Selepas orang-orang menikmati meriahnya pesta kembang api pergantian tahun baru di sejumlah wilayah Jakarta, hujan lebat ternyata mengintai. Lewat tengah malam, debit air tinggi pun mengguyur ibu kota hingga sepanjang hari di awal tahun 2020. Bangun tidur, banjir sudah tak bisa ditolak.
Berdasarkan laporan laman Twitter resmi Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya, pada Rabu (01/01/20) pagi, sejumlah kawasan di Jakarta dan Bekasi tergenang banjir. Dari Pesanggrahan, Kemang, Kalibata, JI Rasuna Said, Gunung Sahari, Johar Baru, Jl Daan Mogot, Cengkareng, Kelapa Gading sampai Pondok Gede.
Banjir sudah jadi penyakit menahun Jakarta. Meski sederet gubernur berganti, berbagai solusi jitu dicari, ibu kota tetap saja tergenang. Bahkan tak hanya sekarang saja, jauh sebelumnya, banjir di Jakarta sudah membuat pusing pemerintah kolonial Belanda.
Banjir yang kerap melanda Jakarta memang disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya saja adanya penurunan tanah yang rata-rata mencapai 10 cm atau bahkan lebih pertahun. Penurunan tanah ini terjadi akibat penyedotan air tanah yang masif untuk kepentingan rumah tangga dan industri.
Selain itu, hilangnya hutan bakau di pesisir Jakarta, di wilayah yang sekarang lebih banyak berdiri perumahan mewah seperti Pantai Indah Kapuk. Lalu, kondisi 13 sungai yang melintasi Jakarta yang sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan—misalnya mengalami pendangkalan dan penyempitan—juga menambah suram banjir Jakarta.
Belum lagi berkurang atau bahkan hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air lantaran disulap menjadi perumahan mewah, gedung perkantoran, dan pusat-pusat perbelanjaan. Kondisi ini semakin memperparah lantaran daerah resapan air dan ruang terbuka hijau justru berubah jadi hutan beton.
Banjir Jakarta bahkan sudah terjadi pada zaman kerajaan Tarumanegara dan tercatat dalam Prasasti Tugu di Jakarta Utara, yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta. Prasasti itu menjelaskan mengenai penggalian Kali Chandrabagha (sekarang Kali Bekasi) dan Kali Gomati (sekarang Kali Mati Tangerang) sepanjang 12 km.
Ide penggalian sungai itu bertujuan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman. Ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan pemukiman disusun berdasarkan prinsip keseimbangan ekologi.
Memasuki masa kolonial Belanda, banjir tetap saja masih menjadi masalah utama di Jakarta. Dikutip dari Harian Kompas dalam artikel ”Warisan Batavia untuk Jakarta”, 11 November 2007, dua tahun setelah Batavia dibangun bersama dengan sistem kanalnya, tahun 1621 adalah catatan pertama dalam sejarah Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda banjir besar.
Lalu, selain banjir-banjir kecil yang nyaris setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota—tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918 (ketika wilayah Jakarta sudah semakin melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sari, dan Kampung Tambora—banjir besar kembali datang menerjang Jakarta.
Tercatat, banjir yang paling besar dalam sejarah banjir di pusat pemerintahan Hindia Belanda ini terjadi pada Februari 1918. Kala itu, Koran Sin Po edisi 19 Februari 1918 mencatat, hampir seluruh wilayah Jakarta digenangi air, bahkan ketinggian air sempat mencapai setinggi dada manusia.
Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkian, Kali Besar Oost, rata-rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa. Begitu pun di Angke, Pekojan, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulir di samping Kali Gunung Sari, serta Pejambon, air juga merendam rumah-rumah penduduk “boemipoetera”.
Daerah Pasar Baru, Gereja Katedral, dan daerah sebelah barat Molenvliet (sekitar Monas sekarang) dijadikan tempat pengungsian. Tahun-tahun setelah itu, bahkan setelah pemerintah Hindia Belanda selesai membangun saluran air yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat, hampir setiap tahun Jakarta tetap saja kebanjiran.
Berubahnya Jakarta jadi daerah urban yang tertutup beton bangunan tinggi, aspal, sampai menyempitnya lahan yang tersisa untuk daerah resapan dan ruang terbuka hijau, membuat aliran air menumpuk. Lalu, mau dialirkan ke mana?
Sejarawan JJ Rizal, dalam artikel Asumsi.co berjudul “Jakarta Masih Nyaman dengan Warisan Penjajahan” menyebutkan bahwa Jakarta memang tak sadar kalau infrastruktur warisan pemerintah kolonial yang sampai hari ini masih digunakan, sama sekali tak mengubah keadaan. Pembangunan kanal banjir pada masa lampau tak menyelesaikan masalah, justru merusak ekologi kota Batavia.
Jakarta yang kala itu masih bernama Batavia memiliki sebuah sistem kanal segi empat, menyerupai tata letak Amsterdam di Belanda. Sayangnya, sistem ini tak bekerja dengan baik, malah menimbulkan persoalan baru. Kapasitasnya terbatas sehingga sistem kanal ini justru gagal mengendalikan banjir, ditambah lagi kondisi kanal yang tak higienis menimbulkan berbagai sumber penyakit.
“Aturan yang dibuat pemerintah kolonial dulu masih ada yang bertahan sampai hari ini. Aturan dan sistem apa yang masih ada hari ini di Jakarta? Misal, upaya penyelesaian masalah banjir itu sudah ada di era pemerintah kolonial Hindia Belanda,” kata JJ Rizal saat berbincang dengan Asumsi.co, Sabtu (22/06/19) lalu.
