Geliat pergerakan berbagai kelompok pemilih beberapa hari jelang Pemilu AS 2020 sangat menarik diamati. Dua calon presiden AS Donald Trump dan Joe Biden tentu saja bakal berusaha sekuat mungkin merebut suara-suara dari para pemilih bimbang hingga pemilih yang belum menentukan pilihan. Siapa yang unggul?
Pemilu AS 2020 sendiri baru akan digelar pada 3 November mendatang. Namun, sepekan sebelum pemilu, warga AS di berbagai penjuru dunia telah memberikan suaranya menggunakan sistem early voting atau pemilihan awal. Pemungutan awal dipakai oleh warga AS yang berhalangan untuk memilih pada hari H nanti.
Early vote juga dianjurkan untuk mencegah penumpukan pemilih pada hari H pemilu. Penumpukan pemilih dikhawatirkan bisa menjadi klaster baru penyebaran virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19. Sebab, berdasarkan Worldometers, Rabu (28/10/20), COVID-19 telah menewaskan sekitar 232.084 orang di AS.
Dikutip dari Reuters, Rabu (28/10), berdasarkan penghitungan Proyek Pemilu AS, ada lebih dari 70 juta orang AS telah menggunakan hak suaranya dalam early vote, baik secara langsung maupun melalui surat. Jumlah tersebut ternyata berhasil memecahkan rekor.
Ya, early vote tahun ini merupakan rekor terbaru dalam satu abad, bahkan lebih dari setengah jumlah total pemilih di Pemilu AS 2016 lalu. Profesor Universitas Florida Michael McDonald memprediksi, rekor partisipasi warga itu akan berlanjut hingga menyentuh angka 150 juta. Jumlah itu menembus presentase 65% dari keseluruhan warga yang berhak memilih, tertinggi sejak 1908.
Secara keseluruhan, Partai Demokrat unggul dua banding satu dalam jumlah pemungutan suara awal ini. Namun, Partai Republik dalam beberapa pekan terakhir telah mempersempit kesenjangan dalam pemungutan suara langsung awal tersebut.
Seberapa Penting Undecided Voters?
Persaingan dalam meyakinkan berbagai kelompok pemilih selalu jadi pertarungan menarik di setiap Pemilu AS. Sebab, meski jumlahnya kecil, pemilih yang sangat menentukan di detik-detik terakhir ini—seperti undecided voters alias pemilih yang masih ragu-ragu—selalu berhasil memengaruhi hasil akhir. Misalnya, dalam persaingan ketat di Pemilu AS 2016 lalu, dukungan kelompok ini ikut membantu Trump meraih kemenangan tak terduga di negara bagian yang membantunya memenangkan pemilu melawan Hillary Clinton.
Dikutip dari Newsweek, Rabu (28/10), jumlah undecided voters sendiri justru berkurang menjelang pemilihan, di mana jajak pendapat menunjukkan sekitar 5% pemilih belum menentukan pilihan, apakah akan memilih si petahana Trump atau si penantang Biden.
“Kami melihat bahwa ketika jumlah undecided voters semakin kecil, mereka mulai sedikit condong ke arah Trump,” kata Chris Jackson, Ketua Ipsos Polling di AS kepada Newsweek.
Jackson menjelaskan penafsirannya tersebut: undecided voters yang condong ke Biden telah memberikan suara dan memilihnya sebelum hari H pemilihan. Sedangkan mereka yang condong ke Trump memberikan suaranya pada 3 November nanti.
“Pada dasarnya, beberapa pihak yang ragu-ragu telah memilih lebih awal, dan mereka tampaknya mendukung Biden. Sementara orang-orang yang tersisa akan semakin mendukung Trump,” ucapnya.
Pemaparan Jackson sejalan dengan jajak pendapat sebelumnya yang menunjukkan Trump memiliki dukungan lebih tinggi dari para pemilih yang berniat untuk memilih secara langsung pada hari H pemilihan nanti, ketimbang dengan Biden, yang unggul dengan dukungan dari para pemilih melalui surat sebelum hari H.
