Isu Terkini

Sudah jadi Korban Pandemi dan Kebijakan Anti-imigran, Kenapa Banyak Latino tetap Dukung Trump?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Meskipun jadi populasi yang paling keras terdampak pandemi COVID-19, warga Latino masih jadi salah satu pendukung terbesar Donald Trump untuk maju kembali sebagai presiden.

Dukungan kepada Trump di Florida, tempat bernaung banyak warga Latino asal Kuba, misalnya, meningkat pesat: Donald Trump meraih 200.000 suara lebih banyak dibandingkan pada pilpres sebelumnya. Begitu pula di Texas, di mana kemenangan atas Trump di wilayah tersebut dikontribusikan oleh semakin banyaknya orang Hispanik yang bergeser dari Demokrat ke Republikan.

Dukungan kelompok Latino yang didefinisikan oleh Badan Pusat Statistik Amerika sebagai orang yang “berasal dari Kuba, Meksiko, Puerto Rico, Amerika Selatan, Amerika Tengah, atau wilayah lain yang dekat dengan budaya Spanyol terlepas dari rasnya” ini sekilas memunculkan kebingungan. Selain terdampak paling keras oleh COVID-19, Trump juga terkenal atas kedekatannya dengan supremasi kulit putih hingga kebijakannya yang anti-imigran.

Tapi, tepatkah pertanyaaan “kenapa” itu?

Oleh politisi, jurnalis, dan tim kampanye masing-masing kubu, kelompok Latino dianggap sebagai satu komunitas besar yang punya aspirasi sama. Penduduk Latino yang mencapai 61 juta orang atau sekitar 18% dari total populasi penduduk Amerika Serikat ini dianggap monolit dan dimasukkan ke dalam satu kategori “Latino Voters”. “Bagaimana pemilih Latino dapat mempengaruhi perhitungan suara”, misalnya, menjadi headline CNN. Begitu pula dengan tim kampanye Biden yang berharap dapat “meraup suara pemilih Latino”.

Anggapan ini lantas diprotes oleh akademisi maupun orang-orang Latino itu sendiri. Latino mendefinisikan sebuah populasi, bukan komunitas. Berasal dari wilayah maupun generasi yang beragam, masing-masing memiliki latar belakang berbeda yang berkontribusi membentuk aspirasi yang berbeda pula. Meskipun banyak Latino yang menjadi pendukung Trump di Florida dan Texas, sebagian besar (70%) orang Latino di Arizona memilih Biden—meningkat hampir 10% dibandingkan pilpres 2016.

Akademisi dan penulis buku The New Americans?: Immigration, Protest, and the Politics of Latino Identity, Heather Silber Mohamed, mengingatkan bahwa Latino di Amerika Serikat merepresentasikan lebih dari 20 negara di dunia. “Pengalaman politik yang dibawa orang-orang ketika sampai ke Amerika sangatlah luas, dan ini dijadikan lensa untuk menginterpretasikan politik di Amerika,” katanya.

Kebanyakan orang Meksiko datang ke Amerika demi mendapatkan kondisi ekonomi yang lebih baik. Sementara mereka yang melarikan diri dari Kuba dan Venezuela untuk tinggal di Florida, Amerika Serikat membawa trauma atas kepemimpinan komunis atau sosialis di tempat asalnya. “Kampanye Trump berhasil membangunkan ketakutan-ketakutan mereka itu,” lanjut Mohamed.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh peneliti di Pew Research Center, Mark Lopez. Label “Latino” dan “Hispanik” tercipta di Amerika—identitas yang hampir tak ada artinya di luar negara tersebut karena cakupannya yang terlalu luas. Sejumlah orang Latino mengidentifikasi diri mereka sebagai orang kulit hitam, yang lainnya sebagai orang kulit putih, dan ada pula yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari masyarakat adat.

