Isu Terkini

Kiat Sukses Jadi PNS Kritis bersama Ahmad Taufiq

MM Ridho — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

“Apa istimewanya gaji kecil yang sering dirapel?” Itu pikiran pertama saya kalau membayangkan pegawai negeri sipil. Tentu saya tak pernah sampai hati mengatakannya kepada teman-teman saya yang belajar mati-matian untuk masuk sekolah kedinasan di akhir masa sekolah.

Di luar soal penghasilan, berdasarkan apa-apa yang saya lihat pada kehidupan profesional ibu saya–kini pensiunan petugas kesehatan–pekerjaan ini membuat orang-orang antara sibuk setengah mati atau gabut setengah mati.

Tidak satu kali pun Ibu meminta saya mengikuti jejaknya. Namun, di luar rumah, saya tahu banyak orang terobsesi untuk menjadi PNS. Buktinya, hampir setiap tahun ada berita-berita tentang korban penipuan seleksi CPNS palsu.

Bahkan, anak-anak metal yang saya pikir hidupnya santai dan penuh pemberontakan rupanya ingin jadi PNS juga. Ngapain?

Beruntungnya, saya berkesempatan mencari jawaban itu dari dua orang PNS. Saya membuka diri untuk dicerahkan oleh mereka. Yang pertama, Ahmad Taufiq (33). Ya, @TrendingTopiq, juru koreksi surat resmi favorit warga Twitter Indonesia. Yang kedua, Agni Budi Satrio (58), pensiunan Kepala Bagian Prasarana Fisik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR).

Berikut obrolan saya dengan Taufiq. Meski meminta nama tempat kerjanya dirahasiakan (bukan, sekali lagi, bukan Kementerian Desa), saya kira dia tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sepenuh hati.

Pada usia berapa kamu jadi PNS?

Resminya sejak 2007, di usia 21.

Kenapa kamu memilih jadi PNS?

Kayaknya ekonomi, ya. Tempat saya kuliah itu membuka program kuliah ikatan dinas. Lulus dari situ, jadi pegawai negeri.

Apakah PNS adalah pekerjaan yang kamu idamkan?

Kalau melihat susahnya mencari pekerjaan di Indonesia, menggunakan kata “diidamkan” itu kayaknya terlalu mewah. Yang realistis aja.

Sejauh ini, menimbang manfaat dan kerugiannya, menurut saya meskipun PNS sering dianggap sebelah mata, tidak heroik, dan banyak problem lainnya, itu adalah pekerjaan yang punya jaring pengaman sosial paling kuat; dibandingkan kelas proletar lainnya, ya.

Seandainya bisa kembali ke 15 tahun lalu, apakah kamu tetap  akan mengidamkan pekerjaan ini?

Bahkan di umur segitu pun, saya tahu “idaman” itu kata yang terlalu mewah. Saya sudah kepikiran mencari kerja itu susah.

Selama 13 tahun menjadi “abdi negara,” ada cerita pilu yang kamu alami?

Saya yakin ada banyak orang di luar sana yang pengalamannya lebih memilukan, ya.

Saya sendiri kebagian penempatan pertama di remote area, di Subulussalam, Aceh. Saya kan dari Jawa, nih. Subulussalam itu, kalau dari Jawa, harus naik pesawat ke Medan. Kemudian dari Medan harus menempuh perjalanan darat selama delapan jam, melewati hutan dan perkebunan sawit.

Kalau sekarang, sih, setelah mendengar cerita dari teman-teman yang lebih memprihatinkan, yang saya alami dulu istilahnya bukan pilu lagi, udah jadi komedi aja.

Kayak apa, tuh, yang lebih memprihatinkan?

Kendala yang saya rasakan paling-paling jarak. Jauh dari keluarga dan kampung halaman. Saya yakin ada banyak PNS yang mengalami lebih banyak masalah. Aceh, kan, masih Indonesia Barat. Saya orang Jawa, Islam, di Aceh juga mayoritasnya Islam. Saya punya privilese.

