden Lainnya
“Contoh di depan mata baru saja terjadi. Kudeta atau pencaplokan Partai Demokrat oleh Moeldoko menandakan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan,” ujar Ujang.
Hal senada juga disampaikan Bakir Ihsan, Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menyebut pembatasan kekuasaan merupakan bagian dari upaya memastikan kekuasaan tidak melampaui kewenangannya. Selain itu, lanjut Bakir, pembatasan kekuasaan diperlukan supaya sirkulasi kekuasaan berjalan normal.
“Kekuasaan yang terlalu lama cenderung menghambat proses regenerasi dan cenderung tak terkendali,” kata Bakir saat berbincang dengan Asumsi.co, Selasa (16/3).
Menurut Bakir, kemungkinan perpanjangan kekuasaan bisa muncul dari orang-orang yang merasa nyaman dan mendapatkan keuntungan besar dari kekuasaan. “Dan itu akan selalu ada dalam setiap kekuasaan, tinggal bagaimana mekanisme demokrasi yang sudah berjalan dikawal dan konsisten dijalankan,” ucapnya.
Mengubah Masa Jabatan Presiden Mesti Lewat Amendemen dan Itu Sulit
Memperpanjang masa jabatan presiden berarti ada mekanisme amendemen UUD 1945 yang mesti dilalui. Sebelumnya, amendemen pertama UUD 1945 pada tahun 1999, mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 1945, yang isinya:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Baca Juga: Kenapa Moeldoko Nggak Bikin Partai Sendiri Aja, Sih?
Sebelum amendemen, Pasal 7 UUD 1945 berisi bahwa presiden dan wakilnya memiliki masa jabatan selama lima tahun. Apabila telah selesai, dapat dipilih kembali tanpa ada batasan berapa kali periode diperbolehkan menjabat.
Adapun bunyi teks asli Pasal 7 UUD 1945 sebelum ada revisi, sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Pasal 7 UUD 1945 hasil amendemen tersebut tentu saja menutup peluang seorang presiden memegang jabatannya hingga tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amendemen lagi terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 1945.
Sejauh ini, UUD 1945 sudah mengalami empat kali perubahan yakni pada 1999, 2000, 2001, dan 2002. Untuk bisa kembali diamendemen kelima kalinya, maka dibutuhkan usulan amendemen dari 1/3 anggota MPR RI.
Dalam hal ini, tentu saja syarat itu agak sulit diwujudkan. Adapun saat ini anggota MPR RI berjumlah 711, yang terdiri dari anggota DPR RI (575 orang) dan anggota DPD RI (136 orang).
Dari jumlah tersebut, amendemen minimal diusulkan oleh 237 anggota MPR. Skemanya, dari segi jumlah, jika amendemen UUD 1945 hanya diusulkan oleh anggota DPD saja, maka amendemen tidak akan terwujud, karena tidak akan pernah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam UUD 1945.
Baca Juga: Cerita Amien Rais soal Ada Kedipan ‘Lurah’ di Aksi Moeldoko Kudeta Demokrat
Sehingga, penentu terwujudnya amendemen UUD 1945 tentu saja datang dari anggota DPR di MPR yang jumlahnya besar dan merupakan perpanjangan tangan partai politik (parpol).
Adapun syarat amendemen tersebut tertuang dalam Pasal 37 ayat 1 UUD 1945, yang berbunyi:“Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Lalu, ayat selanjutnya menegaskan setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Setelah pengusul memenuhi kuorum, maka dibawa ke Sidang MPR untuk disetujui.
Selanjutnya, Sidang MPR harus dihadiri sedikitnya oleh 2/3 anggota MPR atau sebanyak 474 anggota. Hal itu sesuai dengan Pasal 37 ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi:
“Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Kemudian, setelah semua materi dibahas dan disetujui Sidang MPR, langkah terakhir adalah pengesahan Amendemen Kelima UUD 1945 di Sidang MPR. Pada tahap ini, persetujuan minimal dihadiri oleh 357 anggota MPR RI, seperti tertuang dalam Pasal 37 ayat 4, yang berbunyi:
“Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Ujang menegaskan bahwa masa jabatan presiden selama dua periode dirasa sudah sangat ideal dan cukup. Tak perlu lagi ada wacana memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode karena imbasnya bisa menghambat regenerasi pemimpin.
“Kita tak butuh presiden tiga kali. Dua periode merupakan jalan terbaik bagi bangsa ini. Rakyat tak butuh presiden yang menjabat tiga periode,” tegas Ujang.
Menurut Ujang, selain rakyat akan marah, wacana jabatan presiden tiga periode ini juga akan melukai rakyat. Maka, kata Ujang, bisa saja akan banyak muncul perlawanan-perlawanan dari rakyat jika hal itu terjadi. “Walaupun sudah dibantah bukan berarti wacana itu tak pernah keluar dari mereka. Bisa saja mereka ingin melihat respons masyarakat. Sedang testing the water. Dan tak ada asap jika tak ada api,” katanya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai lebih baik saat ini berfokus pada regenerasi kepemimpinan ketimbang meributkan wacana jabatan presiden tiga periode. Menurutnya, ke depan Indonesia butuh pemimpin-pemimpin baru.
“Tentang wacana presiden tiga periode itu kan bukan hal baru, wacana itu kan sudah pernah dimunculkan. Tapi, menurut saya, nggak perlu ada pembahasan tentang presiden tiga periode sih,” kata Hendri kepada Asumsi.co, Selasa (16/3).
“Kenapa nggak perlu? Pertama, ya kasihan juga Pak Jokowi nya dituduh-tuduh pengen tiga periode terus. Kedua, Indonesia ini nggak pernah kehabisan pemimpin jadi biasa saja. Ketiga, ya kasih aja kesempatan sama tokoh terbaik Indonesia lainnya yang juga punya kemampuan untuk jadi presiden, itu kan lebih baik.”