Isu Terkini

Siasat Orang Miskin Menghadapi COVID-19

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Sebelumnya, kami sudah menjabarkan siasat para hartawan menghadapi wabah COVID-19, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari tiga ribu orang di seluruh dunia. Semoga kelakuan absurd mereka, mulai dari membangun bunker dari bekas tempat peluncur roket, membeli hand sanitizer berbentuk ayam, hingga mengoleksi mimpi buruk, sukses menggelitik perutmu.

Namun, selagi mereka sibuk bergajulan dalam semestanya sendiri, orang miskinlah yang kena batunya. Laporan dari negara-negara terpapar COVID-19 membuktikan bahwa dalam kondisi wabah dan gawat darurat, orang dengan status ekonomi mengkhawatirkan berada dalam posisi paling rentan. Mereka mesti berkutat dengan kemelaratan sehari-hari selagi menghadapi stigma dan kondisi kerja yang kian tak pasti.

Hidup kerap menuntut orang-orang miskin untuk panjang akal, tapi ada kalanya mereka sungguh-sungguh dipecundangi oleh nasib sampai tak bisa berbuat apa-apa lagi.

1. Tetap Masuk Kerja

Kalau kamu pekerja kerah putih–misalnya budak ahensi, pebisnis, pengacara, dan lain sebagainya–mungkin kamu bisa bekerja secara remote. Tapi, apa kabar pekerja kerah biru?

Pekan lalu (4/3), dua orang kabur dari karantina COVID-19 di Batam, Kepulauan Riau. Bukan, ini bukan permulaan film apokaliptik macam World War Z atau serial Resident Evil. Kenyataannya lebih menyedihkan. Keduanya pengemudi ojek daring yang diperintahkan masuk karantina setelah penumpang mereka–seorang warga Singapura–kedapatan positif COVID-19. Alasan mereka kabur dari karantina? Tak ingin pemasukannya berhenti.

Mereka bukan orang-orang tamak. Seorang sopir ojek daring harus berjibaku di jalanan dengan jam kerja yang tak wajar untuk menuai bayaran yang tak seberapa. Kebijakan Gojek mengganti sistem pembagian pemesanan juga baru-baru ini menuai protes, sebab dinilai memperberat kinerja pengemudi.

Belum lagi, mereka bukan pekerja kontrak. Mereka berstatus mitra. Misalkan mereka berhenti kerja selama dua pekan karantina, bukan tak mungkin mereka diberhentikan secara sepihak oleh kantornya.

Kondisi serupa pun terjadi di Cina, muasal virus COVID-19. Kota-kota besar seperti Wuhan memang dikarantina massal. Namun, penduduk terkaya di kota itu tetap memesan kiriman bahan makanan, belanjaan, dan obat-obatan dari toko atau penyalur. Lantas, apa kabar petugas yang mesti mengirim barang-barang tersebut? Selain terpaksa tetap bekerja dan berisiko kian remuk kondisi tubuhnya, mereka pun dicap sebagai calon pemboyong virus.

2. Nggak Boleh Keluar Kota

Sejak wabah menyebar, larangan bepergian memang ditetapkan di mana-mana. Namun, menurut penelusuran Deutsche Welle, para elit di Cina tetap bisa melanggar ketetapan tersebut dengan memanfaatkan koneksi serta uang yang mereka miliki. Mereka tetap bisa bepergian ke luar negeri atau luar kota dan kabur dari kota yang bakal dikarantina.

Jangan harap orang kebanyakan bisa melakukan hal serupa. Bayangkan bila kamu orang dari keluarga menengah ke bawah, dan ada kabar bahwa sebentar lagi kotamu bakal dikarantina sampai waktu yang tak ditentukan. Apakah kamu punya tabungan yang cukup untuk beli tiket sekeluarga ke luar kota dan bayar biaya kehidupan sehari-hari untuk sekian bulan ke depan?

Jawabannya: tentu saja tidak. Maka kamu terjebak di tengah-tengah karantina. Lalu bayangkan bila keluargamu hidup dari toko kelontong, menjadi pedagang di pasar, atau sebagai pemandu wisata. Ekonomi lesu, tak ada yang mau keluar rumah, dan jangan harap ada wisatawan mendarat. Mau dapat duit dari mana?

3. Berdesak-Desakan di Rumah

World Health Organization (WHO) sebenarnya sudah bikin panduan teknis yang lumayan komprehensif soal kondisi karantina yang layak. Ada beberapa poin kunci yang bisa kamu ambil: pertama, jarak ideal antar tempat tidur pasien minimum satu meter. Kedua, pasien harus dikarantina dalam ruang dengan ventilasi yang baik dan nyaman.

