Isu Terkini

Mampukah Anak-anak Muda di Indonesia Ambil KPR untuk Hunian Layak?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Sudah jadi rahasia umum bahwa harga rumah di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, semakin tidak terjangkau. Anak-anak muda, terutama generasi milenial, mesti menerima kenyataan bahwa peningkatan harga rumah setiap tahunnya tidak sebanding dengan peningkatan gaji mereka. Harga rumah dapat meningkat sebesar 20% per tahunnya, sementara kenaikan gaji tak sampai 10%.

Satu-satunya cara untuk dapat membeli rumah adalah lewat Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Itu pun dengan suku bunga cukup tinggi, yaitu berkisar 9-12%. Berdasarkan hasil survei harga properti oleh Bank Indonesia pada triwulan pertama tahun 2020, sebanyak 74% konsumen mengandalkan fasilitas KPR dalam membeli properti residensial.

Daripada menyewa, Erlangga lebih memilih untuk membeli rumah. Menurutnya, rumah telah jadi kebutuhan primer bagi dirinya yang sudah berkeluarga. Ia membutuhkan waktu selama 3-4 tahun untuk menyiapkan DP rumah serta punya pemasukan yang cukup untuk menanggung biaya kebutuhan sehari-hari dan cicilan KPR. “Pilihannya kalau nggak KPR ya menunggu warisan. Kalau menabung sampai terkumpul cash kayaknya agak impossible. Kenaikan properti terlalu cepat untuk dikejar tabungan,” kata Erlangga kepada Asumsi.co (4/6).

Erlangga membeli rumah di pinggiran Jakarta yang jaraknya 30 km dari tempat kerjanya di Jakarta Pusat. Menurutnya, sudah tak mungkin bagi dirinya untuk membeli hunian di pusat Jakarta—membeli rumah di pinggiran Jakarta saja sudah menghabiskan porsi tabungan dan pemasukan secara signifikan. “Dengan adanya KPR, hidup jadi tidak bisa se-YOLO itu. Dulu saya ingin punya usaha sendiri, mencoba sesuatu yang baru, mengambil risiko. Sekarang tidak bisa lagi. Dan harus begini sampai paling tidak selama 15 tahun,” ujarnya yang mengambil KPR dengan suku bunga sebesar 8% dan tenor selama 15 tahun.

Walau tempat kerjanya tidak terdampak oleh pandemi, krisis ekonomi yang melanda berbagai sektor industri membuat Erlangga ikut mengkhawatirkan kemampuannya membayar cicilan kelak. “Kalau sampai kehilangan pekerjaan, otomatis kami perlu mengeluarkan dana darurat yg hanya bisa meng-cover cicilan dan juga kehidupan selama beberapa bulan saja.”

Tak hanya pasangan yang telah menikah saja yang merasa perlu beli rumah. Sheila mesti merantau keluar kota karena pekerjaannya. Setelah tinggal di kos-kosan selama tiga tahun, ia merasa uang yang dikeluarkan untuk membayar kos lebih sepadan jika digunakan untuk membayar cicilan rumah. “Aku ngerasa uang kos ini sebenarnya bisa dipakai untuk menyicil rumah. Harga sewa sebesar 1,2 juta tuh hilang kayak—buat orang lain, bukan buat investasi aku sendiri.”

Sementara bagi Hasna, membeli rumah adalah sarananya untuk berinvestasi. Setelah satu tahun bekerja, ia punya cukup uang untuk membayar DP rumah di pinggir Tangerang. “Jarak rumah dari tempat kerja gue kurang lebih 70 km, dan rumah ini memang bukan ditujukan sebagai rumah yang akan gue tinggali dalam waktu dekat. Tapi supaya penghasilan yang gue punya bisa gue parkir di tempat yang punya nilai investasi dan gue bisa dapat return-nya suatu hari nanti,” kata Hasna.

Lain ceritanya lagi bagi Henry yang membeli rumah untuk kebutuhan tempat tinggal orang tuanya. Tempat tinggalnya sebelumnya sudah tak layak huni dan sering kena banjir. Sementara itu, mengontrak atau menyewa tempat tinggal bukanlah pilihan karena orang tuanya sudah berusia lanjut dan tak sanggup berpindah-pindah. “Kalau sewa kan tergantung dari yang punya rumah. Kalau dia nggak mau menyewakan lagi, artinya aku hari cari lagi. Sementara nggak mungkin buat orang tua untuk pindah-pindah terus,” kata Henry kepada Asumsi.co (5/6).