Trump tentu saja bakal mengejar segala kemungkinan dengan mencari selisih suara dari undecided voters. Dia berkampanye estafet dari satu negara bagian ke negara bagian lain, sementara Biden tampak lebih tenang di pekan terakhir kampanye.
Terlepas dari keunggulan kuat Biden dalam jajak pendapat nasional dalam beberapa waktu terakhir, pertarungan tampak lebih ketat di negara bagian kritis yang dapat menjadi penentu hasil. Dalam jajak pendapat Reuters/Ipsos yang digelar di bulan Oktober ini, Biden unggul tipis atas Trump di Pennsylvania.
Trump mengatakan kepada wartawan bahwa dia berharap untuk memenangkan Pennsylvania dengan selisih lebih besar daripada kemenangan 0,72% yang dia raih saat mengalahkan jagoan Demokrat Hillary Clinton pada Pemilu AS 2016 lalu.
Memang, matematika suara elektoral (Electoral College) menjadi tantangan tersendiri bagi Trump. Penasihat politik Trump yakin dia harus memenangkan Florida, Ohio dan North Carolina, negara bagian yang menurut jajak pendapat dan analis di mana Biden kuat.
Trump membutuhkan kombinasi negara bagian Midwest yang memberinya kursi kepresidenan pada Pemilu AS 2016: Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin, tempat Biden sekarang memiliki keunggulan, kata J Miles Coleman, analis data dari University of Virginia Center for Politics kepada Al Jazeera.
Ini adalah kekhasan dari sistem konstitusional AS bahwa seorang kandidat presiden dapat kehilangan suara populer, namun masih bisa memenangkan kursi kepresidenan dengan mendapatkan mayoritas dari 538 kursi di Electoral College.
Setiap negara bagian diberikan sejumlah delegasi di Electoral College berdasarkan populasi. Di 48 negara bagian dan District of Columbia, siapa pun yang memenangkan suara terbanyak, memenangkan kursi mereka. Maine dan Nebraska memiliki dua kursi masing-masing berdasarkan suara populer dan sisa kursi berdasarkan distrik kongres.
Pada 2016, Clinton berhasil memenangkan pemilihan umum nasional dengan 2,86 juta suara, tetapi Trump memperoleh 304 suara di Electoral College yang mengantarkannya ke Gedung Putih. Coleman menilai dinamika tahun ini tentu saja berbeda dengan kontestasi sebelumnya. Singkatnya, untuk menang di Pemilu AS, tentu saja dibutuhkan mayoritas 270 suara elektoral dari total 538 suara.
Memenangkan Kelompok Pinggiran Kota, Kunci Kemenangan Biden?
Biden tetap punya peluang merebut suara dari kelompok lain. Berdasarkan jajak pendapat, The Guardian memaparkan Biden memiliki keunggulan besar dalam beberapa demografi kunci. Mantan Wakil Presiden Barack Obama itu boleh berharap dengan keberadaan dua kelompok demografis penting yang perlahan tampaknya meninggalkan Trump: orang tua dan perempuan pinggiran kota.
Dua kelompok kunci ini akan bergabung dengan koalisi luas yang mencakup orang Afrika-Amerika, Latin, penduduk asli Amerika, komunitas LGBTQ, dan kaum muda. Dengan potensi kesenjangan gender yang lebih besar dari sebelumnya, Trump tampaknya akan lebih bergantung pada suara pria kulit putih.
Kurang dari seminggu sebelum hari pemilihan, Biden menikmati keunggulan dua digit di hampir setiap jajak pendapat nasional dan unggul di negara bagian yang menjadi medan pertempuran penting.
Dalam empat edisi Pemilu AS terakhir, Partai Republik memang selalu memimpin perolehan suara dari kalangan orang tua dengan sekitar 10 poin. Namun, yang perlu digarisbawahi, faktanya saat ini, sekitar empat dari lima orang Amerika yang terbunuh oleh virus Corona yang berusia lebih dari 65 tahun dan mayoritas orang Amerika mengatakan Trump telah salah menangani pandemi COVID-19.