Tentu saja, yang mereka jabarkan adalah skenario terbaik. Iktikad WHO bakal pecah berkeping-keping kalau ketemu realita di lapangan. Bayangkan apa yang bakal terjadi bila virus COVID-19 menyebar secara senyap ke perkampungan padat. Satu rumah dengan yang lain tak ada jarak, sanitasi menjadi mimpi di siang bolong, dan satu bangunan bisa berisi lebih dari satu keluarga.

Menurut Fei Yan, profesor di Tsinghua University Beijing, perkampungan menengah ke bawah semacam ini paling rentan terhadap persebaran virus. “Jika ada virus yang merebak di keluarga miskin yang tinggal berdesak-desakan di rumah kecil, ujung-ujungnya bisa jadi bencana,” tuturnya. Belum lagi bila, seperti yang kita bahas barusan, keluarga yang terpapar itu terpaksa terus bekerja karena mereka butuh duit.

4. Diceramahi Soal Pola Hidup Sehat

Oke, faktanya begini: COVID-19 bakal lebih mematikan bila kamu sudah punya kondisi kesehatan yang buruk. Orang dengan penyakit pernapasan, lansia, dan orang dengan obesitas sejauh ini lebih berisiko meninggal akibat COVID-19. Lindungilah kami dari godaan influencer-influencer terkutuk, sebab urusan yang menghadang lebih rumit dari sekadar penerapan “pola hidup sehat”.

Seperti dijabarkan oleh Scientific American, kesehatan masyarakat yang buruk bukanlah hasil dari keputusan tolol sekian banyak individu, melainkan imbas dari ketimpangan ekonomi, kebijakan kesehatan yang buruk, serta akses terbatas terhadap makanan sehat. Faktor seperti kemiskinan, rancang-bangun kota, dan subsidi agrikultur berujung pada tak meratanya akses terhadap bahan makanan yang sehat.

Penelusuran dari Vox menjabarkannya dengan baik. Sayur mayur dan buah-buahan bergantung pada pekerja manusia ketimbang mesin, padahal produksi bermesin lebih efisien dan murah. Walhasil, harga jual produk pangan yang dibikin dengan mesin bakal lebih murah ketimbang bahan makanan segar. Lebih penting lagi, “Pemerintah tidak menyediakan subsidi untuk sayur-mayur, tetapi ia memberi subsidi untuk industri yang memproduksi gandum, kedelai, dan jagung–bahan dasar penting dalam junk food.”

Walhasil, kita dihadapkan pada dunia di mana tiga bungkus mie instan lebih murah ketimbang satu porsi mangga potong di tukang buah pinggir jalan. Nah, misalkan kamu pekerja kerah biru yang butuh energi fisik berlebih, atau punya keluarga dengan tiga anak yang harus dikasih makan dengan anggaran mencekik, mana yang bakal kamu beli? Nah!

5. Diketawain oleh Layanan Kesehatan

Balik lagi ke pengemudi ojek daring serta tukang kirim barang yang sudah kita bahas. Mereka kebanyakan bukan pekerja kontrak. Mereka pekerja informal dan musiman. Artinya, perlindungan terhadap mereka amat buruk. Banyak dari mereka tak terdaftar untuk ikut layanan jaminan kesehatan macam BPJS, sehingga penanganan medis untuk mereka amat rumit.

Apakah kamu bakal secara sukarela berangkat ke rumah sakit untuk periksa gejala COVID-19 kalau kamu nggak yakin kamu bakal mampu bayar biaya periksa?

Kalau pun kamu turut serta dalam layanan kesehatan, belum tentu layanan tersebut cukup kompeten untuk menyambutmu. Belakangan, respons dari sistem kesehatan di Amerika Serikat banyak menuai kritik. Kementerian Kesehatan AS dinilai lamban merespon persebaran virus COVID-19 dan dijegal oleh koordinasi antarlini yang buruk.

Lebih parah lagi, selama empat tahun kepemimpinannya, presiden Donald Trump berupaya secara konsisten untuk memangkas dana subsidi bagi layanan kesehatan guna menyeimbangkan ekonomi negaranya. Hasilnya adalah layanan kesehatan yang tak siap untuk menghadapi wabah dengan skala setara COVID-19. Deteksi dini lambat, sistem karantina kocar-kacir, dan 22 orang tewas dalam kurun waktu singkat di negara terkaya di dunia.

