Sebagai anak muda yang tumbuh dan besar di kota urban macam Jakarta, Ryan punya ritual yang selalu dilakukan saban akhir pekan. Bersama teman-temannya, dia akan pergi ke Plaza Senayan. Waktu itu awal 2000-an. Anak-anak muda belum kenal Twitter atau Instagram dan pelarian sempurna dari problematika dunia ialah nongkrong bersama di salah satu lokasi paling populer di ibu kota.
Suasananya begitu meriah. Beberapa sibuk dengan agenda tukar kabar, gosip, atau gelak tawa. Beberapa lainnya tak berhenti tebar pesona sekaligus berharap ada yang bisa diajak jatuh cinta. Dan beberapa di antaranya terus memperdebatkan siapa yang paling jago: Blur atau Oasis.
Namun, bagi Ryan, yang menarik fokusnya bukanlah itu. Untuknya, Plaza Senayan menjadi tempat di mana ekspresi gerak tubuh bernama breakdance dapat memberikan keriaan tanpa batas, dan inilah yang membuat akhir pekannya bertambah riuh dan menyenangkan, terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia baru saja lepas dari cengkeraman kuat tangan Orde Baru selama tiga dekade.
“Anak-anak [muda] di sana, waktu itu, banyak banget yang breakdance. Baik sekadar latihan atau battle. Nah, kalau udah masuk battle ini, acaranya bernama Ground Zero, suasananya makin seru,” terangnya kepada saya, di kedai kopi di bilangan Otista, Jakarta Timur.
Menyambut euforia tersebut, Ryan, bersama dua kawannya, Polo Celo dan Thopaz Nuhgraha, lantas mendirikan kelompok breakdance yang diberi identitas East Side Crew pada 2003. Seiring waktu, kelompok ini pun membesar: menancapkan reputasinya dengan menggondol berbagai trofi kejuaraan. Dan yang tak kalah krusial: eksistensi mereka masih bertahan sampai sekarang.
East Side Crew bisa dikata adalah satu dari sekian kelompok yang jadi wajah perkembangan breakdance di Jakarta—dan Tanah Air. Mereka menjadi generasi keempat yang berupaya mempertahankan marwah breakdance, di tengah gelombang perubahan zaman sekaligus minat anak-anak muda yang makin ke sini makin hanyut dalam gelembung media sosial.
Di Jakarta, dan Indonesia secara umum, breakdance memiliki riwayat cukup kaya dan panjang sebagai subkultur. Sama seperti hip hop, disko, atau bahkan Britpop, breakdance juga dirayakan anak-anak muda. Tak sebatas satu dari sekian bentuk gerak badan, breakdance menjelma menjadi ekspresi anak-anak muda di kota-kota besar. Pendek kata, breakdance merupakan eskapisme kawula muda dari kenyataan hidup yang tak selalu baik-baik saja.
“Breakdance membentuk hidup saya dan saya berutang kepadanya,” tegas Ryan, yang melejit lewat moniker Dice the Nice, menggambarkan signifikannya breakdance.
***
Berbagai literatur menyebut bahwa breakdance merupakan pilar penopang kultur hip hop, bersanding dengan MC (Microphone Controller), DJ (Disc Jockey), serta seni graffiti. Inti dari breakdance adalah improvisasi gerak tubuh, dengan kata lain Anda tak akan menemui standarisasi tertentu dalam breakdance. Semua mengalir bebas mengikuti ke mana tangan, kaki, dan badan bergerak atau berpijak.
Pelopor breakdance, sama halnya hip hop, adalah DJ Kool Herc, yang kerap mengisi acara pesta anak-anak muda di sudut Bronx, New York, circa 1970-an. Di jeda penampilannya, mengutip buku yang disusun Nelson George, Sally Banes, Susan Flinker, dan Patty Romanowski berjudul Fresh: Hip hop Don’t Stop (1985), Herc sering kali memberi kesempatan untuk para penari—kemudian disebut B-Boys atau B-Girls—untuk unjuk gigi di lantai dansa.
Ketukan beat yang keluar dari sepasang turntable lantas menjadi latar bagi breakers, mayoritas adalah keturunan Afrika-Amerika dan Amerika Latin, untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Sesekali mereka menari secara solo, tapi tak jarang juga terlibat dalam battle di antara audiens yang berkerumun dan membentuk lingkaran—dikenal dengan “cyphers.”
Perlahan, nama breakdance mekar. Dari yang semula bergerak di Bronx, breakdance, tulis Steven Hager dalam Hip Hop: The Illustrated History of Breakdancing, Rap Music, and Graffiti (1984), tumbuh keluar batas berkat film-film seperti Wild Style (1982), Beat Street (1984), hingga Flashdance (1983). Popularitas breakdance kian tak terbendung manakala Michael Jackson mengadopsi beberapa gerakan dasar di dalamnya sebagai pijakan untuk membikin moonwalk.
