Isu Terkini

Kok Bisa Orang Masturbasi di Tempat Umum?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Laki-laki bernama Brusly Wongkar (40 tahun) ditangkap oleh polisi. Ia dilaporkan melakukan masturbasi di depan anak perempuan berusia 10 tahun di salah satu perumahan di Cikarang Timur, Bekasi. Brusly dijerat dengan Pasal 36 Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ia terancam hukuman 10 tahun penjara atau denda sebesar 5 juta rupiah.

Menurut Kapolres Metro Bekasi Kombes Hendra Gunawan, ini bukan pertama kalinya si pelaku bermasturbasi di ruang publik. “Pengakuannya sudah nggak bisa dihitung, ratusan kali,” kata Hendra.

Perilaku masturbasi atau ekshibisionisme (mempertontonkan alat kelamin) di ruang publik tak jarang terjadi di Indonesia. Pada 2019, Koalisi Ruang Publik Aman melakukan survei terhadap lebih dari 60.000 responden di seluruh Indonesia. Hasilnya, 964 orang melaporkan pernah dilecehkan secara seksual dengan cara dipertontonkan masturbasi di ruang publik.

Sementara itu, 1.445 orang mengatakan pernah didekati dengan agresif dan terus-menerus, 1.826 orang pernah diraba atau dicengkram, 1.411 orang pernah digesek dengan alat kelamin, dan 35 orang pernah diperlihatkan alat kelamin.

Menurut hasil studi “Encountering an Exhibitionist: The Female Victim’s Perspective” (2019), lebih dari 60% korban mengalami kejadian di tempat umum: taman, kolam, jalan raya, jembatan, dan lain-lain. Hampir semua korban merasa terkejut, jijik, takut, dan marah setelah kejadian tersebut. Mereka pun dikatakan mengalami trauma jangka pendek dan jangka panjang yang serupa dengan korban-korban kasus kekerasan seksual bentuk lain.

Walaupun korban dapat meminta bantuan ke orang-orang sekitar atau melaporkannya ke pihak berwajib, tetapi tak banyak yang memilih melakukannya. Lebih dari 50% korban tidak mencoba meminta tolong ke orang lain. Hanya 7% pula korban yang melaporkan kasus ini ke pihak berwajib.

Tak hanya di tempat umum, seseorang pun bisa memaksa orang menontonnya bermasturbasi di ruang-ruang tertutup. Komedian Louis C.K., misalnya, dilaporkan oleh lima perempuan karena telah bermasturbasi di depan mereka tanpa consent. Dua korban diajak pergi ke kamar hotelnya, di mana Louis C.K. langsung membuka baju dan masturbasi di depannya. Ada pula korban yang mendengar Louis C.K. sedang masturbasi ketika keduanya sedang berbicara lewat telepon.

Harvey Weinstein, produser Hollywood yang dilaporkan oleh lebih dari 80 perempuan atas tuduhan kekerasan seksual, juga diketahui kerap bermasturbasi di depan perempuan tanpa persetujuan mereka. Seorang korban mengatakan dirinya dijebak di sebuah lorong dan dipaksa melihatnya sedang masturbasi. Ada pula korban yang mengatakan dirinya sedang tidur ketika Weinstein berdiri di depan dirinya dan menyentuh dirinya sendiri.

Kuasa, Gangguan Jiwa, Tak Tahu Batas?

Entah di ruang publik atau pun privat, dilakukan secara acak atau ke orang-orang tertentu, ada saja manusia-manusia tertinggal (umumnya laki-laki) yang bermasturbasi atau mempertontonkan alat kelaminnya tanpa seizin orang yang melihat. Perilaku ini diklasifikasikan sebagai ekshibisionisme—di mana seseorang mendapatkan gairah seksual ketika mengekspos alat kelaminnya ke orang lain tanpa consent. Perilaku ini juga dapat diklasifikasikan sebagai sebuah gangguan jiwa atau exhibitionistic disorder.

Menurut Psychology Today, diperkirakan 2-4% laki-laki mengalami gangguan ekshibisionis. Sementara itu, perempuan lebih jarang mengalaminya, dan estimasi persentasenya belum diketahui.

Pelaku ekshibionis dikatakan menikmati reaksi terkejut, malu, dan tidak nyaman dari orang-orang yang melihat aksi mereka. Menurut psikolog Darrel Turner, ada dua macam kepuasan yang didapatkan oleh para ekshibionis. “Reaksi orang yang ia ekspos, dan aksi mengeskpos itu sendiri ke seseorang yang tidak siap,” kata Turner, dilansir mic.com.

