Selalu ada cara untuk menyemarakkan akhir pekan. Ambil contoh tindakan gemilang Komisioner KPAI, Sitti Hikmawatty. Menyongsong liburan (21/1), ia menyampaikan teori ajaib bahwa perempuan dapat hamil bila berenang satu kolam dengan laki-laki. Sebab, terdapat jenis sperma tertentu yang begitu kuat sehingga mampu menembus celana renang lelaki, berenang menuju perempuan, menembus celana renang perempuan, dan merayap menuju sel telur.
Kamu bukan satu-satunya orang yang terperangah melihat pernyataan tersebut, serta pernyataan ajaib pejabat publik lain yang belakangan membanjir. Tetapi Iqbal, bukan nama sebenarnya, mengambil langkah drastis. Ia menghimpun kutipan-kutipan ngawur serupa dan mengunggahnya ulang dalam sebuah akun parodi.
Maka lahirlah @txtdrpemerintah, sensasi teranyar Twitter. Hanya dalam kurun waktu empat hari, akun tersebut mendulang nyaris 17 ribu penggemar. Format akun dengan julukan @txtdari– menyadur kesuksesan akun serupa seperti @txtdaricowo dan @txtbocahindie, yang mengunggah tweet atau pesan pribadi netizen yang dianggap menyebalkan, berlebihan, atau sekadar konyol untuk ditertawakan bersama.
Selaras dengan tradisi tersebut, @txtdaripemerintah menempatkan pernyataan-pernyataan unik pejabat publik sebagai perkara yang memalukan dan layak ditertawakan. “Sejak mulai main Twitter, saya sering lihat headline berita yang konyol di media seperti Tribun, Detik, dan sejenisnya.” tutur Iqbal. “Saya kumpulkan dan bikin akun ini untuk menunjukkan ke semua orang, “Nih, ini lho pemimpin kalian!”
Misalkan kamu melawat ke laman tersebut, kamu akan menemukan harta karun berupa headline sensasional dan peristiwa absurd yang melibatkan politisi kita. Mulai dari usul Menteri Pertanian agar masyarakat beralih makan keong sawah ketika harga daging sapi mahal, kabar sidang gugatan banjir warga ke Anies Baswedan yang ditunda karena banjir, hingga favorit saya pribadi: hikayat seorang Kades di Tasikmalaya yang membakar kantornya sendiri sebab takut diaudit Dana Desa.
Bagi komedian Sakdiyah Ma’ruf, kemunculan akun parodi macam @txtdrpemerintah adalah kelanjutan tradisi parodi yang berlangsung sejak lama. Mulai dari acara satir seperti Sentilan Sentilun pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga kemunculan pasangan Capres-Cawapres fiktif Nurhadi-Aldo, komedi mencerminkan keresahan publik terhadap kondisi yang ada.
“Masyarakat saat ini butuh katarsis karena kita bingung,” ucap Sakdiyah.
Dalam konteks penyebaran virus COVID-19, misalnya, pemerintah memilih bungkam alih-alih bersikap terbuka kepada publik. Hal ini membuat publik menerka-terka dan hidup dalam ketidakpastian. “Lama kelamaan, otoritas tidak lagi jadi prioritas di mata masyarakat. Kita bingung dan ketakutan karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa, sehingga butuh pelepasan terhadap keresahan tersebut. Salah satunya ya dengan tertawa.”
Dalam berkomunikasi dengan publik, pejabat publik kerap merendahkan kecerdasan publik dan tidak memperlakukan masyarakat selayaknya manusia dewasa. Menurut Rivanlee Anandar, peneliti KontraS, gejala ini nampak lagi pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo. “Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat di era Jokowi, padahal Komnas HAM sudah mengeluarkan surat keputusan bahwa peristiwa Paniai Berdarah adalah pelanggaran HAM berat,” kritiknya.
Pemerintah, menurutnya, seolah tak mempercayai publik untuk mendedah informasi secara kritis. Ruang untuk berekspresi secara bebas dan menyampaikan pendapat perlahan dibatasi, entah melalui represi aparat maupun ancaman hukum. Walhasil, pola komunikasi yang top-down dan tak sehat perlahan terbangun.
“Pejabat kita seolah sedang mendelegitimasi publiknya sendiri, dan sekarang publik melawan narasi tersebut dengan mendelegitimasi mereka balik,” tutur Rivanlee. “Apapun mediumnya, itu upaya melawan dan menyindir kelakuan mereka.”
