“Yang nolak RUU PKS, jahat!”
Seruan itu datang dari massa di depan gedung DPR RI (17/09/19). Massa yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) ini mendesak agar RUU PKS segera dibahas dan disahkan oleh Panitia Kerja RUU PKS Komisi VIII. Salah satu ruang lingkup kerja Komisi VIII adalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Pemerintah dan DPR telah memasukkan RUU PKS sebagai satu dari 10 RUU program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas sejak 2016. DPR juga telah menyetujui draf RUU PKS sebagai RUU usul inisiatif DPR pada 2017. Namun, hingga kini, pembahasan isi draf mangkrak.
Sementara itu, masa jabatan kepengurusan DPR 2014-2019 akan berakhir pada 31 September 2019, kurang dari dua pekan lagi.
Rahayu Saraswati, anggota DPR RI Komisi VIII, mengaku waktu yang tersisa bagi anggota DPR saat ini untuk membahas dan mengesahkan RUU PKS sangat terbatas. “Waktunya susah, dan sangat tergantung dari beberapa hal, terutama niat dari para pimpinan Komisi VIII sendiri. Ada juga beberapa anggota yang masih resistan terhadap isi RUU PKS,” kata Rahayu kepada Asumsi (17/09/19).
Namun, menurutnya, RUU PKS masih mungkin dibahas pada periode ini. “Sebenarnya masih bisa. Sebab ada RUU yang baru masuk tahun ini, sudah mau dibahas, dan disahkan di minggu ini,” lanjut Rahayu. Ia mencontohkan RUU Pesantren dan Pendidikan Agama yang saat ini sedang dibahas dan ditargetkan untuk disahkan pada akhir bulan.
Pertanyaannya, jika masa jabatan DPR RI keburu berakhir sebelum RUU PKS disahkan, bagaimana nasibnya?
Pasal Carry Over
DPR dan pemerintah bersepakat untuk segera mengesahkan revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Salah satu poin yang akan ditambahkan adalah pengambilalihan pembahasan RUU oleh DPR periode baru dari periode sebelumnya. Poin ini tercantum dalam Pasal 71A:
“Dalam hal pembahasan rancangan UU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat 1 setelah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR pada periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas Jangka Menengah dan/atau Prolegnas Prioritas Tahunan.”
Menurut Rahayu, pasal carry over ini memungkinkan RUU PKS untuk kembali dibahas oleh kepengurusan DPR selanjutnya tanpa memulai dari nol. “Dalam peraturan sebelumnya, pembahasan RUU tidak bisa di-carry over. Kalau RUU nggak selesai di periode ini, pembahasan harus mulai dari nol di periode selanjutnya,” jelas Rahayu.
Namun, menyerahkan RUU PKS kepada anggota DPR mendatang juga mengandung kerumitan. “Minusnya, jika kepengurusan selanjutnya terdiri dari orang-orang baru yang tidak memahami isi RUU PKS. Walaupun nggak mulai dari nol tapi jadi sama saja,” ujar Rahayu.
Veni Siregar, Koordinator Seknas Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL), berharap tetap ada beberapa poin dari RUU PKS yang bisa disepakati pada kepengurusan DPR saat ini. “Kita berharap, kalaupun di-carry over, nggak sama sekali semuanya. Ada hal-hal yang seharusnya sudah disepakati di periode ini, seperti sistematika, ketentuan pidana, dan lain-lain,” kata Veni.
Veni yang tergabung dalam GEMAS mendesak DPR untuk menyepakati judul dan sistematika RUU PKS, serta mempertahankan enam elemen kunci: sembilan tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, pemulihan, hukum acara, ketentuan pidana, dan pemantauan. GEMAS juga mendesak agar Tim Perumus RUU PKS segera dibuat dan memastikan rakyat dilibatkan dalam proses pembahasan RUU.
Sementara itu, Ratna Batara Munthi selaku Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan mengaku pesimistis terhadap kinerja Komisi VIII. “Komisi VIII periode ini sepertinya nggak punya komitmen dan kapasitas untuk membahas RUU PKS. Ketika dijadikan RUU Inisiatif pada 2016 itu, isinya saja tidak dibahas. Walaupun ada segelintir anggota yang punya posisi keberpihakan terhadap korban, sebagian besar tidak,” ujar Ratna.
