Akun Twitter @jitarsa_school, penyebar informasi pro-monarki di Thailand, ditangguhkan oleh Twitter. Akun ini terindikasi berkaitan dengan jaringan ribuan akun yang menyebarkan informasi pro-pemerintah.
Analisis Reuters menunjukkan bahwa puluhan ribu twit dari akun-akun tersebut bermaksud memberikan narasi tandingan dari protes anti-monarki yang telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir.
Apa saja temuannya?
1. @jitarsa_school dibuat pada September lalu dan memiliki lebih dari 48 ribu pengikut.
2. Pihak Reuters mendapatkan bukti bahwa mereka menyebarkan informasi secara terkoordinasi, didesain untuk memberikan kesan positif terhadap Raja Maha Vajiralongkorn dan sistem monarki, sekaligus mendiskreditkan pihak oposisi.
3. Profil akun tersebut juga mengatakan bahwa pihaknya punya program pelatihan “Relawan Kerajaan” yang dijalankan oleh pihak kerajaan.
4. Selain Twitter, ada pula laman Facebook bernama “Sekolah Relawan Kerajaan” yang mengidentifikasi @jitarsa_school sebagai bagian dari mereka. Laman tersebut mengunggah video-video pro-monarki dan berbagai berita tentang program relawan.
5. 80% akun yang mengikuti @jitarsa_school juga baru dibuat di awal September. Reuters mengambil sampel 4.600 akun dan menemukan aktivitas mereka hanyalah mempromosikan tagar pro-kerajaan, seperti #StopViolatingTheMonarchy, #ProtectTheMonarchy, #WeLoveTheMotherOfTheLand, #WeLoveTheMonarchy, dan #MinionsLoveTheMonarchy.
6. Konsultan media sosial Drone Emprit menemukan bahwa sampel 559 retweet atas twit @jitarsa_school bersumber dari akun-akun dengan karakteristik bot.
Twitter menangguhkan (suspend) @jitarsa_school
– Ketika dikonfirmasi, Twitter menyatakan bahwa akun tersebut telah melanggar ketentuan platform. “Akun tersebut ditangguhkan karena telah melanggar ketentuan soal spam dan manipulasi platform,” ujar perwakilan Twitter kepada Reuters (29/11).
– Selain akun @jitarsa_school, dokumen tentara Thailand setebal 28 halaman menunjukkan operasi terorganisasi untuk menargetkan “lawan” dan menyebarkan pesan pro-monarki di Twitter. Dokumen ini menyatakan bahwa ada 17.562 akun yang dijalankan oleh 9.743 tentara yang dibagi menjadi “Tim Putih” dan “Tim Hitam”. Mereka diinstruksikan untuk mentwit tagar terkoordinasi, me-retweet, dan saling mengikuti.
– Sejak awal Oktober, Twitter juga telah menghapus 926 akun yang berkaitan dengan tentara Thailand ini. Akun-akun tersebut melanggar kebijakan terkait manipulasi dengan mengamplifikasi konten pro-pemerintah dan menargetkan figur-figur oposisi.
– Ketika diminta konfirmasi, pihak kerajaan Thailand tidak memberikan komentar. Begitu pula dengan pihak “Relawan Kerajaan” ataupun “Sekolah Relawan Kerajaan” yang tidak merespons permintaan wawancara.
Tuduhan pendukung kerajaan kepada pemrotes
– Para pendukung kerajaan menuduh aktivitas para pemrotes tidaklah murni, melainkan terkoordinasi melalui tagar-tagar. Pimpinan kelompok pendukung kerajaan, Warong Dechgitvigrom, juga mengatakan bahwa banyaknya pesan-pesan pro-monarki disebabkan oleh kesadaran masyarakat untuk menandingi suara para pemrotes. “Tagar pro-monarki muncul secara autentik, lahir murni dari perasaan,” katanya.
– Salah satu pimpinan protes, Parit “Penguin” Chiwarak, menyanggah klaim tersebut. “Para pemrotes tidak direkrut untuk mempopulerkan tagar, tidak seperti para tentara. Mereka juga bergerak dengan menggunakan uang pajak,” ujarnya.
– Perwakilan organisasi independen Social Media Monitoring for Peace, Saijai Liangpunsakul, menyatakan bahwa pihak pemerintahlah yang memanfaatkan tentara siber untuk menandingi suara para demonstran. Akun-akun tersebut masih berseliweran meskipun sudah ada yang dihapus. “Twitter memang telah menghapus sejumlah akun, tetapi masih banyak yang lain.”