Dengan bunga sebesar 7% dan cicilan yang menghabiskan sepertiga pemasukannya setiap bulan, Henry merasa pengeluaran untuk cicilan cukup memberatkan. Performa perusahaan tempatnya bekerja juga mulai menurun akibat pandemi—membuatnya khawatir gajinya akan dipotong. “Aku nanggung cicilannya sendiri. Nggak ada yang bantu. Saudara-saudaraku yang sudah berkeluarga punya cicilan sendiri. Biaya kebutuhan orang tua juga aku yang menanggung. Aku memang sudah menyiapkan dana darurat kalau sampai-sampai gajiku dipotong, tapi itu pun cuma sanggup untuk beberapa bulan.”

Hunian Tak Terjangkau Ciptakan Masalah Baru

Berdasarkan data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), 81 juta orang yang termasuk dalam generasi milenial belum memiliki rumah—atau setara 30% dari total penduduk Indonesia.

Mahalnya harga properti di Jakarta juga membuat ketersediaan dan permintaan akan hunian jadi tidak seimbang. Berdasarkan laporan Bank Dunia, harga hunian di Jakarta bahkan lebih tidak terjangkau dibandingkan kota-kota besar seperti London, New York, dan Singapura jika dibandingkan dengan tingkat pendapatan masyarakat. Rasio harga rumah dan pendapatan di Jakarta mencapai 10,3—sementara London 8,5; New York 5,7; dan Singapura 4,8.

Kementerian PUPR mencatat housing backlog (kekurangan hunian) di Jakarta mencapai angka 1,25 juta unit di tahun 2015. Angka ini belum termasuk warga ber-KTP non-DKI Jakarta yang bekerja dan menetap di kota ini. Executive Director Jakarta Property Institute (JPI) Wendy Haryanto mengatakan pilihan generasi milenial saat ini terbatas pada membeli rumah yang jauh dari pusat kota—itu pun jika gaji mereka mencapai Rp10 juta setiap bulannya dengan kesanggupan membayar cicilan maksimal Rp3 juta per bulan.

“Dengan cicilan pun, generasi milenial belum sanggup untuk membeli rumah di area yang dekat dengan pusat kota. Jika memilih harga yang lebih murah, maka lokasinya jauh dari pusat kota—biasanya di Bodetabek—dan tambahan biaya transportasi ikut jadi perhitungan,” ujar Wendy kepadai Asumsi.co (8/6).

Tinggal di hunian yang jauh dari pusat kota menciptakan masalah tersendiri. Jakarta Property Institute mengatakan jarak hunian yang jauh dari tempat kerja menciptakan urban sprawl (perluasan wilayah urban secara tidak terkendali) yang memicu sejumlah masalah: meningkatnya waktu perjalanan, biaya transportasi, polusi udara, dan rusaknya pedesaan.

Hasil survei Jakarta Property Institute (2019) menunjukkan bahwa 37% responden menghabiskan waktu 31-60 menit untuk berangkat dari tempat tinggal ke kantor. Warga yang tinggal di sekitar Bodetabek pun membutuhkan waktu lebih dari 60 menit untuk sampai ke Jakarta. Dengan mesti bolak-balik Jakarta-rumah, responden bisa menghabiskan Rp10-25 ribu setiap harinya hanya untuk naik turun transportasi umum.

Sementara itu, sebanyak 37% responden tinggal di luar Jakarta dan hanya 11% responden yang memiliki hunian sendiri. Sisanya tinggal di rumah orang tua, mengekos dengan biaya sekitar Rp600 ribu-2 juta di Jakarta, atau tinggal di hunian yang disediakan kantor.

Wendy mengatakan kebanyakan skema KPR saat ini belum cukup membantu memenuhi kebutuhan generasi milenial akan hunian. Tingginya harga rumah dan suku bunga membuat jangka waktu pinjaman selama 15-20 tahun masih memberatkan. Ada pula biaya-biaya tambahan yang kerap luput diperhitungkan, seperti biaya BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), biaya provisi, biaya notaris, dan lainnya. “Pemerintah perlu membuat inovasi kebijakan perbankan berupa intervensi untuk memperpanjang jangka waktu pinjaman KPR,” ujar Wendy.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?

