Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengapresiasi diterbitkannya Surat Edaran (SE) Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, surat edaran (19/02) yang akan berlaku sebagai pedoman polisi ini, mampu mengurangi sejumlah masalah dalam menangani kasus pelaporan Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“SE ini memang berisi beberapa hal yang jika dilaksanakan dengan akurat, bisa mengurangi sebagian masalah, contohnya ultimum remedium,” kata Asfinawati kepada Asumsi.co, Selasa (23/02/21).
Akan tetapi, menurutnya bukan berarti tak menimbulkan permasalahan baru jika dikaitkan dengan aturan di dalam UU ITE.
SE Kapolri bersinggungan dengan tindak pidana ujaran kebencian
Asfinawati mengungkapkan, masalah ini terlihat pada poin “h” yang tertulis di dalam SE Kapolri bernomor SE/2/II/2021 ini.
Poin tersebut berbunyi:
Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
Ia mempersoalkan kalimat yang mengecualikan perkara UU ITE yang sifatnya berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme dan separatisme.
“Hate speech (ujaran kebencian) itu kan, masuk SARA juga, tapi dalam SE Kapolri sebelumnya, tetap pidana. Jadi ambil yang terakhir (ujaran kebencian adalah pidana). Jadi, poin “h” bertentangan dengan SE hate speech,” jelasnya.
Surat edaran yang dimaksudnya adalah SE/06/X/2015 yang diteken eks Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015.
Dalam SE ini, dinyatakan segala bentuk ujaran kebencian atau hate speech dapat dikenakan pidana. Hal ini tertera pada Nomor 2 poin huruf (f) SE 2015 itu, disebutkan bahwa:
Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
1. Penghinaan,
2. Pencemaran nama baik,
3. Penistaan,
4. Perbuatan tidak menyenangkan,
5. Memprovokasi,
6. Menghasut,
7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Selanjutnya, pada huruf (g) disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat, dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1. Suku,
2. Agama,
3. Aliran keagamaan,
4. Keyakinan atau kepercayaan,
5. Ras,
6. Antargolongan,
7. Warna kulit,
8. Etnis,
9. Gender,
10. Kaum difabel,
11. Orientasi seksual.
Berikutnya, pada huruf (h) disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:
1. Dalam orasi kegiatan kampanye,
2. Spanduk atau banner,
3. Jejaring media sosial,
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
5. Ceramah keagamaan,
6. Media massa cetak atau elektronik,
7. Pamflet.
“Dengan demikian, masalah di UU ITE hanya akan hilang sebagian. Ada hal-hal mendasar yang tidak akan selesai dengan Surat Edaran ini,” jelasnya.
Ketegasan Bentuk Hukuman Unsur Penghinaan Lewat UU ITE
Esensi yang paling mendasar, menurut Asfinawati, adalah bentuk hukuman yang akan dikenakan kepada tersangka UU ITE yang melakukan ujaran kebencian di dunia maya.
Ia menuntut kejelasan dan ketegasan Kapolri tentang apakah pelanggaran kebencian di UU ITE sama, atau tidak sama, dengan tindak pidana hate speech yang tertera dalam SE tahun 2015 tersebut di atas.
“Jadi ini, dipenjara juga, atau sebenarnya bisa dengan hukuman lain? Kalaupun dipidana, tapi hukumannya bukan dipenjara. Misal denda, minta maaf secara publik dan lainnya,” tandasnya.