Berdasarkan hasil riset Pew pula, orang Latino punya tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang berbeda-beda. 55% orang Latino asal Venezuela dan 43% asal Argentina adalah lulusan S1, sementara hanya 10% orang Latino asal Guatemala dan Salvador yang merupakan lulusan S1. Dari segi pendapatan, jumlahnya pun beragam: pendapatan rata-rata orang Latino asal Argentina adalah US$68.000, sementara orang Latino asal Hondura dan Meksiko adalah US$41.000 dan US$49.000 secara berturut-turut.

Abraham Enriquez (25), pendukung Donald Trump yang tinggal di Texas, adalah keturunan Meksiko. Kakek dan neneknya bermigrasi ke Amerika pada 1980, membawa ibunya yang saat itu masih berusia 2 tahun. Ia punya pandangan yang berbeda atas gelombang migrasi yang terjadi di tahun tersebut dengan yang terjadi saat ini.

Menurutnya, meskipun ia memahami alasan di balik seseorang melakukan migrasi, ia percaya seseorang mesti datang dengan “cara yang tepat”. Ia pun mempercayai bahwa proses imigrasi yang ilegal akan berdampak buruk terhadap ekonomi. “Kamu tidak bisa menyamakan imigrasi yang terjadi pada 2020 atau 2016 dengan imigrasi seperti ketika kakek dan nenekku datang ke Amerika,” katanya.

Enriquez juga tak merasa ada yang salah dengan pidato Trump pada 2015 lalu, ketika ia menyinggung Meksiko telah “mengirimkan orang-orang bermasalah. Mereka membawa masalah itu ke kita. Mereka membawa narkoba. Kriminalitas.”

Menurut Enriquez, meskipun cara Trump menyampaikan pesan kurang tepat, tetapi ia paham apa yang presiden itu maksud. “Aku paham betul tentang Meksiko, bahwa kriminalitas telah mengambil alih negara yang cantik itu. Maka, ketika Presiden Trump membicarakan tentang Meksiko, aku paham. Ia juga menekankan bahwa, kau tahu, tidak semua orang Meksiko seperti itu.”

Sementara itu, Victoria Gutierrez (53) yang tinggal di Wisconsin dan merupakan generasi kedua imigran asal Kuba, bekerja sebagai perawat bagi pasien berkondisi kritis. Pekerjaannya yang penuh tekanan itu menjadi semakin berat lagi semenjak pandemi COVID-19 menghantam, membuatnya selalu khawatir akan terinfeksi dan membawa virus ke rumahnya.

Menurutnya, pandemi ini telah ditangani dengan buruk sejak di tingkat federal. Ia pun sadar bahwa, “Pekerja esensial di sekelilingku, saudara-saudara Hispanik-ku, telah terdampak oleh COVID-19 secara tidak proporsional.” Ketidakpercayaan Gutierrez terhadap pemerintahan Trump itu pula yang mendorongnya untuk menjadi pendukung Joe Biden.

Ada banyak faktor yang membikin seorang Latino memilih untuk mendukung atau tidak mendukung Donald Trump. Satu hal yang pasti, memasukkan mereka semua ke dalam satu kotak “Latino Voters” terlampau menyederhanakan persoalan dan latar belakang budaya, politik, dan ekonomi yang begitu kompleks.

“Kamu tidak bisa menyamaratakan pengalaman penduduk yang jumlahnya setara dengan luas sebuah benua, dengan berbagai ras, etnis, dan agama. Pengalaman imigran asal Kuba yang datang ke Florida dan langsung mendapatkan kewarganegaraan sangatlah berbeda dengan, misalnya, pengalaman keluarga saya yang datang dari Ekuador, Kolombia karena gagalnya demokrasi yang dipicu oleh Amerika Serikat itu sendiri,” ujar Nathalie Molina Nino, bagian dari Movement Voter Project, ketika diwawancarai oleh AJ+.

“Ini adalah pengalaman-pengalaman imigran yang sangat berbeda. Dan fakta bahwa Amerika Serikat pernah dan sedang memandang kelompok Latino secara monolit, itu adalah sebuah kesalahan.”

Share: Sudah jadi Korban Pandemi dan Kebijakan Anti-imigran, Kenapa Banyak Latino tetap Dukung Trump?