Mungkin banyak yang mengira kalau rakyat Amerika Serikat (AS) memilih secara langsung presiden mereka setiap empat tahun sekali di Pemilihan Presiden (Pilpres) seperti pemilu di Indonesia. Nyatanya tidak begitu. Pilpres AS menerapkan sistem electoral college yang tersebar di 50 negara bagian. Apa artinya?
Sistem electoral college ini membuat calon presiden yang berhasil memenangkan suara mayoritas secara nasional atau voting populer tidak otomatis menjadi pemenang, karena kemenangan kandidat ditentukan oleh jumlah suara elektoral (electoral vote). Saat warga AS datang ke tempat pemungutan suara, mereka memilih orang-orang yang bakal duduk dalam electoral college. Tugas utama para anggota electoral college ini adalah memilih presiden dan wakil presiden setiap empat tahun sekali, yakni beberapa pekan setelah pemungutan suara oleh masyarakat di negara bagian.
Electoral college terdiri dari 538 orang. Dari 50 negara bagian di AS, kuota wakil dari tiap negara bagian dalam lembaga itu jumlahnya berbeda-beda. Wakil tiap negara bagian dalam lembaga itu terdiri dari orang-orang yang duduk dalam dua kamar Kongres, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) dan Senat. Dalam Dewan Perwakilan Rakyat, jumlah wakil negara bagian tergantung jumlah populasinya. Sementara itu, dalam Senat, tiap negara bagian diwakili dua senator.
Misalnya, negara bagian New York punya 27 kursi dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan dua Senator. Berdasarkan rumus ini, Partai Demokrat dan Republik di New York memiliki 29 pemilih yang duduk dalam electoral college.
“Mereka biasanya pendukung setia partai,” kata George Edwards III, seorang pakar Electoral College pada Texas A&M University dikutip dari DW.
California adalah negara bagian dengan perwakilan terbanyak, yakni 55 orang. Sementara negara bagian yang jumlah penduduknya sedikit, seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota, termasuk Washington DC, diwakilkan oleh minimum tiga orang.
Saat warga Amerika memberikan suaranya pada November 2020 mendatang, mereka menentukan partai mana di negara bagian mereka yang dipilih untuk mengirimkan wakil pemilih ke electoral college. Lalu pada Desember 2020, wakil pemilih ini berkumpul di ibukota tiap negara bagian dan memberikan suara bagi calon presiden.
Setelah itu, barulah kongres menerima dan menghitung suara yang diberikan semua pemilih dari 50 negara bagian dan dari Washington DC. Kandidat yang berhasil meraih 270 suara pemilih di electoral college itu terpilih menjadi presiden.
Sederhananya begini. Misalnya pada Pilpres AS November 2020 nanti, Anthony, seorang warga Sacramento, California, ingin memilih Joe Biden. Sebagai catatan, di California terdapat 55 orang wakil di electoral college. Dalam penghitungan suara di distrik Anthony, ia menunjuk elector dari Partai Demokrat bernama Sebastian untuk memberikan dukungan kepada Biden. Dalam pemilihan tersebut, ternyata Sebastian menang, sehingga Sebastian ini otomatis memiliki hak pilih bersama dengan 54 elector lainnya dari California.
Dalam hal ini, bagaimana nasib suara para pendukung Trump yang memilih calon elector lain di distrik yang sama dengan tempat tinggal Anthony? Suaranya otomatis hangus, dan dengan begitu, distrik Sacramento secara keseluruhan diberikan pada Sebastian.
Setelah semua elector terpilih, Sebastian akan berkumpul di ibu kota negara bagian. Ia akan menentukan pemenang negara bagian California bersama 54 elector lainnya. Dalam pertarungan ini, ternyata misalnya dari total 55 suara para elector di California itu, pendukung Trump menang dengan skor 28 dan Biden memperoleh skor 27.
Lantaran AS menganut sistem the winner-takes-all, dalam perhitungan 55 electoral college di California, suara diberikan kepada Trump. Dengan begitu, suara Sebastian akan hangus begitu saja. Sistem ini membuat pemenang meraup semua jatah electoral college di tingkat negara bagian, meskipun jika selisih kemenangan itu 50,1 persen berbanding 49,9 persen.
Dengan sistem electoral vote, suara yang kalah otomatis tidak akan dihitung.
Dalam Pilpres AS, kadang, calon yang mendapat suara terbanyak di bulan November juga menjadi calon yang mendapat paling banyak suara pada electoral college padang Desember. Namun, yang terjadi ternyata tidak selalu begitu. Jika hasilnya tidak sama, yang menentukan adalah pengumpulan suara pada electoral college.
Dalam sejarah AS pernah terjadi tiga kali di mana calon presiden kalah dalam perolehan suara pada pemilihan oleh rakyat, tapi menang di electoral college. Misalnya di Pemilu 2000, Al Gore dari (Demokrat) mendapat 500.000 suara lebih banyak dari George W. Bush (Republik). Namun, Bush menang 271 suara dalam electoral college dan otomatis terpilih jadi presiden AS.
Sementara itu, pada Pilpres AS 2016 lalu, Donald Trump kalah tiga juta suara di bawah pesaingnya, Hillary Clinton, yang meraup suara mayoritas secara nasional atau voting populer. Namun Trump mendapatkan suara terbanyak di electoral college dengan total 304 suara dan 227 suara untuk Clinton.