Isu Terkini

7 Maskapai Diputuskan Bersalah dalam Kasus Tiket Pesawat Mahal, Ada Kartel?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan tujuh maskapai nasional terbukti bersalah terkait kenaikan harga tiket pesawat atau angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi dalam negeri. KPPU memutuskan seluruh terlapor secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran Pasal 5 dalam jasa angkutan udara.

Tujuh maskapai terlapor ialah PT Garuda Indonesia (Terlapor I); PT Citilink Indonesia (Terlapor II); PT Sriwijaya Air (Terlapor III); PT NAM Air (Terlapor IV); PT Batik Air (Terlapor V); PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan PT Wings Abadi (Terlapor VII)..

Dalam sidang terbuka yang dilaksanakan Selasa (23/06/20), majelis hakim KPPU membacakan Putusan atas Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang “Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999.”

“Untuk itu KPPU menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada para Terlapor untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada KPPU setiap kebijakan mereka yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat sebelum kebijakan tersebut dilakukan,” demikian bunyi keterangan resmi yang dikeluarkan KPPU Selasa (23/06).

Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilanggar tujuh maskapai tersebut berbunyi: “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”

Adapun pasal 11 UU yang sama berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Kasus ini berawal dari penelitian KPPU atas layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi penerbangan dalam negeri. Dalam proses penegakan hukum yang dilaksanakan, KPPU menilai bahwa struktur pasar dalam industri angkutan udara niaga berjadwal adalah oligopoli ketat (tight oligopoly).

Hal ini mengingat bahwa kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia terbagi dalam tiga grup, yakni grup Garuda (Terlapor I dan Terlapor II), grup Sriwijaya (Terlapor III dan Terlapor IV), dan grup Lion (Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII). Sehingga seluruh Terlapor dalam perkara ini menguasai lebih dari 95 persen pangsa pasar.

Selain itu, juga terdapat hambatan masuk yang tinggi dari sisi modal dan regulasi yang mengakibatkan jumlah pelaku usaha sedikit dalam industri penerbangan.

“Persaingan harga di industri tersebut diatur melalui peraturan pemerintah melalui batasan tertinggi dan terendah dari penetapan tarif atau harga penumpang pelayanan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri, sehingga masih terdapat ruang persaingan harga diantara rentang batasan tersebut.”

Berdasarkan persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa telah terdapat concerted action atau parallelism ketujuh maskapai, sehingga telah terjadi kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds) dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar.

Hal ini mengakibatkan keterbatasan pasokan dan harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi.

“Namun demikian, Majelis Komisi menilai bahwa concerted action sebagai bentuk meeting of minds di antara para Terlapor tersebut, tidak memenuhi unsur perjanjian di Pasal 11.”

Hal ini mengingat bahwa berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010, unsur perjanjian di pasal tersebut membutuhkan berbagai hal seperti konspirasi di antara beberapa pelaku usaha, keterlibatan para senior eksekutif perusahaan yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan membuat keputusan, hingga penggunaan asosiasi untuk menutupi kegiatan.

Dalam membuat Putusan, Majelis Komisi turut mempertimbangkan sikap kooperatif para terlapor dalam proses persidangan dan adanya implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang telah berdampak besar pada perekonomian nasional dan upaya pemulihannya, termasuk atas pelaku usaha industri penerbangan yang telah mengalami banyak kesulitan bahkan sebelum terjadinya Pandemi.

Memperhatikan berbagai fakta-fakta pada persidangan, maka Majelis Komisi memutuskan para terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, namun tidak tidak terbukti melanggar Pasal 11 sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Untuk itu dalam perkara tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada KPPU setiap kebijakan yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat, sebelum kebijakan tersebut diambil.

Lebih lanjut, Majelis Komisi juga merekomendasikan kepada KPPU untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Kementerian Perhubungan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif batas atas dan batas bawah.

Hal ini penting agar formulasi yang digunakan dapat melindungi konsumen dan pelaku usaha dalam industry, serta efisiensi nasional; di mana batas bawah adalah di atas sedikit dari marginal cost pelaku usaha dan batas atas adalah batas keuntungan yang wajar dan dalam batas keterjangkauan kemampuan membayar konsumen.

Pengamat: Bukan Kartel, tapi Murni Mekanisme Pasar

Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai selama pemerintah terus memberlakukan tarif batas bawah dan tidak disiplin menyesuaikan tarif batas atas secara berkala sebagaimana diamanatkan UU No. 1 Tahun 2009, hal ini menurutnya tetap saja akan terus terjadi.

“Penentuan harga bukan oleh airlines, tapi melalui intervensi politik pemerintah,” kata Alvin saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (24/06). Meski begitu, Alvin melihat tak ada unsur kartel dalam kasus ini. Namun, lebih kepada mekanisme pasar pada umumnya di mana harga mengalami turun naik.

“Saya secara pribadi tidak melihat ini sebagai kartel ya. Tuduhan kartel ini pertama kali muncul ketika menteri perhubungan mengundang operator-operator maskapai ini untuk secara bersama-bersama menurunkan harga dalam rangka menyambut lebaran tahun 2019,” ucap Alvin.

Menurutnya, situasi tersebut yang memicu semua permasalahan ini. Jadi, lanjut Alvin, penurunan harga itu bukan oleh airlines, tapi airlines dipaksa diminta bantuan oleh menteri perhubungan agar menurunkan harga.

Alvin melihat bahwa situasi ini juga tidak lepas dari kepentingan politik pemerintah untuk pencitraan karena pada saat itu menjelang Pilpres 2019. Jadi awal tahun 2019 itu, maskapai diminta untuk menurunkan tarif-tarif tersebut.

“Sedangkan pada waktu naik itu kan tidak bersamaan. Yang pertama kali menaikkan harga tiket itu adalah Garuda. Nah, Garuda itu bukan menaikkan harga tiket, tapi Garuda itu menghapus sub class-sub class, jadi hanya sub class tertinggi yang dijual dan itu juga tidak melanggar tarif batas atas,” ujarnya.

“Kemudian karena Garuda naik, maskapai yang lain juga ikut naik. Setahu saya, tanpa ada kesepakatan. Karena seperti kalau seperti Batik dan Lion, kalau Garuda nggak naik, mereka nggak bisa naik karena kalau mereka naik, penumpangnya ya pindah ke Garuda. Jadi price leader-nya di sini adalah Garuda,” kata Alvin.

“Kalau Garuda turun, otomatis yang lain juga ikut turun. Ini memang mekanisme pasar murni, saya menilainya demikian.”

Share: 7 Maskapai Diputuskan Bersalah dalam Kasus Tiket Pesawat Mahal, Ada Kartel?