Di titik inilah breakdance menjadi bentuk seni yang begitu nyata. Anak-anak muda di setiap sudut kota-kota besar AS berkumpul, mengenakan celana baggy, topi baseball, maupun sepatu kets, dan saling bertukar keahlian memainkan toprock, power move, freeze, sampai hand hops, ditemani bebunyian scratch yang khas.
Eksistensi breakdance kemudian jadi barang global manakala menyebar ke berbagai negara seperti Brazil, Korea Selatan, hingga Hong Kong, memasuki warsa 1990-an. Selain itu, kompetisi tingkat dunia juga muncul secara simultan, dari Battle of Year (Jerman), The Notorious IBE (Belanda), sampai Chelles Battle Pro (Perancis).
Globalisasi breakdance, sebagaimana yang disebut dalam beberapa referensi, tiba pula di Indonesia dan menjangkiti anak-anak muda di dalamnya. Hamdi Fabas, pendiri Bboy Indonesia, situs yang membahas perkembangan breakdance Tanah Air, menjelaskan bahwa subkultur breakdance masuk ke Indonesia sekurang-kurangnya sejak 1980-an.
“Udah dari 1980-an [breakdance masuk ke Indonesia], ya. Generasi pertama itu ada Voltus atau anak-anak [muda] yang biasa nongkrong di Melawai,” katanya.
Saat itu, publik—dan media massa—menyebut breakdance sebagai “tari kejang,” besar kemungkinan karena gaya electric boogie yang menitikberatkan pada gerakan seperti tersengat aliran listrik. Keberadaan breakdance dapat dijumpai mudah di daerah sekitaran Sarinah, Thamrin, Monas, Menteng, sampai Blok M, demikian tulis laporan Tempo. Anak-anak muda beramai-ramai bergoyang, mengikuti track “Zoolook” milik Jean-Michel Jarre yang diputar dengan volume maksimal.
Tak hanya ramai di jalanan, kiprah breakdance juga melebar sampai skala yang lebih luas, lewat serangkaian kompetisi di beberapa kota besar di luar Jakarta maupun film-film komersil macam Tari Kejang (1985), Demam Tari (1985), Tari Kejang Muda-Mudi (1985), serta yang sering dianggap ikonik: Gejolak Kawula Muda (1985).
Kendati dirayakan, breakdance tak luput dari kritik dan penolakan. Kehadiran breakdance sempat membikin para elite Orde Baru resah. Narasi yang dikeluarkan kurang lebih seragam: menyebut breakdance sebagai rupa hancurnya moral anak muda serta bentuk budaya asing yang dapat mengikis identitas generasi penerus bangsa. (Anda bisa mendengarkan bagian pembuka “Testament” dalam album Demi Masa untuk mengetahui gambaran penolakan ‘orang tua’ terhadap subkultur breakdance.)
Level penolakan breakdance di era Orde Baru tak sebatas ucapan formalitas pejabat, melainkan sampai di ranah kebijakan. Di Jakarta, misalnya, muncul larangan breakdance dimainkan di jalanan maupun taman-taman kota. Dengan kata lain, breakdance hanya boleh dimainkan di tempat-tempat tertentu atas seizin perangkat keamanan terkait.
Kondisi tersebut membikin sinar breakdance perlahan redup. Tangan besi rezim Orba, dengan dalih menjaga ketertiban masyarakat, membuat perkembangan breakdance di kota-kota besar di Indonesia jadi mati suri selama beberapa tahun.
“Gara-gara Orba, breakdance sempet terputus cukup lama. Ini jelas merugikan sekali pada waktu itu. Anak-anak muda seperti kehilangan saluran ekspresi mereka,” papar Ryan, yang sekarang disibukkan dengan kegiatan menjadi DJ di klub-klub ternama Jakarta.
Akan tetapi, masa gelap itu berakhir tak lama usai Suharto ditumbangkan oleh demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi oleh gerakan sipil pada 1998. Peralihan fase antara Orde Baru menuju Reformasi menandai kembalinya gairah kancah breakdance di Indonesia yang sebelumnya tertutup aturan serta norma rezim berkuasa.
Di masa ini, breakdance mengalami demokratisasi yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
***
Mulanya hanya teman nongkrong. Pelan tapi pasti berubah jadi kelompok dengan visi yang sama: bersenang-senang dengan breakdance. Maka, dari situ, kemudian lahir Jakarta Breakin, salah satu pembesar skena breakdance di Jakarta, yang kiprahnya masih bertahan sampai detik ini.