Ada PNS yang agama atau etnisnya minoritas, ditempatkan jauh dari pusat kota, akses transportasi sulit, akomodasi sulit, biaya hidup mahal, dan belum lagi penghasilannya yang cukup saja tidak.

Itulah kenapa saya menganggap apa yang saya alami itu sekarang sudah nggak memilukan lagi, cuma komedi. Ada pengalaman-pengalaman yang lebih layak disorot ketimbang pengalaman saya.

Kamu sudah berulang kali dipindahtugaskan. Kalau boleh tahu, secara umum, pekerjaan kamu, tuh, ngapain aja?

Saya di remote area dari 2007 sampai 2011, setelah itu saya pindah ke Jakarta. Satu tahun terakhir ini saya di Makassar.

Waktu di remote area, pekerjaan saya sebatas administratif. Saya ke lapangan mengumpulkan data luas tanah dan bangunan, membuat peta, menginput data dan sebagainya.

Di Jakarta, saya bertugas di call center. Relatif lebih enak, ya, karena di pusat kota. Pendidikan juga lebih gampang, bisa lanjut kuliah lagi. Pekerjaannya juga nggak seberat di Aceh. Kalau sekarang, di Makassar, pekerjaan saya auditing.

Apakah gajimu pernah terlambat dibayar atau dirapel?

Syukurlah nggak. Di antara berbagai lembaga pemerintah, instansi tempat saya bekerja termasuk yang paling awal memutakhirkan administrasinya. Saya masuk  menjelang modernisasi dan remunerasi. Jadi, segala macam pembayaran tertib, aman, dan lancar.

Menurut kamu, apa enaknya jadi PNS?

Nggak bisa disamaratakan. Cuma, secara garis besar, kalau ada mimpi teman-teman sosialis tentang kondisi buruh yang ideal, barangkali yang mendekati, ya, PNS. Jaring pengaman sosialnya banyak, kerjanya nggak seberapa. Lain dari teman-teman yang di sektor manufaktur, misalnya, dengan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang rawan; di tempat yang berisiko tinggi.

Barangkali ada juga PNS yang risiko pekerjaannya tinggi. Tapi secara umum, sih, PNS itu bisa dibilang pekerjaan di Indonesia yang jaring pengaman sosialnya paling kuat.

Berarti, stereotip PNS yang santai dan terjamin itu benar?

Bisa benar, bisa tidak. Maksud saya, kata “santai” ini sendiri kan bersayap, ya. Apakah santai itu buruk? Kalau ada orang yang sudah melakukan tugasnya sesuai job description, sudah memenuhi kewajiban, sudah bekerja secara profesional, waktu luang itu leisure time, kan?

Nah, saking banyaknya leisure time, sampai ada stereotip bahwa PNS adalah jagoan Zuma. Sampai-sampai ada perlombaan resminya segala. Kamu suka main Zuma?

Saya nggak main Zuma, tapi Candy Crush.  Nggak, nggak. Saya bukan gamer. Saya bahkan nggak memainkan kedua game itu. Tapi saya main medsos, sih. Medsoslah yang bisa mendistraksi saya dari pekerjaan.

Kalau itu, sih, jelas. Bisa saya buktikan sendiri.

Bukan rahasia, ya? Hahaha.

Ngomong-ngomong, saya beneran penasaran. Apa memang Zuma itu niscaya ter-install di komputer para PNS? Sampai ada Kementerian yang bikin perlombaannya.

Kalau ini, kamu harus tanya akun PNS Ababil yang pertama kali mempopulerkan Zuma di medsos. Yang menjadikan [Zuma] semacam olok-olok itu mereka.

Saya yakin bukan hanya Zuma. Cuma, itu yang diambil sebagai sampel, karena itu game yang nggak perlu mikir, ringan, nggak rumit.

