Tanpa aba-aba, tanpa promo berkepanjangan, tanpa single yang mencolok, dan tanpa skandal. Dini hari 23 Juli 2020, bintang pop Taylor Swift memaksa jutaan penggemarnya batal tidur. Tiba-tiba ia merilis album kedelapannya, Folklore.
Jelang subuh, linimasa dipenuhi jajaran Swifties yang ambyar. Penggemarnya terkesima pada lirik Taylor yang lebih introspektif, bersahaja, dan tak melulu berkutat di persoalan mantan bajingan atau reputasi publiknya yang (sempat) morat-marit. Para kritikus pun berbondong-bondong memuji komposisinya yang matang, keberanian Taylor membongkar palet musikalnya, hingga deretan kolaborasi tak terduga dalam album tersebut.
Digagas dan diproduksi semasa karantina akibat pandemi, album tersebut rampung dalam beberapa bulan. Di luar dugaan, Taylor berkolaborasi dengan Aaron Dessner, gitaris grup indie rock kawakan The National dan bekas personil .fun, Jack Antonoff. Dalam salah satu lagu, ia bahkan mengajak Justin Vernon dari Bon Iver untuk berduet dengannya. Tak pelak, Folklore dijuluki “album indie”-nya Taylor.
Namun, Folklore punya signifikansi lebih selain untuk mengembalikan reputasi musikal Taylor. Ia seolah berusaha untuk mengambil jarak dari dua album terakhirnya, Reputation (2017) yang sarat kontroversi serta Lovers (2019), yang dipenuhi lagu-lagu ceria berchorus bombastis. Komposisinya lebih tenang, produksinya lebih sepi, dan tak ada single yang seolah dirancang khusus untuk merajai tangga lagu.
Dalam rilisan persnya, ia mengaku bahwa Folklore berbicara tentang “fantasi, sejarah, dan kenangan… kisah orang yang tak pernah saya temui, orang yang pernah saya kenal, dan orang yang saya harap tak pernah saya temui.” Setiap lagu dalam album ini menyajikan Taylor dalam suasana hati yang tenang dan kontemplatif.
Pada lagu “Betty”, ia berkisah tentang cinta segitiga masa remaja yang berujung pada konfrontasi di sebuah pesta, lengkap dengan chorus yang tak akan salah tempat di lagu pop punk 2000-an mana pun. Pada “Cardigan”, ia merajuk pada kekasih yang tak tampak, membandingkan dirinya dengan cardigan lawas yang telantar di bawah ranjang.
Puncaknya tentu saja adalah “Exile”, duetnya dengan Justin Vernon dari Bon Iver. Berbeda dari lagu-lagu patah hati yang biasa ia bikin, ada dua suara dan dua perspektif di sini. Taylor tak sekadar membuat lagu galak untuk balas dendam pada mantan kekasih yang bajingan. Kali ini, ia berhadap-hadapan langsung dengan pasangannya dan terpaksa berdialog.
Secara musikal, Folklore terasa seperti pendewasaan sekaligus napak tilas. Instrumentasi pada “Betty” seperti kilas balik ke gaya country dari awal karirnya (Gitar akustik! Harmonika! Aksen Nashville!), sementara petikan gitar lirih “Invisible String” mengingatkan saya pada Sufjan Stevens era album Carrie & Lowell.
Selebihnya, sidik jari Aaron Dessner selaku produser amat kentara. Instrumentasi minimalis, selipan string section, dan glitch elektronik membuat album ini terdengar seperti proyek turunan The National.
Folklore terdengar seperti perjalanan seorang bocah kampung yang ikut urbanisasi, sukses besar di perantauan, tapi kehilangan dirinya sendiri. Kemudian ia pulang kampung, dengan harapan menemui keluarga dan kehangatan, tetapi mendapati bahwa tempat asalnya pun telah berubah.
Tak beda-beda amat dari kisah hidup Taylor sendiri. Sebagai salah satu musisi paling tenar di muka Bumi, karya dan skandal-skandalnya seolah tak dapat dipisahkan dari satu sama lain. Ada kalanya, persona rumit Taylor Swift lebih mencolok ketimbang musiknya. Ia menjadi subyek obsesi, figur yang dicintai sekaligus dibenci jutaan orang, dan selebritas yang selalu memantik perdebatan.
