Presiden Jokowi menjamin akan ada menteri asal Papua di kabinetnya. “Saya pastikan ada,” katanya pada Jumat (11/10/2019). Namun, dalam Kabinet Indonesia Maju yang dilantik pada 23 Oktober 2019, tak ada orang Papua menjabat sebagai menteri.
Apabila membicarakan keterwakilan wilayah, hal ini merupakan kemunduran dibandingkan masa jabatan pertama Jokowi. Pada periode 2014-2019, terdapat satu orang Papua di kabinet: Yohana Yembise selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Kabinet periode kedua memang punya Wishnutama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang lahir di Jayapura. Namun, dia lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di Amerika Serikat dan di Jakarta ketika menjabat sebagai direktur dan CEO stasiun televisi. Ada pula Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang jabatannya setingkat menteri. Bahlil mengaku mewakili Papua. Ia lahir di Maluku, tetapi pernah tinggal di Fakfak dan Jayapura. “Sebagai anak kampung dari Papua, saya terhormat dan terpanggil bisa mengambil bagian mengabdikan diri bagi bangsa dan negara,” kata Bahlil di Istana Negara.
Namun, menurut aktivis Papua Natalius Pigai, orang-orang ini tidak merepresentasikan Papua. “Bahlil bukan keturunan Papua asli. Jokowi seharusnya adil dan selektif dalam menentukan kursi menteri bagi orang Papua, untuk menghargai harkat dan martabat orang asli Papua,” katanya kepada Nusantara News.
Natalius juga mengatakan bahwa hak-hak orang Papua harus dikembalikan ke orang Papua. Kalau tidak, kepercayaan orang Papua terhadap negara akan semakin merosot.
Partisipasi Orang Timur
Sepanjang Reformasi, tercatat hanya segelintir orang Papua yang pernah menjadi menteri. Selain Yohana Yembise, ada Freddy Numberi yang menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1999-2000), Menteri Kelautan dan Perikanan (2004-2009), serta Menteri Perhubungan (2009-2011).
Ada pula Manuel Kasiepo yang menjabat sebagai Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (2001-2004) dan Balthasar Kambuaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup (2011-2014).
Di luar sedikitnya jumlah orang Papua yang pernah menjabat menjadi menteri, ini juga bukan pertama kalinya komposisi kabinet pemerintahan Jokowi dikritik. Pada 2014 lalu, beberapa tokoh Indonesia Timur mengemukakan kekecewaannya atas komposisi kabinet Jokowi yang didominasi oleh orang Jawa.
“Kami sangat kecewa dengan kabinet yang dibentuk oleh Jokowi-JK karena tidak memperhatikan politik kewilayahan dalam memilih anggota kabinet,” kata Engelina Pattisiana, pendiri Archipelago Society, pada 2014.
Kata Engelina, 24 menteri berasal dari Jawa dan hanya lima yang berasal dari kawasan Indonesia Timur.
Dalam Kabinet Indonesia Maju, jumlah menteri yang berasal dari bagian Indonesia Timur tetap lima orang: Johnny G. Plate (NTT) selaku Menteri Komunikasi dan Informatika, Syahril Yasin Limpo (Makassar) selaku Menteri Pertanian, Suharso Monoarfa (Gorontalo) selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, Gusti Ayu Bintang Darmavati (Bali) selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan Zainudin Amali (Gorontalo) selaku Menteri Pemuda dan Olahraga.
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch di Indonesia, menyebut ketiadaan wakil Papua ini merupakan sikap tidak sensitif. Papua termasuk suku minoritas di Indonesia, dengan populasi hanya sebesar 1,14%. Sementara suku Jawa punya persentase lebih dari 40%.
“Ketiadaan orang-orang dengan latar belakang minoritas itu tidak salah, tetapi juga tidak sensitif. Kepekaan kabinet itu jadi berkurang (dalam mempertimbangkan kepentingan kelompok lain),” kata Andreas. Ia menyamakan kabinet Jokowi dengan jajaran kabinet Donald Trump yang didominasi oleh laki-laki kulit putih.
Menurut Andreas, agar pemerintah bisa lebih sensitif dan memperhitungkan suara minoritas, masyarakat dan media bisa turut mengingatkan pemerintah. “Media bisa menulis, mengingatkan bahwa kabinet ini kurang representatif,” katanya.
Namun, Andreas tak hanya mempermasalahkan representasi orang Papua. “Tak hanya suku Papua, tapi porsi perempuan pun kurang. Padahal persentase perempuan di Indonesia adalah 50% jumlah penduduk. Juga tak ada representasi terhadap LGBT dan suku minoritas lain, seperti Dayak, Flores, Timor, dan lain-lain,” kata Andreas.
Mengapa Representasi Penting?
Juru bicara Jokowi, Fadjroel Rachman, mengatakan bahwa Jokowi tidak mempertimbangkan tentang perbedaan suku, agama, dan ras dalam memilih anggota kabinetnya. “Pak Jokowi mengatakan bahwa kita tidak lagi memikirkan tentang perbedaan. Mereka adalah putra-putri terbaik Indonesia tanpa harus melihat dari mana asal mereka,” kata Fadjroel.
Bahlil juga menegaskan bahwa membicarakan komposisi kabinet berdasarkan identitas tidak relevan, terlepas dari pengakuannya sebagai orang Papua. “Masa dari dulu sampai hari ini masih bicara dikotomi? Kapan negara mau maju?” ujarnya.
Benarkah mempertimbangkan faktor identitas seperti ras, agama, atau gender dalam komposisi kabinet tidak relevan?
Masalah representasi kabinet di Indonesia juga terjadi di Amerika Serikat. Menurut The Hill, laki-laki kulit putih di Amerika Serikat memegang kuasa empat kali lebih besar di pemerintahan daripada orang lain. 71% pejabat di Amerika Serikat adalah laki-laki, 90% adalah orang kulit putih.
Hal ini berdampak pada bagaimana peraturan dibuat dan ditegakkan. Banyak aturan yang berkaitan dengan perempuan dan orang non-kulit putih dibuat atau dikesampingkan tanpa mempertimbangkan suara mereka.
Miriam Hanni dalam penelitiannya yang berjudul “Presence, Representation, and Impact: How Minority MPs Affect Policy Outcomes” meneliti 47 negara demokrasi yang multietnis dan 88 kelompok minoritas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin banyak partisipasi kelompok minoritas, maka semakin banyak pula peraturan yang responsif terhadap masalah kelompok minoritas.
Tak adanya orang Papua yang menjabat sebagai menteri dikhawatirkan akan membuat masalah diskriminasi yang dialami oleh orang Papua semakin parah atau diabaikan.
Selama pemerintahan Jokowi, ada sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, antara lain Tragedi Paniai pada Desember 2014, kasus pengungsian warga Nduga, dan kerusuhan di Wamena. Mahasiswa Papua juga mengalami tindakan rasisme di Surabaya yang menyulut aksi demo di berbagai kota di Indonesia.
Menurut Adriana Elisabeth, seorang periset LIPI, penunjukan satu orang Papua sebagai menteri bukanlah solusi instan atas persoalan-persoalan Papua yang kompleks. Namun, ia memahami mengapa representasi kini dibicarakan agak keras. “Masyarakat kecewa karena presiden tidak menepati janjinya hendak mengikutsertakan orang Papua di kabinet. Presiden juga tidak menepati janji untuk menyelesaikan isu HAM. Jadi kekecewaannya bertumpuk,” ujar Adriana.
Selain keterwakilan, yang amat diperlukan ialah dialog secara patut dengan masyarakat Papua.