Petahana pun tertinggal dalam kategori pemilih lanjut usia dengan lebih dari 20 poin, berdasarkan jajak pendapat CNN dan Wall Street Journal/NBC News baru-baru ini. Kondisi ini terbukti penting di negara bagian seperti Arizona dan Florida, yang memiliki jumlah pensiunan yang tinggi.
“Dalam hal blok suara, ada dua yang benar-benar menghancurkan Donald Trump,” kata Larry Jacobs, Direktur Pusat Studi Politik dan Pemerintahan di Universitas Minnesota.
“Dia memenangkan suara senior dengan tujuh poin pada 2016; itu sangat penting di Florida dan beberapa negara bagian lainnya. Dia sekarang kehilangan blok itu dan jajak pendapat berbeda tentang seberapa banyak, tetapi fakta bahwa dia tidak lagi memiliki keuntungan di antara para senior benar-benar melumpuhkannya.”
“Kemudian dia begitu mengasingkan perempuan pinggiran kota sehingga itu membuat sejumlah negara bagian ikut bermain, termasuk negara bagian yang tidak terduga, seperti Georgia. Rupanya tipe kepresidenan macho ini mendapat penolakan dari para perempuan, terutama perempuan berpendidikan yang sangat lelah dari tahun 1950-an.”
Pemberontakan kelompok pinggiran kota melawan kefanatikan Trump, agenda garis keras dan kepemimpinannya yang kacau, terwujud dalam pemilu paruh waktu pada 2018 lalu. Saat itu, Demokrat yang dipimpin Nancy Pelosi, memenangkan kendali DPR.
Demokrat meraup total 41 kursi dari total jumlah kursi yang mereka menangkan pada Pemilu 2016. Perolehan 41 kursi tersebut merupakan perolehan kursi DPR terbesar dari Demokrat sejak pemilu pasca-Watergate 1974, ketika mereka meraih 49 kursi. Demokrat juga memenangkan suara populer dengan margin sebesar 8,6%, margin terbesar dalam catatan untuk partai yang sebelumnya memegang minoritas di DPR.
Melihat kondisi ini, Trump tentu saja tak tinggal diam. Sayangnya, kampanye Trump untuk memenangkan kembali konstituennya itu—yang dikenal sebagai “soccer moms”, “security moms” dan “hockey moms”—justru sama sekali tak jelas terlihat.
Selain itu, Trump juga telah mencoba untuk memanfaatkan ketakutan rasis di pinggiran kota yang diselimuti kejahatan, kekerasan, dan perumahan berpenghasilan rendah. Dalam satu cuitannya di Twitter, dia pernah berjanji untuk melindungi “Suburban Housewives of America”.
Bahkan, pada rapat umum baru-baru ini di Pennsylvania, Trump memohon: “Perempuan pinggiran kota, maukah Anda menyukai saya? Ingat? Hei, kumohon, saya menyelamatkan lingkungan kalian, oke?”
Lagi-lagi, jajak pendapat menunjukkan bahwa permohonan Trump itu tidak didengarkan sama sekali. Biden memimpin dengan 23 poin di antara perempuan pinggiran kota di swing states—sejumlah negara bagian AS yang disebut-sebut sebagai faktor penentu hasil pilpres—menurut New York Times dan Siena College, dan dengan 19 poin di antara perempuan pinggiran kota secara keseluruhan, menurut Pew Research.
Pew Research juga menemukan bahwa perempuan keturunan etnis Hispanik lebih memilih Biden dengan 44 poin dan wanita kulit hitam memilih Demokrat dengan 85 poin yang mengejutkan. Apakah hasil jajak pendapat dan sejumlah prediksi ini akan konsisten sampai hari H pemilihan? Atau justru berbalik seperti yang terjadi di Pemilu AS 2016 lalu? Menarik dinanti!