Oh ya, dulu ada Liga. Barangkali karena sudah terlanjur populer, dijadikan lucu-lucuan sekalian.

Seberapa produktifkah lingkungan kerjamu?

Dalam skala 1 sampai 10, dan 10 adalah target yang diberikan di kantor, lingkungan saya ini nilainya 8. Lumayan produktif, ya.

Setelah bekerja sebagai PNS, apa menurutmu pekerjaan tersebut seperti bayanganmu?

Nggak. Karena bapak saya seorang guru SD, bayangan saya tentang PNS itu, ya, seperti guru SD. Pergi pagi pulang siang, pekerjaannya relatif ringan. Penghasilannya tidak bisa bikin kaya–malah terbelit cicilan–dan tidak bergengsi, seperti anggapan kebanyakan orang terhadap PNS.

Tapi ternyata, setelah saya sendiri jadi PNS, saya jadi tahu ada banyak PNS yang berbeda. Yang dibayar tidak layak ada, dibayar tinggi juga ada, yang dari awal pengangkatan sampai dia pensiun tetap seperti itu ada, yang bisa meniti karier sampai puncak juga ada. Tentu dulu saya nggak membayangkan begitu.

Apakah ada dorongan dari orang tua untuk jadi PNS?

Ada. Mayoritas anak PNS akan didorong orang tuanya untuk menjadi PNS juga. Nggak usah muluk-muluk, jadi pengusaha kan harus berjudi antara untung dan rugi. Ya, jadi PNS ajalah yang aman. Barangkali ada juga PNS yang malah melarang anaknya jadi PNS karena merefleksikan hidupnya, yang ternyata nggak enak-enak banget.

Karena banyak PNS yang hidupnya “nggak enak-enak banget”, kamu udah memikirkan jaminan hari tua? Apakah menurut kamu jaminan hari tua PNS itu layak?

Saya masih belum punya parameter hari tua yang layak. Misalnya, harus berpenghasilan berapa atau dengan gaya hidup yang bagaimana. Cuma, jaminan hari tua PNS menurut saya yang paling stabil di antara kebanyakan jenis pekerjaan kelas pekerja. Relatif aman karena ada uang pensiun. Tidak banyak, tapi ada.

Sebetulnya, uang pensiun dan jaminan hari tua itu dipotong dari upah semasa kita masih produktif menjadi PNS.

Pernah terpikir untuk ganti pekerjaan?

Belum, tapi mungkin di suatu hari nanti ada satu dan lain hal yang memungkinkan untuk pindah. PNS itu kan sama saja kayak pekerjaan yang lain.

Kita nggak butuh patriotisme terhadap jenis pekerjaan tertentu. Selama kita mampu, nyaman, dan mendapat imbalan yang layak. Seharusnya, sih, bukan persoalan kesetiaan.

Versi pendeknya, kalau masih nyaman, ya sudah di situ. Kalau enggak, ya keluar.

Sebagai “orang dalam”, bagaimana kamu memandang keruwetan birokrasi yang selama ini jadi stereotip instansi pemerintahan Indonesia?

Keruwetan-keruwetan itu masih ada. Namun, saya justru khawatir aspirasi untuk menyederhanakan birokrasi jadi semacam tokenisme yang dipakai oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Takutnya, gara-gara tuntutan soal efisiensi birokrasi yang tidak jelas berpihak ke mana, malah mempermudah pembalakan hutan.

Simplifikasi birokrasi jangan sampai berujung pada liberalisasi ekonomi yang mengabaikan perlindungan tenaga kerja, perlindungan sumber daya alam, keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya.

Barangkali birokrasi memang perlu deregulasi dan simplifikasi. Namun, yang sering orang lupa tanyakan: kebijakan itu berpihak kepada siapa?

Apakah kewajiban untuk “mengabdi” kepada negara bikin PNS merasa terhalang untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah?