Dalam iklim yang mencekam, komedi menjadi ruang yang tajam sekaligus aman.
“Kita bisa berdalih bahwa toh semua ini cuma parodi dan lelucon,” ucap Rivanlee. “Kalau kebetulan mirip dengan kenyataan, itu sekadar bonus.” Sentimen senada diutarakan oleh Sakdiyah, yang berpendapat bahwa komedi “dapat menjadi ruang bermain untuk mendiskusikan berbagai ide dan persoalan dengan beragam corak dan cara.”
Bagi Iqbal, akun seperti @txtdrpemerintah berpotensi jadi ruang berekspresi yang tak terduga. “Setidaknya, netizen jadi menganggap pernyataan-pernyataan ini sebagai komedi, bukan sebagai sesuatu yang patut dimaklumi,” ucapnya. “Jadi, luapan ekspresi dan emosi mereka bisa tersampaikan.”
Hanya saja, melimpahnya kutipan konyol dan berita tak penting dari politisi kita semestinya jadi otokritik tegas terhadap media kita. “Masyarakat frustrasi karena memang ada yang menyuplai bahan frustrasi,” tutur Edbert Gani, peneliti politik dari CSIS. “Kebanyakan materi di @txtdaripemerintah berasal dari headline berita. Pertanyaannya, kenapa suplai berita yang kadang tidak masuk akal atau sekadar bikin kesal belakangan jadi semakin marak?”
Mau tidak mau, membanjirnya berita ajaib semacam itu memaksa kita memulai percakapan tak nyaman tentang kondisi jurnalisme lokal. Media daring maupun tradisional bersaing berebut perhatian publik, dan mayoritas media mengandalkan klik untuk menarik pengiklan dan mempertahankan bisnisnya. Bagi Gani, persaingan tersebut menimbulkan kualitas berita yang kian menurun sebab kantor berita lebih getol mengejar kuantitas.
“Permasalahan utama dalam demokrasi dan kebijakan publik adalah tidak meratanya akses informasi,” jelas Gani. Ketika media yang membahas persoalan kebijakan secara mendalam sulit diakses sebab berbayar, publik akan berbondong-bondong menghidupi media “gratisan” yang mengejar klik. Walhasil, percakapan tentang politik akan kian dangkal dan minim substansi.
“Kualitas diskusi publik kita masih mentok sebatas noise,” kritik Gani. “Jangankan ngomongin kebijakan dan solusi, kita berbicara pada pangkal masalahnya saja tidak.” Ia pun memperingatkan bahwa kondisi simpang siur ini justru dapat dimanfaatkan oleh politisi yang licik. “Berita seperti itu sebenarnya menguntungkan karena perhatian publik bukan pada substansi kebijakannya, melainkan pada ucapan pejabat yang viral. Padahal, mungkin itu hanya sepenggal dari keseluruhan wawancara atau argumen pemerintah.”
Menariknya, Iqbal, pencetus @txtdrpemerintah, adalah buruh media. Dalam kesehariannya, ia bekerja untuk salah satu stasiun televisi swasta. Ia pun mengakui bahwa berita-berita ganjil yang ia kumpulkan adalah gejala penyakit lebih besar dalam industri media.
“Media kadang menaruh headline berita yang tidak sesuai dengan konteks dan isi beritanya,” ujar Iqbal. “Misalnya, justru kelakar atau bercandaan si politisi yang dijadikan judul, padahal inti beritanya bukan itu. Menurut saya, mengerti konteks itu penting.”
Namun, Iqbal bersikeras bahwa pejabat tetap mesti bertanggungjawab atas pernyataan ngawur yang mereka utarakan. “Terlepas dari semua itu, intinya memang pejabatnya saja yang asal bicara. Mereka bicara tanpa memikirkan konsekuensi dari pernyataannya.”
Lantas, apakah semua ini bermula dari komunikasi politik buruk? Seperti dikutip Tirto.id, itulah yang diduga oleh Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno. Baginya, sebagian pejabat tinggi yang dilantik Jokowi, seperti Wiranto dan Moeldoko, mempunyai komunikasi politik yang buruk. “Banyak mantan militer atau tentara ketika terjun […] gagal bertransformasi sebagai sipil. Jadi statement-statement-nya agak kaku.” ucapnya.
Namun bagi Rivanlee, urusannya tidak sesederhana itu. “Presiden kita pernah bilang bahwa tidak ada visi Menteri, tetapi visi Jokowi. Sementara kebanyakan yang blunder adalah Menteri-Menteri kita. Kalau kita kembali ke premis awal, berarti itu cukup mewakili kualitas pemimpin kita.”