Sejumlah bank mengeluarkan strategi yang dapat membantu meringankan biaya cicilan rumah. Minat membeli rumah dan mengambil KPR sedang menurun terutama di kala pandemi. Hal ini disampaikan oleh Equity Loan Department Head Non Subsidized Mortgage & Personal Lending Division Bank BTN, Romeo Daniel Makenru.

“Berasa sekali ya. Perekonomian udah pasti lagi turun. Daya beli orang pun cenderung menurun, karena kita kan nggak tahu pandemi ini sampai kapan. Developer hunian pun sudah pada mengeluh. Mereka jualan susah—nggak seperti bulan-bulan lalu,” ungkap Romeo kepada Asumsi.co (10/6).

Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia pada triwulan I 2020, penjualan properti residensial menurun signifikan. Penjualan properti dikatakan mengalami kontraksi yang cukup dalam, yaitu sebesar -43,19% (yoy). Angka ini jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 1,19% (yoy). Penurunan penjualan properti ini terjadi pada seluruh tipe rumah.

Bank Tabungan Negara (BTN) sendiri telah mengeluarkan program KPR khusus milenial yang ditujukan bagi orang yang berusia 21-35 tahun. Bernama KPR Gaess, terdapat sejumlah keringanan yang ditawarkan oleh program—seperti tenor yang bisa sampai 30 tahun, DP sebesar 5%, hingga pengurangan biaya provisi sebesar 50%.

“Kami juga membebaskan biaya pengendapan. Jadi kalau program di tempat lain itu biasanya harus ada angsuran mengendap—misalnya satu atau dua kali angsuran sampai dengan akhir masa cicilan. Asumsi kami, kalau itu ditambahkan ke biaya yang mereka keluarkan di awal, pastinya akan memberatkan.”

Selama ini, rata-rata orang yang mengajukan KPR Gaess di BTN memiliki gaji sebesar Rp5-7 juta per bulan. Dengan upah sebesar itu, rumah yang mampu mereka beli berkisar di harga kurang dari Rp700 juta. Pandemi COVID-19 membuat risiko seseorang untuk gagal bayar atau kredit macet meningkat. Untuk menghindari ini, Bank BTN kembali menggencarkan program lain, yaitu KPR Zero.

“Komponen angsuran di perbankan itu kan ada bunga dan pokok. Kami buat program selama dua tahun nggak usah bayar pokok, jadi bayar bunga saja. Mereka jadi bisa menabung selama dua tahun. Perkiraan kami, mereka jadi lebih mudah untuk membayar angsuran di tahun setelahnya karena ada kenaikan gaji. Sudah ada perubahan dari sisi finansial,” ujar Romeo.

Sementara itu, bagi Executive Director Jakarta Property Institute Wendy Haryanto, mesti ada usaha lebih dari pemerintah untuk mengintervensi kenaikan harga properti di pusat kota. Pemerintah bisa membantu menyediakan apartemen murah di Jakarta dengan biaya cicilan maksimal Rp3 juta per bulan.

Menurut Wendy, hunian vertikal bisa jadi solusi atas kurangnya hunian layak dan keterbatasan lahan di Jakarta. Sebanyak 54% responden survei JPI pun berkata ingin tinggal di apartemen di Jakarta dengan 82% di antaranya rela menyicil.

Untuk mewujudkannya, pemerintah dapat membangun apartemen atau rumah susun di lahan publik yang penggunaannya kurang optimal atau terbengkalai, seperti lahan pasar, kantor, dan bangunan lain milik BUMD dan BUMN. Tugas pemerintah adalah menyediakan lahan, sementara pengembang yang hendak membangun hunian komersil punya kewajiban untuk juga membangun rumah susun bersubsidi tanpa mengambil untung.

“Kami menunggu tindak lanjut dari pemerintah dan siap berkolaborasi untung mengeksplorasi potensi kebijakan lain untuk penyediaan hunian terjangkau di tengah kota,” tutur Wendy.

Share: Mampukah Anak-anak Muda di Indonesia Ambil KPR untuk Hunian Layak?