Sampai saat ini saya belum menemukan aturan yang melarang PNS untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. Yang ada, aturan untuk setia terhadap UUD ’45 dan Pancasila. Kritis kan bukan berarti tidak setia.

Yang benar-benar sering terjadi di banyak tempat: ada pejabat yang tidak terbiasa dengan kritik. Jadi, bukan karena aturan PNS tidak boleh kritis.

Kekolotan lembaga pemerintah itu nggak homogen. Setiap tempat punya tingkat kekolotan masing-masing. Ada yang masih polos banget, ada yang mulai agak terbuka, dan ada yang open-minded.

Saya beruntung berada di tempat yang open-minded. Meskipun nggak sepenuhnya bisa kayak yang diharapkan oleh teman-teman: bisa ngomong apa saja. Tetap akan berbenturan dengan pembatasan-pembatasan dan aturan-aturan. Cuma, sepanjang kritik disampaikan dalam bahasa yang “aman,” ya, masih bisa.

Jadi, itu tip untuk menjadi PNS kritis dari kamu?

Tip dari saya: Nggak usah! Hahaha.

Bukan apa-apa. Meskipun terkadang kita bisa lolos dan nggak ada aturan yang kita langgar, bisa saja ada beberapa pejabat yang tidak punya ketahanan terhadap kritik. Tidak semua orang siap dengan itu.

Kalau mau kritis, modalnya harus banyak: harus punya legal awareness, harus tahu peraturan yang bisa dipakai untuk mengikat dia, harus tahu konsekuensi, harus punya retorika yang baik dan lain sebagainya.

Omong-omong, apa sih sebenarnya pekerjaan impian kamu?

Yang nggak banyak kerjanya tapi banyak duitnya.

Kalau dimanifestasikan sebagai pekerjaan yang tersedia saat ini, kira-kira apa?

Nggak ada. Saya nggak muluk-muluk, yang penting sehari-hari cukup dan nggak terlalu tereksploitasi. Oh, iya, saya nggak nyaman dengan kata “santai.” Saya lebih senang “tidak tereksploitasi.”

Ujaran PNS “santai” itu di seolah-olah memberi justifikasi: “Saya PNS, jadi saya santai” bagi orang-orang. Barangkali bukan PNS yang santai, tapi karena masyarakat terbiasa dengan eksploitasi, jadi yang seperti itu dianggap santai.

Tapi ini kritik untuk PNS juga. Memang nggak semua PNS sesuai harapan, misalnya bisa bekerja melayani masyarakat dengan baik.

Kira-kira, apa yang menurutmu bisa dilakukan pemerintah untuk menambah daya guna PNS?

Kompleks, ya. Yang pertama, sih, yang jelas peningkatan SDM. Yang kedua birokrasi. Birokrasinya memang harus banyak diubah, karena terus terang, kita masih mewarisi birokrasi dan pola pikir yang tidak banyak berubah dari era Orde Lama sampai sekarang.

Kalau memang mau mengubah kinerja PNS, SDM yang “benar” saja belum cukup. Banyak PNS yang bagus secara SDM, cuma karena terbentur di birokrasi internal sendiri jadi nggak tersalurkan.

Kalau melihat PNS sejak Indonesia merdeka sampai sekarang itu tidak ada perubahan yang radikal. Padahal, di luar sana organisasi itu kan sudah berubah, misalnya dari yang berprinsip top-down sekarang menjadi bottom-up, menjadi lebih demokratis, lebih terbuka terhadap perubahan, banyak inovasi yang mengubah secara frontal sistem kerja, proses bisnis, dan SOP.

Birokrasi di internal pemerintah ini sangat lambat mengadaptasi perubahan zaman. Jadi dari dulu sampai sekarang nggak banyak berubah. Itu juga berlaku terkait jenjang karier.

Share: Kiat Sukses Jadi PNS Kritis bersama Ahmad Taufiq