Lebih jauh lagi, baginya negara tidak semestinya menutup-nutupi blundernya dengan komunikasi politik yang baik.
“Semestinya mereka bicara apa adanya,” tutur Rivanlee. Ia mencontohkan proses penyusunan UU seperti Omnibus Law yang dikritik sebab dilaksanakan secara tidak transparan. “Asasnya sudah jelas dan bisa diketahui semua orang. Kita bisa cari tahu sendiri bahwa prosesnya harus terbuka, harus partisipatif. Kalau ada prasyarat tersebut yang tidak dipenuhi negara, mereka tidak perlu berdalih karena publik bakal menemukan jawabannya sendiri.”
Mau tidak mau, Rivanlee merasa negara harus mengakui bahwa “ada iklim yang kurang sehat” yang terbangun antara pejabatnya dengan masyarakat. “Ketika pejabat publik mengeluarkan pernyataan dan mengira publik akan menurut seutuhnya, sebenarnya publik melawan balik dengan lelucon.” Ucapnya. “Publik akan terus mencari ruang baru yang kira-kira terbuka untuk melegitimasi pikirannya.”
Akun parodi macam @txtdrpemerintah hanyalah satu dari sekian banyak medium untuk menyampaikan amarah tersebut. “Sependek pengetahuan saya, komedi belum pernah bisa menjatuhkan rezim,” ujar Sakdiyah. “Tapi, komedi sangat bisa memberikan pendidikan politik alternatif dan menggerakkan rakyat.”
“Humor terbaik muncul pada masa krisis,” lanjutnya. “Ada kebutuhan untuk mengekspos kemunafikan dan membongkar kedok kekuasaan.”
Bagi Gani, fenomena ini mencerminkan pergeseran yang tengah terjadi dalam diskursus politik lokal. “Preferensi politik masyarakat mungkin berubah seiring dengan perubahan budaya media,” ucap Gani. “Apatisme, misalnya, tidak bisa lagi dipandang secara parsial. Hanya karena anak muda tidak nyoblos dalam Pilgub, bukan berarti dia apatis.”
Wacana tentang politik mulai merambah wacana politik keseharian. Anak muda mungkin memandang @txtdrpemerintah dan akun parodi serupa sebagai lelucon belaka, tetapi anak muda mulai menemukan cara-cara lain untuk berpartisipasi dalam politik. “Kalau anak muda itu apatis, nggak akan ada aksi seperti September 2019 kemarin.” ujar Gani. “Tapi, ketika ada isu yang menggelitik kepentingan pribadi dia, dia akan gerak. Dan itu kesadaran politik. Ketika orang ramai-ramai memprotes pembatasan Netflix, itu kesadaran politik. Tapi, apakah berarti dia bakal peduli pada isu-isu lain? Belum tentu juga.”
Di masa depan, suara mereka akan bertambah penting.
“Gara-gara isunya viral di media sosial, saya rasa kita selalu melebih-lebihkan naiknya konservatisme,” ujar Gani. “Sebenarnya, elit politik kita agak kagok ketika aksi September lalu muncul. Mereka baru sadar bahwa ternyata selama ini ada banyak anak muda dan kelas menengah yang mau turun ke jalan, memobilisasi, dan berkonsolidasi.”
Kemunculan angkatan baru ini boleh jadi bakal menentukan wajah politik Indonesia ke depannya. “Suara kebanyakan partai politik tidak berkembang dari 2014 ke 2019,” ucap Gani. “Pemenang Pemilu segitu-segitu saja suaranya, 19 persen. Artinya tidak ada ekspansi suara dari partai-partai besar maupun Islamis. Ada stagnasi.”
Ke depannya, anak muda yang tempo hari turun ke jalan akan bertambah dewasa, meningkat daya belinya, dan mulai jadi kekuatan besar dalam politik.
“Ketika ruang itu semakin dibuka, celah yang tadinya lowong akan diisi oleh ekspresi publik,” ucap Rivanlee. “Negara tidak bisa menyerang publik karena menjadikan kelakuannya lelucon. Mungkin pejabat kurang memahami pekerjaan, peran, dan statusnya. Ketika hal itu sampai ke publik, wajar bila kami merespon. Perlawanan akan dilakukan dengan cara serta medium apapun juga.”
Termasuk dengan bikin akun meme dan parodi.