Kita bahkan belum berbicara tentang negara-negara yang sedang berkembang. Lambat laun, COVID-19 merambat ke benua Afrika, yang sudah kenyang diganyang wabah seperti Ebola atau AIDS. Seperti dijabarkan The Atlantic, epidemi ini dapat mengobrak-abrik layanan kesehatan di negara yang sedari awal sudah kewalahan menangani wabah penyakit lain. Sumber daya dan perlengkapan medis terbatas di negara-negara Afrika sudah habis buat menangani Ebola, tambah lagi penyakit anyar ini.

6. Rumahmu Dijadikan Tempat Karantina

Awal bulan lalu (1/2), ratusan warga pulau Natuna turun ke jalan. Musababnya, presiden Joko Widodo butuh tempat untuk mengarantina 238 orang WNI yang baru pulang dari Cina, dan ia memilih Natuna sebagai situs karantina. Kontan, keputusan yang dinilai sepihak ini menuai protes dari warga. Dengan enteng, presiden menanggapi unjuk rasa tersebut dengan bilang bahwa mau bagaimanapun juga, orang-orang yang baru pulang ini adalah saudara kita juga.

Pernyataan Joko Widodo tidak salah. Dan langkah pemerintah pun tepat–mau bagaimanapun juga, kita perlu ruang yang aman untuk mengaarantina orang yang diduga mengidap COVID-19. Permasalahannya, proses pemilihan Natuna sebagai situs karantina dinilai dilakukan secara sepihak dan tidak mempertimbangkan aspirasi warga lokal. Hal ini bertentangan dengan ketetapan WHO, yang mewajibkan adanya proses dialog dengan warga di sekitar tempat karantina.

Iya, ini urusan darurat, tapi begini, deh. Bayangkan kalau tiba-tiba, lapangan futsal gede yang tidak jauh dari tempat kerja kamu sudah dijadikan tempat karantina untuk virus yang sudah membunuh ribuan orang di seluruh dunia. Sementara kamu pekerja kasar yang status BPJS-nya mengambang, informasi tentang wabah tersebut tidak didistribusikan secara terbuka, dan kamu dicekoki berita-berita ngeri tentang COVID-19 dari media. Apakah kira-kira kamu tidak panik?

Sosialisasi yang baik patut dan mutlak dilakukan. Ada kawinan yang bikin tutup jalan di RW sebelah saat kamu balik dari kantor saja sudah cukup buat bikin dongkol, apalagi bila tiba-tiba ada tempat karantina.

7. Protes!

Sejauh ini, semestinya kamu paham bahwa ketahanan berbagai negara terhadap COVID-19 erat kaitannya dengan kebijakan pemerintahan. AS menggembosi jaminan kesehatan, sekarang warganya kewalahan menghadapi wabah. Negara-negara Afrika belum sepenuhnya beres menangani Ebola, sekarang sumber daya mereka yang cekak bakal disikat lagi oleh COVID-19. Sementara itu, kebijakan represif untuk menetapkan karantina di Italia dan Hong Kong berujung pada protes serta kerusuhan.

Kamu juga bisa melihat bagaimana berbagai kebijakan yang ada di hadapan mata dapat membuat masyarakat lebih rentan terhadap COVID-19 atau wabah serupa di masa depan. Ambil contoh Omnibus Law, yang baru-baru ini (9/3) menuai gelombang penolakan dalam aksi #GejayanMemanggilLagi di Yogyakarta. RUU tersebut dinilai bakal melonggarkan perlindungan terhadap tenaga kerja, dan memaksa begitu banyak orang bekerja dengan upah lebih sedikit untuk jam kerja lebih tinggi.

Kaitkan skenario itu dengan apa yang sedang terjadi saat ini juga di Cina, di mana petugas pengiriman barang tetap harus bekerja (dan terpapar risiko kena virus) gara-gara kondisi ekonomi mereka yang melarat. Atau, dua sopir ojek daring yang harus kucing-kucingan dengan sistem mitra yang bikin mereka rentan kehilangan pekerjaan.

Kalau hukum serupa Omnibus Law Cipta Kerja ditetapkan, orang-orang rentan seperti mereka bakal bertambah banyak. Sudah untung iuran BPJS tidak jadi naik, sehingga warga miskin tak kehilangan akses.

Wabah memang selalu memboyong kematian dan malapetaka. Namun, cara kita menanggapinya adalah produk dari kebijakan, keterbukaan pada publik, dan hadirnya pemerintah yang mau bertanggungjawab untuk kemaslahatan warganya. Dalam kondisi macam ini, wajar saja bila akal-akalan kalah telak oleh kebijakan buruk.

Share: Siasat Orang Miskin Menghadapi COVID-19