Isu Terkini

Trauma Setelah Melihat Video Kekerasan Seksual? Kamu Tidak Sendiri

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Tujuh tahun lalu, ketika masih duduk di bangku SMP, Cindy (bukan nama sebenarnya) menjadi korban kekerasan seksual. Pelakunya, seorang teman seangkatan, menutup mata Cindy dengan kain, melecehkan, lalu memotretnya.

Bagi Cindy, konten-konten yang bermuatan kekerasan seksual membangkitkan trauma. “Aku menghindari banget. Karena kalau lihat langsung tantrum,” katanya kepada Asumsi.co (10/3). Cindy didiagnosis mengalami PTSD (Post-traumatic Syndrome Disorder), dan itu membuatnya kerap kembali merasakan pengalamannya saat itu. Ia menjalani terapi selama tiga tahun untuk memulihkan diri. “Ketika masuk SMA, aku sering pingsan gara-gara menahan tantrum. Emosi yang muncul banyak banget sampai rasanya kacau. Aku juga nggak sanggup melihat seragam sekolah.”

Pada Senin (9/3), Cindy tidak sengaja melihat video seorang siswa SMA yang dilecehkan oleh teman-teman sekolahnya di media sosial. Melihat itu, ia merasa ditarik kembali ke masa lalu. “Jujur, marah enggak, sedih juga enggak. Tapi aku langsung mode defense gitu. Mekanisme pertahananku adalah aku ingin menggantikan posisi korban di sana karena aku sudah lebih siap. Langsung mikir, ‘kalau dipegang bagian itu, tonjok yang itu. Kalau digituin, tangkis yang itu.’”

Meski terbantu oleh terapi, Cindy berkata, “Itu adalah luka seumur hidup. Nggak bakal bisa sepenuhnya sembuh.”

Seorang siswa SMA asal SMK Bolmong, Sulawesi Utara, mengalami kekerasan seksual oleh teman-teman sekolahnya. Peristiwa itu terjadi pada 26 Februari 2020. Rekaman peristiwa itu disebarluaskan ke media sosial oleh pelaku. Komnas Perempuan telah mengimbau agar pengguna media sosial tidak memperparah penyebarannya. “Saat ini, kasusnya sudah didampingi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Bolaang Mongondow,” kata perwakilan Komnas Perempuan lewat Twitter-nya, @KomnasPerempuan.

SAFEnet pun memberikan imbauan serupa. “Bila menemukan konten yang mengandung kekerasan seksual dan tidak merahasiakan identitas korban, stop di kamu,” kata SAFEnet lewat akun Twitter-nya @safenetvoice. Jika seseorang memiliki informasi lebih detail atas kejadian tersebut, mereka sepatutnya langsung melaporkannya ke pihak berwenang atau ke Komnas Perempuan. SAFEnet mengingatkan bahwa orang yang ikut menyebarkan konten kekerasan seksual juga pelaku, dan tindakannya memperburuk trauma korban.

Re-traumatisasi Korban Kekerasan Seksual

Danika Nurkalista, psikolog klinis dewasa dan koordinator layanan psikologis di Yayasan Pulih, berkata bahwa selain berdampak negatif kepada korban, orang-orang lain yang menerima berita atau video tersebut juga bisa terdampak.

“Dapat memicu trauma para penyintas, korban kekerasan seksual, keluarga korban, ataupun orang-orang yang terdampak dari kekerasan seksual,” kata Danika dihubungi Asumsi.co (10/3).Video ini juga dikatakan berisiko dicontoh oleh orang lain. “Berbahayanya lagi, bisa menginspirasi orang-orang yang malah menyukai konten seperti itu untuk melakukan hal yang sama,” tutur Danika. Sebagaimana dinyatakan laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, jumlah laporan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) meningkat setiap tahunnya: dari 16 kasus pada 2017 menjadi 97 kasus pada 2018, kemudian berlipat ganda jadi 281 kasus pada 2019.

Menurut Danika, penyintas kekerasan seksual yang terpapar konten traumatik dapat mengalami re-traumatisasi. “Reaksi yang dialami bisa beragam dan mempengaruhi berbagai aspek. Di pikiran bisa muncul flashback, mimpi buruk, pikiran negatif, dan gangguan konsentrasi. Bisa juga muncul reaksi fisik seperti tubuh yang tegang, sakit kepala, jantung berdebar, dan lainnya.” jelas Danika. Seseorang yang mengalami re-traumatisasi juga dapat merasa takut, cemas, hingga menghindari interaksi sosial dan mencoba menghindari pemicu-pemicu trauma lain.

Dikutip dari Recovery Ranch, re-traumatisasi juga menjadi salah satu gejala yang dialami pengidap PTSD, gangguan kesehatan mental yang banyak diderita korban kekerasan seksual. Pengidap PTSD kerap teringat atau mengalami kembali kejadian yang membuat dirinya trauma, dan mereka kerap mencoba menghindari hal-hal yang dapat memicu trauma tersebut. Hal-hal yang dapat memicu trauma termasuk seperti menyaksikan kejadian serupa dengan sumber trauma, hingga melihat gambar, lokasi, benda, atau bunyi yang mengingatkan pada pengalaman tersebut.

Ada banyak kriteria yang menjadi acuan untuk mendiagnosis seseorang mengidap PTSD. Tetapi, seseorang juga bisa mengalami trauma atau re-traumatisasi tanpa PTSD. “Re-traumatisasi dan PTSD sebenarnya terpisah. Re-traumatisasi adalah seperti mengalami dampak-dampak trauma kembali karena terpicu situasi yang mirip. Sementara PTSD adalah diagnosis di mana seseorang mengalami dampak trauma yang sangat mengganggu dalam waktu tertentu,” tutur Danika.

Bagi pihak-pihak yang traumanya terpantik ketika melihat konten-konten bermuatan kekerasan seksual, Danika menyarankan untuk mencari bantuan profesional yang berpengalaman dalam menangani trauma. Ia juga menyarankan untuk mencoba menenangkan diri, menghubungi orang terdekat yang dapat dipercaya, serta melakukan kegiatan self-care.

Seseorang yang terpicu traumanya seperti sedang membuka luka lamanya kembali. “Apalagi untuk seseorang yang masih berproses memulihkan diri. Kecepatan pemulihan juga ikut terpengaruh karena ia merasakan kembali rasa sakit secara berulang,” tutur Danika.

Untuk itu, Danika mengingatkan agar orang yang terpicu traumanya dapat mencoba untuk diam sejenak dan memerhatikan keadaan di sekitar dirinya. “Sadari mengapa hal ini terjadi dan hargai kondisi saat ini. Lalu ingatkan diri bahwa, ‘saya adalah seseorang yang kuat dan dapat melewati peristiwa traumatis di masa lalu, dan saat ini pun memiliki kekuatan untuk menghadapinya’.”

Apakah kamu salah satu orang yang terpicu traumanya setelah melihat konten gambar atau video yang mengandung tindakan kekerasan seksual dan membutuhkan bantuan profesional? Kamu bisa menghubungi admin Yayasan Pulih di +62-811-8436-633 atau mengunjungi situs yayasanpulih.org. Jika kamu atau kenalanmu jadi korban kekerasan seksual, kamu bisa melaporkan dan mencari bantuan ke UPT P2TP2A (Unit Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di 112 atau ke Komnas Perempuan di +62-213-903-963/main@komnasperempuan.go.id.

Share: Trauma Setelah Melihat Video Kekerasan Seksual? Kamu Tidak Sendiri