Jakarta Breakin berdiri pada 1998, masa di mana anak-anak muda tengah gandrung akan Run-DMC, Beastie Boys, atau Public Enemy. Kelompok ini dimotori oleh Andrea Sandinata, Jecko Siompo, Hamdi Fabas, Rabzki Muzy, Fiky Degiovani, Daud Mokalu, serta Galih Montana. Kiprah mereka meneruskan tongkat estafet dari kelompok-kelompok yang sebelumnya ada, macam Midi Circus dan Surabaya Pecah.
Geliat kancah breakdance waktu itu dapat dijumpai di tiga titik utama: Parkir Timur Senayan, Taman Palem, serta Plaza Senayan. Di tiga lokasi tersebut, para breakers saling unjuk kemampuan melalui ajang battle, di samping berjejaring lewat serangkaian workshop maupun tukar referensi.
“Pusatnya ada di Plaza Senayan itu. Tiap malam, apalagi akhir pekan, udah jadi arena breakdance. Seru banget waktu itu,” kenang Andrea saat saya hubungi via video call.
Internet belum ramai dimanfaatkan masyarakat Indonesia pada awal 2000-an. Ini jelas berpengaruh pada pencarian referensi. Namun begitu, para breakers berupaya menolak keterbatasan. Beruntungnya ada beberapa kawan satu permainan yang kerap bolak-balik ke luar negeri dan selalu pulang membawa oleh-oleh referensi breakdance yang tengah ramai diperbincangkan.
“Selain dari film, saat itu, referensinya, ya, dari temen-temen breakers sendiri. Atau kalau enggak kami dapet dari temen yang lagi di luar negeri kayak di AS atau Singapura. Biasanya, mereka pulang bawa Betamax isinya video breakdance. Di sini, kami tinggal convert aja ke VCD. Repot emang,” kata Rabzki seraya terkekeh.
Pengalaman serupa turut dirasakan Ryan. Sama seperti anak-anak Jakarta Breakin, Ryan dan East Side Crew juga memperoleh referensi, salah satunya, dari rekaman video yang dibawa Kreate, moniker dari Febian, breakers yang pernah mencicipi tinggal di daratan Virginia, AS.
“Setiap Kreate pulang ke Indonesia, pasti bawa video gitu. Lalu anak-anak pada belajar dari situ,” cerita Ryan sembari menambahkan bahwa kontribusi Kreate sangat signifikan dalam tumbuh kembang kancah breakdance lokal.
Pelbagai rekaman video itu lantas dijadikan bahan belajar bagi para pegiat breakdance, entah untuk memantapkan gerakan maupun dasar mencari gaya baru. Masalahnya, hasil latihan tersebut tak punya ruang saluran yang proporsional. Kompetisi breakdance, misalnya, masih bisa dihitung dengan jari, sementara tempat-tempat hiburan belum memandang breakdance sebagai produk seni yang harus dibayar materi.
“Awalnya kalau main di klub-klub gitu biasanya cuma dikasih makanan doang. Duitnya enggak ada,” jelas Hamdi, tertawa. “Karena bagi banyak orang, breakdance pada waktu itu belum jadi komoditas. Masih dilihat sebelah mata.”
Agar gairah—dan kemampuan yang dikuasai—tetap bertahan, jalan keluar yang diambil biasanya dengan melangsungkan battle. Bisa dilakukan saat nongkrong bersama, atau mendatangi lokasi latihan crew lain dan berduel saat itu juga.
Ajang battle merupakan praktik yang lazim dalam subkultur breakdance—dan hip hop secara keseluruhan. Dia tak sekadar dimaknai sebagai panggung unjuk kemampuan dan penegasan status siapa yang lebih baik, melainkan juga menjadi wajah rivalitas antarkelompok breakdance yang sebetulnya cukup panas.
Di masa awal breakdance sedang booming, ambil contoh, rivalitas terjadi antara Jakarta Breakin dan Senayan Breakers. Keduanya dipandang sebagai kelompok breakdance dengan kualitas di atas rata-rata di eranya. Rivalitas mereka semakin panas sebab terdapat bumbu-bumbu di luar perkara breakdance, terutama ihwal kelas sosial.
Jakarta Breakin sering dianggap representasi dari kelas pekerja Jakarta yang berusaha struggle di tengah kerasnya rimba ibu kota. Sedangkan Senayan Breakers sebaliknya: wajah elite Jakarta dengan segala kekayaan dan kemapanannya.
“Gesekan sesama komunitas itu pasti ada. Dulu seringnya bacot-bacotan gitulah. Biasanya sama anak-anak Senayan Breakers. Tapi, setelahnya, juga damai. Nggak sampai yang berantem parah gitu,” Hamdi memberi tahu saya.
Perkembangan breakdance mendapati momentumnya pada medio 2005, tatkala program Let’s Dance, yang diproduksi Global TV, rilis. Semua narasumber yang saya ajak berbicang sepakat betapa pentingnya acara Let’s Dance bagi pertumbuhan breakdance lokal.