Padahal, pada permulaan kariernya, Taylor seolah tak tersentuh. Ia baru saja merilis album kedua, Fearless (2008), yang menahbiskan dirinya sebagai superstar pop. Citra publiknya pun gilang gemilang. Ia dipandang sebagai bocah udik dari selatan AS yang naif, ramah, blak-blakan, tapi begitu mudah dicintai.
Lagunya berbicara begitu lantang pada audiens remaja, tetapi secara musikal masih “nyambung” dengan para orang tua dan tak seagresif bintang pop lain. Ia berkulit putih, berbakat, sukses, tapi tak mengancam. Singkat kata, ia sempurna.
Reputasinya semakin mengkilap setelah insiden di MTV Video Music Awards 2009. Saat Taylor menerima penghargaan, rapper Kanye West tiba-tiba naik ke panggung, merebut mic, dan bilang bahwa seharusnya Beyonce yang menang. Selepas insiden tersebut, Taylor dipandang sebagai korban dan menuai luapan simpati dari publik.
Lebih penting lagi, sejak saat itu skandal dan kesuksesan jadi sahabat baik Taylor. “Insiden Kanye mengekspos Taylor pada audiens yang sebelumnya tak mengenal musiknya,” ucap Scott Borchetta, bos label rekaman Big Machine Records yang dahulu menaungi Taylor. “Mereka tertarik karena skandal tersebut, dan ketika mereka menjajal musik Taylor, ternyata mereka suka.”
Lambat laun, obsesi AS kepada Taylor Swift memuncak. Hubungannya dengan bintang-bintang top seperti John Mayer, Harry Styles, dan Jake Gyllenhaal disoroti paparazzi dan disulap menjadi lagu sarat kode seperti “Dear John” dan “We Are Never Ever Getting Back Together”. Rumus matematikanya gampang: drama + selebritas + skandal + lagu yang sangat catchy = jutaan penggemar yang mengikuti setiap langkah Taylor.
Puncak sekaligus titik balik dari formula ini adalah album 1989, yang dirilis pada tahun 2014. Pada album tersebut, Taylor menanggalkan citra gadis udik dan terang-terangan menciptakan musik pop dengan chorus raksasa dan melodi ultra catchy. Siapa pun yang ragu mendengarkannya karena tak suka musik country kini mau tak mau mendengarkan Taylor Swift. Ia tak sekadar jadi bintang pop. Ia jadi monumen yang tak terhindarkan.
Pada saat bersamaan, kehidupan Taylor pun berubah. Menulis untuk The Ringer, Kate Knibbs mencatat bahwa pada fase yang sama Taylor pindah ke New York dan mulai dikenal karena persahabatannya dengan selebritas lain seperti Lena Dunham, Lorde, dan Karlie Kloss. Tongkrongannya yang tenar dan turnya yang sangat sukses–dengan bintang tamu seperti Mick Jagger dan Ellen DeGeneres–membuat Taylor tak pernah lepas dari sorotan media. Dan lambat laun, publik mulai muak kepadanya.
Video klipnya untuk lagu “Shake it Off” dan “Wildest Dreams” dikritik karena dianggap mencomot budaya Afrika secara serampangan, sementara video “Blank Space” dinilai mengelu-elukan kekerasan dalam pacaran. Kritik tersebut terasa canggung, sebab Taylor mulai lebih blak-blakan menyoroti kebobrokan industri musik dan menyebut dirinya feminis.
Pada 2016, opini publik berbalik. Kanye West merilis lagu “Famous”, dengan lirik bombastis “I feel like me and Taylor might still have sex / Why? I made that bitch famous.” Pada pidatonya saat memenangkan Album of the Year di anugerah Grammys 2016, Taylor menyindir Kanye, dan perseteruan mereka berlanjut. Sekali lagi, Taylor memosisikan dirinya sebagai korban yang terpaksa bersikap dewasa.
