Isu Terkini

Heterofobia! Memangnya Ada?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Are straight people okay?” jadi pertanyaan populer akhir-akhir ini. Ungkapan ini merespons perilaku orang-orang heteroseksual yang dinilai konyol atau mengkhawatirkan oleh para queer, mulai dari buku panduan dos and don’ts untuk suami dan istri yang seksis, romantisasi hubungan abusif laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

Pada satu sisi, ekspresi ini dapat dianggap sekadar sebagai candaan. Namun, di tengah masyarakat yang patriarkis dan heteronomatif, ia juga mengungkap realitas hubungan laki-laki dan perempuan yang kerap timpang dan berujung merugikan perempuan.

Selain “are straight people okay?”, laki-laki juga kerap jadi sasaran cemooh. “Why are men?” hingga “men are trash” jadi ungkapan untuk mengomentari perilaku laki-laki yang melakukan mainsplaining, gaslighting, merendahkan perempuan, hingga kekerasan. Hal ini kerap ditanggapi dengan pernyataan “nggak semua laki-laki,” dan protes-protes lain dari laki-laki yang menolak digeneralisir.

Namun, candaan ini mendapatkan respons keras ketika Lini Zurlia, seorang aktivis queer, menggeneralisasi hubungan asmara laki-laki dan perempuan sebagai hubungan yang posesif dan controlling. Heterosexual relationship ribet amat yak! Hape aing ga pernah diintai pacar aing, pun sebaliknya. Ada yg namanya: respect each other privacy!” kata Lini di Twitter, mengomentari twit seseorang tentang tutorial mengamankan ponsel dari intaian kekasih mereka.

Respons-respons seperti “tidak semua pasangan heteroseksual posesif”, “perilaku ini tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual”, komentar yang menyerang pribadi, hingga membandingkan dengan kasus-kasus pembunuhan oleh pasangan gay yang cemburu bertebaran di kolom jawaban.

“Saya lihat kamu nggak ada bedanya sama homophobe, mungkin bisa disebut heterophobe. Yang namanya kebencian sama aja nggak baiknya ke siapa pun,” kata seseorang.

Namun, benarkah lawa homofobia ialah heterofobia? Apakah heterofobia ada?

Istilah heterofobia pertama kali muncul pada tahun 80-an. Istilah ini ada untuk mendeskripsikan rasa takut, paranoid, dan tidak percaya orang-orang queer kepada masyarakat yang meminggirkan mereka. Namun, perkara ini tidak dapat disetarakan dengan homofobia—yang lekat dengan prasangka negatif, kebencian, sikap intoleran, dan kerap memantik kekerasan terhadap queer.

Talissa Febra, seorang penulis queer, menyatakan bahwa ketimpangan kuasa antara orang-orang heteroseksual dengan LGBTQ membuat homofobia tidak bisa disetarakan dengan heterofobia. “Kalau cishets (orang cis-gender dan heteroseksual) dihina-hina emang jadi tiba-tiba nggak boleh menikah? Nggak boleh mendaftar PNS? Dirukiyah sama keluarga? Di-bully teman-teman sekolah dan kerja? Kan nggak,” kata Tassa.

“Bukannya menihilkan tantangan-tantangan hidup cishets, tapi kesulitan mereka dalam hidup tidak disebabkan oleh orientasi seksual mereka. Ada bedanya antara perasaan yang tersakiti dengan kekerasan struktural,” lanjutnya.

Karena identitas mereka, orang-orang dengan orientasi seksual minoritas kerap dipinggirkan oleh masyarakat dan negara. Homofobia dan transfobia membuat orang-orang ini rentan didiskriminasi, kehilangan pekerjaan, dilarang menikah, mengalami kekerasan, hingga kehilangan nyawa.

Kejaksaan Agung melarang orang-orang LGBTQ untuk melamar jadi CPNS. Bahkan, terdapat tim medis dan psikolog yang bertugas mendeteksi orientasi seksual dan gender seseorang. Pemberitaan-pemberitaan negatif tentang LGBTQ di media juga membuat mereka semakin diliputi stigma.

“Kita hidup di masyarakat yang patriarkis dan heteronomatif. Jika ada kelompok berprivilese, maka ada kelompok lain yang ditundukkan. Sebab, penindasan butuh hierarki struktural. Kata-kata saja tidak akan mengubah status quo itu. Aku, misalnya, adalah seorang perempuan cis queer. Hinaan tidak akan merenggut privileseku sebagai seorang cis,” jelas Talissa.

“Menyadari hal ini tidaklah mudah. Bukannya kita orang jahat, tetapi kita menyadari bahwa kita secara tidak adil diuntungkan dari sistem yang menindas orang lain. Yang jahat adalah menolak untuk menyadari ini dan memilih untuk melanggengkan status quo itu,” lanjutnya.

Selain di Indonesia, perlawanan-perlawanan kaum minoritas terhadap diskriminasi juga di-counter dengan gerakan-gerakan populis. “Black Lives Matter” yang memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam dilawan dengan “All Lives Matter” yang menyamaratakan pengalaman yang dialami orang-orang kulit putih dan non-kulit putih. Gerakan ini dianggap merefleksikan penyangkalan dan pengabaikan terhadap rasisme yang dialami ras-ras minoritas, terutama orang kulit hitam, selama berabad-abad.

Ada pula parade “Straight Pride” yang diselenggarakan untuk menandingi “Gay Pride”. Parade yang terakhir kali diselenggarakan pada Juni 2019 di Boston ini punya misi untuk memperjuangkan hak-hak kelompok heteroseksual yang menurut mereka paling sering ditindas. “Mungkin, suatu hari, para heteroseksual akan turut dilibatkan dalam gerakan LGBTQ, dan akronimnya jadi LGBTQS (lesbian, gay, bisexual, transgender, queer, dan straight),” kata salah satu penyelenggara kepada Vox.

Salah satu penyelenggara parade straight ini, Mark Sahady, adalah bagian dari kelompok white supremacist. Ia juga adalah anggota dari kelompok “Proud Boys” yang dikabarkan bertanggung jawab telah mengeroyok seorang laki-laki dan menjulukinya “faggot”.

Parade ini mengerdilkan makna “Gay Parade” menjadi sekadar pesta. Monica Helms, pembuat bendera “trans pride”, mengatakan bahwa orang-orang queer dan transgender masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi hingga kini. Pergi ke “Gay Parade” adalah salah satu bentuk self-love dan upaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka. “Ke mana pun kita pergi, apa pun yang kita lakukan, kita akan selalu berada dalam bahaya hanya karena identitas kita. Kita harus memperjuangkan hidup kita. Orang-orang straight tak perlu melakukan itu,” kata Monica.

Ledekan-ledekan yang menyasar orang-orang yang diuntungkan oleh sistem bukanlah alasan untuk balik mendiskriminasi, atau menganggapnya sebagai bentuk “heterofobia”. “Heterofobia”, sebagaimana “not all men” dan “all lives matter” adalah ungkapan yang berakhir menempatkan patriarki, homofobia, dan rasisme sebagai kesalahan individu—alih-alih menyadarinya sebagai permasalahan struktural.

Ledekan-ledekan “are straight people okay?” bukanlah untuk ditanggapi secara defensif. Tetapi seharusnya jadi sarana bagi kita untuk berefleksi, mengecek privilese, dan mendengarkan lebih banyak pengalaman-pengalaman orang yang dipinggirkan sistem.

Share: Heterofobia! Memangnya Ada?