Alasannya sederhana: berkat Let’s Dance, subkultur breakdance memperoleh audiens yang sangat luas dan tak sebatas di kota-kota besar di Jawa—saja. Terlebih, Let’s Dance tak hanya berlangsung sekali jalan; dia tumbuh hingga beberapa musim penayangan.
Dampaknya pun positif. Selain menjadi sesuatu yang dirayakan oleh anak-anak muda waktu itu, apalagi di saat bersamaan kompetisi breakdance baik di dalam maupun luar negeri mulai menjamur, kehadiran Let’s Dance turut mengerek pamor para breakers. Banyak dari mereka yang kemudian ditawari kontrak kerja menjadi penari di video musik, iklan komersial, bahkan sinetron atau film.
“Saya merasakan sekali efek acara itu, begitu juga dengan banyak teman-teman yang berkecimpung di ranah breakdance lainnya. Tawaran dari production house untuk ngisi iklan atau video musik berdatangan. Breakdance kemudian jadi sesuatu yang menarik [di mata masyarakat],” ucap Andrea.
Lahirnya breakdance, yang masih satu garis dengan kemunculan hip hop, dapat dibaca sebagai suar perlawanan anak-anak muda AS, terutama dari kelompok keturunan Afrika-Amerika dan Amerika Latin, atas situasi sosial-politik saat itu yang begitu chaos: rasisme, diskriminasi, hingga represi aparat yang datang silih berganti. Singkat kata, selain jadi simbol budaya urban, breakdance juga semacam sikap politik dan pelarian sempurna dari realitas yang pahit.
Yang jadi pertanyaan berikutnya: apakah gambaran yang sama muncul ketika kita berbicara ihwal breakdance di Indonesia? Hamdan menjelaskan bahwa sejauh pengalamannya terjun bertahun-tahun lamanya di ranah breakdance, ekspresi politik—protes terhadap pemerintahan yang lalim, misalnya—tak jadi domain utama para breakers. Menurutnya, breakdance lebih berfungsi sebagai ekspresi budaya anak-anak muda di Jakarta, yang ingin punya tempat di kultur sosial masyarakat.
“Selain itu, ya, breakdance [berperan] sebagai sharing culture aja di lingkungan anak-anak muda waktu itu. Ajang bersosialisasi, memupuk networking, dan sejenisnya,” katanya.
***
Waktu berlalu. Keadaan, sudah pasti, banyak berubah, dan internet memegang peran penting dalam dinamika itu. Bila dulu para breakers tak punya cukup banyak ruang untuk menyalurkan kreativitasnya, maka sekarang kondisinya tak lagi demikian.
Internet, dan media sosial, membuka selebar-lebarnya pintu untuk perkembangan breakdance. Para breakers akan dengan mudah memperoleh referensi, selain juga mempublikasikan—atau mungkin menjual—karyanya maupun berjejaring antarpelaku hingga lintas negara dan benua.
Namun demikian, kemudahan semacam itu tak serta merta mengikis kegelisahan yang senantiasa muncul di benak Ryan. Dia merasa menjadi breakers di Indonesia tak punya jaminan ‘hidup’ yang pasti lantaran apresiasi khalayak akan kesenian—dan olahraga—ini tak cukup maksimal.
“Padahal kalau diperhatikan, breakdance itu punya sisi positif yang banyak buat kita. Ada aspek kesehatan yang bisa dipenuhi, kompetitif juga,” tuturnya. “Tapi, saya menganggap apresiasi [masyarakat] kepada breakdance masih kurang.”
Yang menyebabkan kurangnya apresiasi tersebut, Hamdan bilang, adalah persepsi masyarakat yang menganggap breakdance tak lebih dari sekadar hobi, di samping pandangan-pandangan konservatif serupa yang menempatkan breakdance pada posisi yang tak strategis.
“Tembok itu yang harus perlahan dikikis. Breakdance nggak bisa selamanya dipandang negatif karena memang kenyataannya berbeda dari apa yang sering diomongkan orang-orang,” jawabnya.
Jalan untuk maju, menuju breakdance yang lebih kokoh dan menguntungkan bagi para pelakunya, sebetulnya, sudah dirintis sejak beberapa tahun silam melalui penyelenggaraan kompetisi, proses regenerasi, hingga keterlibatan dalam industri dunia hiburan. Akan tetapi, jalan itu belum sepenuhnya mulus; kerikil dan batu senantiasa mengganjal eksistensi breakdance dan para pegiatnya.
Awal bulan ini, sebuah kabar penting muncul: breakdance resmi masuk dalam cabang olahraga yang dipertandingkan dalam olimpiade, tepatnya mulai edisi 2024 nanti di Paris. Para pelaku breakdance menyambut bahagia berita tersebut dan merapal harap bahwa momentum olimpiade dapat jadi pintu buat memuluskan petualangan breakdance ke titik yang paling jauh.