Namun, Kanye dan krunya tak tinggal diam. Kim Kardashian, istri Kanye, bersikeras pada majalah GQ bahwa Kanye telah meminta izin terlebih dahulu ke Taylor sebelum merekam lirik tersebut. Melalui Snapchat, ia merilis rekaman suara di mana Taylor terdengar mengizinkan Kanye merekam lirik tersebut. “Hubungan baik lebih penting daripada lirik keren,” ucap Kanye sambil meminta izin. Swift setuju, dan bilang bahwa jika ditanyai pers nanti, ia akan bilang Kanye sudah permisi dulu kepadanya.
Kebohongan Taylor membuatnya diporak-porandakan media. Akun-akun media sosialnya dipenuhi emoji ular, simbol untuk menandakan bahwa ia manipulatif, pembohong, dan senang berpura-pura jadi korban. Reputasi Taylor kian karam saat Pilpres AS 2016 tiba. Ketika bintang pop lain seperti Katy Perry sibuk berkampanye untuk mencegah Donald Trump dilantik jadi presiden, Taylor diam saja.
Sejak dulu ia memang emoh menyentuh ranah politik, tapi di tengah Pilpres paling menghebohkan sepanjang sejarah AS, sikap itu dipandang sebagai kepicikan. “Taylor Swift lahir dari optimisme era Obama dan pasca-Bush,” ucap kritikus musik David Turner. “Saya tidak tahu bagaimana cara menyesuaikan optimisme itu untuk masa yang sama sekali berbeda.”
Di era penuh kemarahan, saat para bintang pop menyuarakan opini politik dan berlomba-lomba menjadi woke, senyum ceria dan drama tongkrongan artis ala Taylor Swift jadi terkesan menjengkelkan. “Ia bintang pop paling kulit putih yang kita miliki,” ucap jurnalis Rolling Stone, Brittany Spanos. “Taylor seolah hidup dalam gelembung.”
Sejak saat itu, citra publik Taylor bertambah kompleks. Ia bukan lagi bintang pop yang dicintai semua orang tanpa terkecuali. Ia seseorang yang dicurigai problematis dan dipuji sekaligus dikritik dengan intensitas serupa. Album berikutnya, Reputation (2017), terang-terang memanfaatkan imej miring ini dengan memosisikan Taylor sebagai sosok antihero yang penuh dendam.
Pada album Lovers (2019), Taylor tampak melunak, tapi kritik tetap membuntutinya. Upayanya membela LGBTQ di video klip “You Need to Calm Down” dinilai dangkal dan tak tepat sasaran. The Atlantic, misalnya, bingung saat lirik Swift secara tersirat membandingkan homofobia dengan sindiran haters terhadapnya. “Video ini bukan soal hak LGBTQ,” tulis Spencer Kornhaber di The Atlantic. “Tapi manajemen narasi untuk superstar.”
Kemudian pandemi datang, dan Taylor seolah memiliki ruang untuk berefleksi. Tur Lovers terpaksa batal, momentum yang ia bangun dengan hati-hati buyar di tengah jalan. “Dalam karantina, imajinasi saya meliar,” ucap Taylor. Pada akhir April 2020, ia menghubungi Aaron Dessner untuk mengajak kolaborasi. Hanya berselang beberapa jam, mereka telah bertukar ide-ide lagu. Kurang dari tiga bulan kemudian, sebuah album siap dirilis.
Layaknya kisah rakyat sungguhan, Folklore terasa membumi, bersahaja, dan sarat nostalgia. Tiap lagu dalam album ini terdengar seperti keluh kesah seorang karakter di kota pinggiran, cuplikan mini ke kehidupan orang-orang yang dengan mudahnya kita lewatkan.
Ketika Taylor kembali membahas narasi kecil dan kekalahan-kekalahan keseharian, ia justru terdengar lebih bijak ketimbang saat ia bernyanyi tentang kekayaannya, dendam kesumatnya pada mantan kekasihnya, atau menyindir seleb yang berseteru dengannya. Ia terasa lebih jujur. Di Variety, Chris Willman berkelakar: “She’s celebrating the masked era by taking hers off again.”
“I had a marvelous time ruining everything,” nyanyi Taylor dalam “the last great american dynasty”. Kini, ia sepertinya mulai menikmati ketenangan.