Menurut Ratna, kebanyakan anggota Komisi VIII telanjur menelan abab sekelompok orang yang mengelirukan RUU PKS sebagai upaya melegalkan zina, aborsi, dan mendukung LGBT. “Mereka sudah masuk angin mendengar omongan kelompok-kelompok yang memfitnah tersebut. Kalau terus memikirkan pro kontra, artinya mereka juga bias dan ikut melindungi pelaku kekerasan seksual yang hingga saat ini tidak bisa dijerat hukum,” kata Ratna.
Ia berharap agar pembahasan RUU PKS pada kepengurusan selanjutnya dilakukan lintas komisi. “Tidak lagi hanya dibahas oleh Komisi VIII, tetapi dibentuk pansus (panitia khusus) yang memang terdiri dari orang-orang yang tepat dan punya kapasitas untuk membahas ini,” saran Ratna.
Resistan karena Ideologi, Takut Dipidana, dan Takut Kehilangan Suara
Dalam Podcast Asumsi Bersuara, Rahayu Saraswati mengaku bahwa banyak anggota DPR yang tidak menyetujui isi RUU PKS. “Sebab, mereka merasa RUU PKS tidak sesuai dengan ideologi mereka,” tutur Rahayu.
Banyak pula alasan-alasan lain yang membuat para anggota DPR enggan membahas isi RUU PKS. “Ada yang membuat petisi penolakan. Tapi saya juga tidak memungkiri bahwa ada anggota yang resistan karena takut dimarahi konstituen dan kehilangan suara. Ada pula yang takut dipidana oleh RUU ini. Istilahnya, mungkin mereka sendiri pelaku (kekerasan seksual) kali, ya?” ujar Rahayu.
DPR juga khawatir RUU PKS ini disalahgunakan. “Ada false accusation. Misal ada fitnah tentang kasus pelecehan atau kekerasan seksual. Nanti reputasi orang itu bagaimana? Hancur,” kata Rahayu.
Padahal, persentase terjadinya false accusation atau false reporting sangat kecil, yaitu 2 sampai 10% saja. Sementara itu, 63% kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan kepada pihak berwajib, dan sedikit penyintas yang memutuskan untuk melapor malah diharuskan menjalani prosedur yang menghidupkan kembali trauma, seperti diminta untuk menceritakan ulang kejadian perkosaan berkali-kali, mesti melalui tes forensik atau yang disebut “rape kit”, untuk pada akhirnya tetap tidak dipercaya.
“Bahkan di dalam partai pun masih ada pihak-pihak yang resistan. Di Gerindra, ada yang mendeklarasi menolak RUU PKS,” kata Rahayu tentang fraksinya. Rahayu bilang bahwa sikap mereka tidak bisa disalahkan. “Bukan berarti ideologi mereka salah. Kalau kita bicara toleransi, kita memahami bahwa we need to find middle ground,” ucap Rahayu.
Berbeda dari Rahayu, Ratna yang juga adalah anggota LBH APIK dan berpengalaman mendampingi korban kekerasan seksual menyatakan bahwa seharusnya DPR tidak lagi bermain netral. DPR seharusnya menunjukkan keberpihakannya kepada korban kekerasan sekual dan kelompok rentan. “DPR ini nggak punya sikap. Intinya itu saja. Mereka sebenarnya tidak layak menjadi anggota DPR,” kata Ratna.
Ke depannya, agar RUU PKS tak macet lagi, Ratna berharap DPR bisa menyusun prioritas pembahasan RUU. Pembahasan ini harus disesuaikan dengan kapasitas, waktu, dan jadwal yang ketat. Ia juga mengharapkan transparansi dalam pembahasan, juga pelibatan masyarakat sipil sebagai pemantau proses legislasi di DPR.
“DPR seharusnya fokus berperan dalam legislasi, pengawasan, dan anggaran. Bukannya memprioritaskan agenda-agenda di luar tugas, seperti kerja-kerja partai yang orientasinya pada kekuasaan,” tegas Ratna.