Ada elemen kontrol dan kuasa dalam keinginan mengagetkan orang lain tersebut. Turnel mencontohkan kasus kekerasan seksual di penjara, di mana tahanan laki-laki kerap membuka baju dan memperlihatkan alat kelaminnya ke penjaga perempuan. “Ada faktor kontrol di sana. Ada perasaan berkuasa, sebab kamu tahu kamu sedang menjadikan orang lain sebagai korban (victimizing). Walaupun kamu tidak menyentuh mereka, kamu memperdaya orang-orang,” katanya.

Namun, dinamika kuasanya bisa berbeda. Kuasa yang dimiliki orang-orang tenar dan berpengaruh seperti Louis C.K. dan Harvey Weinstein tak selalu bisa disamakan dengan orang yang pergi ke tempat umum untuk memperlihatkan alat kelaminnya ke siapa saja. Louis C.K. paham bahwa perasaan kagum orang-orang pada dirinya membuatnya mudah untuk meminta seseorang melakukan sesuatu—bahkan ketika orang tersebut terpaksa melakukannya.

Dalam surat pernyataannya, Louis C.K. mengaku bahwa walaupun ia tak pernah memperlihatkan penisnya kepada seseorang tanpa seizin mereka, ia paham ada ketimpangan kuasa yang membuat korban tidak kuasa menolak.

“Aku belajar bahwa jika kamu memegang kuasa atas seseorang, meminta mereka untuk melihat penismu bukanlah sebuah pertanyaan, tetapi pemaksaan. Aku punya kuasa atas perempuan-perempuan yang mengagumiku. Dan aku menyesal telah memanfaatkan kekuasaan itu secara tidak bertanggung jawab,” kata Louis C.K.

Menurut seorang psikiater asal San Fransisco, Quandra Chaffers, perilaku masturbasi di depan orang lain tanpa persetujuan merupakan ekspresi kekerasan—bukan aktivitas seksual. “Hanya karena aktivitasnya melibatkan alat kelamin, bukan berarti itu aktivitas seksual. Masturbasi dijadikan senjata—sebagaimana senapan. Ini adalah kekerasan,” katanya, dikutip oleh Huffpost.com.

“Ketika seseorang menyerangmu dengan penggorengan, kamu tidak akan bilang dia sedang memasak,” jelasnya lagi.

Sementara itu, menurut psikolog Dayle Kramer, perilaku masturbasi di depan orang lain tanpa consent tak selalu berarti orang tersebut mengalami gangguan ekshibisionis. “Kenapa mereka mempertontonkan diri mereka? Apa keuntungannya? Apa yang ingin mereka lakukan? Kamu tetap harus berbicara langsung dengan orang tersebut untuk mengetahui,” kata Kramer.

Selain dinamika kuasa dan keinginan untuk mengontrol, pemahaman yang sempit tentang consent dan kekerasan juga dapat membuat seseorang melakukan kekerasan seksual tanpa mereka sadari. Consent dimaknai sekadar sebagai berkata iya—tak peduli apakah orang tersebut dalam keadaan mabuk, tidak dalam keadaan cukup sadar untuk mengatakan iya, atau mengatakan iya setelah sebelumnya dipaksa atau dimanipulasi.

Kekerasan seksual juga kerap dianggap hanya meliputi penetrasi vagina. Padahal, perbuatan-perbuatan seksual apa pun yang dilakukan tanpa consent adalah bentuk kekerasan seksual—seperti pemaksaan seks oral, menyebarkan gambar intim tanpa seizin subjek gambar, hingga masturbasi di ruang publik.

“Laki-laki hanya dididik untuk berpikir, ‘aku tidak menahan atau menyerang dia [si korban], kok.’ Pengetahuan kita tentang kekerasan sangatlah sempit,” kata Chaffers.

Selain dinamika kuasa, kontrol, dan pemahaman yang sempit, trauma masa kecil juga dapat berpengaruh. Seseorang bisa pernah menjadi korban bully atau jadi korban kekerasan rumah tangga, kemudian rasa trauma dan amarahnya hendak dilampiaskan ke orang lain.

Namun, menurut Chaffers, hal ini bukan faktor utama seseorang melakukan kekerasan seksual. “Jika aku dapat mengidentifikasi satu alasan seseorang melakukan kekerasan seksual, itu adalah ketiadaan empati. Bukan riwayat trauma, bukan terlalu asyik masturbasi, tetapi tak adanya empati,” ia menekankan.

Share: Kok Bisa Orang Masturbasi di Tempat Umum?