Isu Terkini

Pakaian Renang Muslim Nike untuk Siapa?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Nike baru saja merilis Victory Swim, yaitu koleksi pakaian renang serbatertutup (full coverage). Menurut Nike, pilihan pakaian renang untuk perempuan berhijab selama ini sangat terbatas. Pakaian renang seringkali tidak menutupi seluruh tubuh, mudah menjadi berat karena terlalu banyak menyerap air, dan biasanya penutup rambut gampang bergeser. Maka, perusahaan raksasa itu menawarkan jalan keluar: dengan Victory Swim, perempuan berhijab kini dapat berenang secara nyaman dan percaya diri.

Martha Moore, pemimpin proyek desain pakaian renang ini, mengobservasi dan mewawancarai perempuan muslim di berbagai negara sebelum memulai perancangan. Ia melihat banyak perempuan muslim yang memilih untuk tidak masuk ke kolam renang dan berakhir hanya menonton dari tepi. “Bagi desainer, itu pertanda ada masalah yang membutuhkan solusi,” kata Martha kepada Bustle.

Moore menemukan bahwa banyak perempuan muslim yang berhenti berenang setelah mereka menggunakan hijab. Mereka butuh pakaian renang yang anti air, tak mempersulit pergerakan dalam air, dan penutup kepala yang yang pas. Dan yang tak kalah penting, pakaian renang untuk perempuan berhijab mesti tetap ringan walaupun menutupi seluruh tubuh dan longgar–untuk menyembunyikan lekuk.

Produk-produk Victory Swim tampak sederhana, tanpa motif dan berwarna gelap. Menurut orang-orang yang telah mencobanya, pakaian-pakaian renang ini terasa lebih ringan dari burkini pada umumnya. Atlet dan model muslim internasional juga memuji upaya Nike menciptakan produk khusus kelompok yang masih kerap dipinggirkan di negara-negara Barat ini.

“Menurutku, datang dari sebuah brand multinasional, ini adalah statement besar untuk merayakan keberagaman dan inklusivitas. Langkah ini akan membuat lebih banyak atlet Muslim pengguna hijab muncul. Bahwa olahraga itu untuk semua orang, terlepas apakah kamu pakai hijab atau tidak,” kata Manal Rostom, atlet dan pendiri komunitas Surviving Hijab.

Representasi sebagai Taktik Pemasaran

Pada satu sisi, inisiatif Nike dapat dinilai progresif. Ia mengupayakan inklusivitas dan citra yang lebih representatif. Namun, di sisi lain, upaya ini tak bisa dirayakan bulat-bulat, mengingat banyaknya pelanggaran hak para buruh pembuat produk-produk Nike. Mereka kerap bekerja dengan upah tidak layak dan rentan mengalami kekerasan. Pakaian, sepatu, tas, dan produk Nike dibuat di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dan tentu banyak buruhnya yang merupakan perempuan, muslim, serta pengguna hijab.

Hoda Katebi, aktivis yang kerap memperjuangkan hak pekerja tekstil, mempersoalkan hal ini lewat akun Twitter-nya, @hodakatebi. Perempuan asal Chicago ini mengunjungi pabrik tempat produk Nike dibuat di Indonesia. “Pekerja garmen–kebanyakan adalah perempuan Muslim–diupah secara tidak layak dan bekerja 6 hari setiap minggunya untuk membuat kita merasa ‘direpresentasikan’ lewat pakaian renang muslim,” kata Hoda.

Saat itu, Hoda menemui buruh-buruh pabrik Kaho Indah Citra Garment yang terletak di Jakarta Utara. Selain untuk Nike, perusahaan asal Korea Selatan ini juga memproduksi pakaian untuk merek-merek ternama lain, seperti Adidas, The North Face, Oakley, dan lain-lain.

PT Kaho Indah Citra Garment telah beberapa kali terbukti berlaku tak adil kepada para pekerjanya. Perusahaan ini pernah terlibat dalam skandal penangguhan upah pada 2013. Para buruh menggugat Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, yang mengabulkan permohonan tujuh perusahaan untuk menangguhkan UMP buruh sebesar 2,2 juta rupiah, termasuk PT. Kaho Indah Citra Garment.

“Buruh diintimidasi dan diancam. Jika tidak menandatangani (surat kesepakatan), buruh akan di-PHK. Untuk bisa melakukan itu, perusahaan harus merugi dua tahun berturut-turut, tapi ini perusahaan ekspansi terus, tak merugi sama sekali,” ujar Bahrain selaku pengacara YLBHI kepada Kompas.com.