JJ Rizal menyebut warisan pemerintah kolonial yang masih ada dan dipakai sampai hari ini di ibu kota adalah infrastruktur seperti kanal banjir. Sayangnya, kanal banjir tak mengurangi banjir lantaran air tak mengalir lancar. Yang ada kanal justru tak kuat menampung air, sehingga kerap meluap saat musim hujan.
Upaya mengatasi banjir pada zaman kolonial Belanda memang dilakukan melalui sistem penanganan banjir Jakarta. Namun, sistem ini tak sepenuhnya bekerja dan sama sekali tak bisa mencegah banjir di ibu kota. Sistem pencegahan banjir Jakarta sendiri terdiri atas beberapa proyek, di antaranya adalah pembangunan Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur.
Kanal Banjir Jakarta adalah kanal yang dibuat agar aliran Sungai Ciliwung melintas di luar Jakarta, tidak di tengah kota. Kanal banjir ini merupakan gagasan ahli tata air Prof. Herman van Breen dari Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW, cikal bakal Departemen Pekerjaan Umum, yang dirilis pada tahun 1920.
Inti dari konsep ini adalah pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta, termasuk juga disarankan adalah penimbunan daerah-daerah rendah. Intinya infrastruktur itu dibangun untuk melindungi kawasan kota dari banjir saat itu.
Kemudian, rentang 1919-1920, gagasan pembuatan kanal banjir dari Manggarai di kawasan selatan Batavia sampai ke Muara Angke di pantai utara pun dilaksanakan. Karya Van Breen itu hingga kini pun masih tetap dijadikan tumpuan harapan dalam penanganan banjir di Jakarta, meski tak sesuai harapan.
Lalu, sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet. Dilanjutkan tahun 1922, dengan bagian hulu berawal dari daerah Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah pemakaman Karet. Selanjutnya, ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di Muara Angke.
Nyatanya kehadiran fasilitas pengendali banjir tersebut memang tidak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir. Kalau hanya mengandalkan Banjir Kanal Barat dan pintu air Manggarai, yang terjadi hanyalah pengalihan wilayah banjir.
Jika sebelumnya banjir melanda kawasan Weltevreden dan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tersebut, air lalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sehingga banjir pun berpindah ke daerah Manggarai dan Jatinegara.
Banjir pun terus terjadi di Batavia. Tahun 1923, Bintang Hindia (De Maleisce Revue) edisi 17 Februari, Th II, No 7, menggambarkan suasana banjir di Betawi pada musim hujan. Lalu, pada tahun 1932, suasana banjir direkam oleh Pandji Poestaka edisi Januari, lewat dua laporan mereka bertajuk “Moesim Bandjir” serta “Moesim Hudjan dan Bandjir”.
Jakarta kini sudah kian serakah dan menyempit, dan hanya sedikit menyisakan ruang-ruang terbuka hijau dan daerah resapan. JJ Rizal pun menegaskan semestinya pemerintah Jakarta saat ini sudah tak menggunakan cara-cara usang era kolonial lagi dalam mengurus ibu kota.
“Kita sampai sekarang masih menggunakan pemikiran bahwa penyelesaian banjir Jakarta itu bisa diselesaikan dengan infrastruktur, dengan pemikiran dunia kolonial. Padahal, pemikiran kolonial sekarang sudah berubah, lah kita jalan di tempat. Jakarta kebanjiran lagi kan,” ujarnya.
Sejak tahun 1920-an, memang sudah banyak perubahan yang terjadi di Jakarta. Kondisi alam Jakarta berubah drastis disebabkan pertumbuhan penduduk dan perluasan kawasan permukiman serta industri.
Jika sebelumnya curah hujan yang turun bisa meresap ke dalam tanah dan sisanya tersalurkan ke sungai, pembangunan fisik yang terjadi malah menutupi daerah-daerah resapan air. Lantaran luas daerah yang tidak terbangun semakin lama semakin menyempit dan terbatas, curah hujan yang datang hari ini pun langsung tersalurkan ke sungai dan saluran-saluran air sampai akhirnya meluap.
Sekadar informasi, saat ini di sejumlah titik banjir memang mulai surut, namun potensi hujan deras diprediksi akan terus terjadi hingga 7 Januari 2020 mendatang. Untuk itu, warga DKI Jakarta diharapkan tetap waspada dengan banjir susulan.
Agar bisa siaga, warga juga bisa memantau ketinggian muka air melalui CCTV pada wilayah yang dilalui aliran sungai. “Teman-teman, mari antisipasi banjir bersama. Pantau kondisi wilayah-wilayah yang dilalui aliran sungai di Jakarta, melalui CCTV smart city. CCTV ini didasarkan pada wilayah yang dilalui aliran air kiriman dari hulu,” tulis akun resmi Instagram @dkijakarta.
Berikut sejumlah CCTV online di berbagai wilayah Jakarta yang bisa langsung diakses melalui link berikut:
1.Srengseng Sawah: bit.ly/srengsengsawah18
2. Rawajati: bit.ly/rawajati
3. Pengadegan: bit.ly/pengadegan
4. Cawang: bit.ly/cawang7
5. Bidara Cina: bit.ly/bidaracina
6. Kampung Melayu: bit.ly/kampungmelayu11
7. Manggarai: bit.ly/pintuairmanggarai
8. Kebon Baru: bit.ly/kebonbaru
9. Bukit Duri: bit.ly/bukitduri10
10. Ciliwung – Pasar Baru: bit.ly/cililitan