Pada 2018, cabang PT Kaho yang terletak di Bekasi juga menutup produksi dan memindahkannya ke cabang di Cakung, Jakarta Timur. Diketahui, upah minimum di DKI Jakarta (UMP) masih lebih rendah dibandingkan di Bekasi (UMK). Buruh diberi pilihan untuk mengundurkan diri atau melanjutkan bekerja di PT Kaho. Walaupun perusahaan mengatakan bahwa tak ada pemotongan upah, perkara tunjangan, kompensasi, dan lainnya berubah mengikuti kebijakan di Cakung.

Jika tak setuju, para buruh tetap didesak untuk mengundurkan diri. Mereka yang bersedia pindah pun tetap mesti mengundurkan diri terlebih dahulu. Majalah Sedane mencatat perusahaan melakukan ini demi menghindari PHK. Sebab, perusahaan yang mem-PHK karyawannya mesti memberikan kompensasi upah yang lebih besar, seperti diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

PT Kaho juga melakukan ekspansi ke daerah lain dengan upah minimum lebih rendah. Pada 2017, mereka membuka pabrik di Garut, Jawa Barat, yang upah minimumnya pada 2018 sebesar Rp1,6 juta per bulan—jauh lebih rendah dibandingkan upah minimum DKI Jakarta dan Bekasi.

Tak hanya di PT Kaho Indah Citra, buruh yang memproduksi barang-barang Nike di PT Dream Sentosa Indonesia juga rentan mengalami kekerasan dan bekerja dalam kondisi compang-camping. Seorang karyawan pernah terpaksa melahirkan di dalam pabrik pada 2010. Para buruh juga bekerja dalam kondisi ketakutan dan tertekan sehingga tak berani mengajukan cuti, termasuk cuti melahirkan.

Pada awal 2018, perusahaan ini tutup secara sepihak. Serikat pekerja PT Dream Sentosa Indonesia menyatakan ada 26 buruh yang tidak mendapatkan kejelasan status bekerja setelah itu. Mereka menuntut dua hal: kesediaan perusahaan untuk berunding dengan serikat pekerja dan penempatan 26 buruh yang telantar di perusahaan baru yang memproduksi produk-produk Nike. Hingga November lalu, para pekerja PT Dream Sentosa Indonesia masih memperjuangkan haknya.

Tak hanya di Indonesia, buruh-buruh tekstil di negara berkembang lain pun kerap diupah ala kadarnya. Laporan Asia Floor Wage Alliance (2017) menunjukkan bahwa rata-rata upah buruh tekstil di Indonesia, Bangladesh, Cambodia, India, Sri Lanka, dan Vietnam masih 45-65% di bawah standar upah hidup layak (living wage).

Laporan ini juga memperlihatkan masih banyaknya pelanggaran hak pekerja oleh perusahaan, seperti uang lebur tak kunjung cair, ketiadaan jaminan sosial, pelanggaran kontrak, pelanggaran jam kerja maksimum, hingga kerentanan buruh terpapar zat-zat kimia berbahaya.

Nike, dalam situsnya, mengatakan telah bekerja selama lebih dari 20 tahun untuk memperbaiki kondisi pekerja di supply chain mereka. “Kami melakukannya karena inilah hal yang benar, dan karena ini membuat bisnis kami lebih tangguh dan inovatif,” kata Nike, penuh percaya diri. Mereka telah merancang kode etik untuk memastikan bahwa setiap buruh dibayar sesuai upah minimum, mendapatkan kompensasi lembur, jaminan sosial, dan mendapatkan pelatihan untuk bekerja secara aman. Namun, hingga kini, pelanggaran-pelanggaran itu masih marak.

Tak hanya Nike, supply chain merek ternama lain seperti H&M, Uniqlo, GAP, Walmart, dan Adidas juga dilaporkan masih memperlakukan pekerja secara semena-mena.

“Foul Play: Sponsors Leave Workers (Still) On The Sidelines (2018)” oleh Clean Clothes Campaign mencatat bahwa Adidas pernah merekrut Lionel Messi pada 2017 dalam rangka sponsorship. Bayaran sang atlet begitu besar, sehingga dapat digunakan untuk membiayai 44.170 buruh garmen di Indonesia selama setahun. Nike dan Adidas juga dikatakan dapat membayar buruh garmen secara layak jika mau menekan biaya pemasaran.

Dengan kata lain, apalah makna dari kampanye inklusivitas, kesadaran lingkungan, dan keberagaman oleh perusahaan yang gagal mewujudkan semua kebaikan itu bagi para pembuat produk-produknya?

Share: Pakaian Renang Muslim Nike untuk Siapa?