Sebagian besar wilayah Indonesia dilanda kemarau. Curah hujan rendah dalam waktu yang lama membuat banyak wilayah di Indonesia mengalami kekeringan. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo mengatakan bahwa pihaknya sudah mendapat permintaan sejumlah kepala daerah agar wilayahnya dibuatkan hujan buatan.
“Tadi arahan Bapak Presiden, BNPB untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bantuan hujan buatan,” ujar Letjen Doni di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/7).
Berdasarkan data yang diterima BNPB hari Senin (15/7), kekeringan sudah berdampak di 1.963 desa, 556 kecamatan, dan 79 kabupaten. Semua wilayah ini tersebar di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa di antaranya pun sudah terkena krisis air bersih, seperti contohnya 16 desa di Banyumas, Jawa Tengah.
Wacana hujan buatan ini masih dalam tahap penggodokan. Doni akan mengajak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam melakukan modifikasi cuaca ini.
“Daerah yang mungkin masih bisa dilaksanakan teknologi modifikasi cuaca itu juga tergantung dari keadaan awan. Apabila keadaan awan masih tersedia sangat mungkin hujan buatan bisa dilakukan,” tuturnya.
Akan Terus Berlangsung
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa pihaknya memprediksi bulan Agustus akan menjadi puncak musim kemarau 2019. Namun, dampak kekeringan akan tetap terasa hingga bulan Desember di wilayah utara khatulistiwa. Sedangkan di beberapa wilayah selatan khatulistiwa seperti Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan Papua bagian selatan, dampak kemarau akan terasa hingga bulan September.
“Itu yang paling luas di bulan Agustus puncak musim kemaraunya. Dampaknya kekeringan itu masih berjalan sampai September untuk wilayah selatan itu,” ujar Dwikorita. “Keringnya berjalan nyebrang khatulistiwa. Jadi ke arah utara. Sampai Desember itu masih ada kekeringan di Kalimantan Utara. Tidak seragam.”
Kekeringan Ciptakan Dampak Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
Kondisi kemarau berkepanjangan jelas memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang buruk bagi masyarakat Indonesia. Secara ekonomi, musim kemarau berkepanjangan dapat menurunkan produktivitas. Ketidaknyamanan berada di luar ruangan akan membuat orang tertahan di rumah dan enggan untuk beraktivitas.
Begitu pun dengan produktivitas agrikultur. Musim kemarau berkepanjangan dapat mengakibatkan sawah gagal panen. Untuk musim kemarau 2019 ini, Presiden Jokowi telah memerintahkan sejumlah menteri dan kepala lembaga mengelar rapat terbatas. Ia menginstruksikan kepada mereka untuk memastikan pasokan air tidak terhambat. Ia menyadari bahwa dengan pasokan air yang cukup, gagal panen dapat diminimalisasi.
“Kalau perlu lakukan modifikasi cuaca, pembangunan sumur bor dan meminta Kementerian Lingkungan Hidup juga memantau potensi titik-titik panas penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut,” ucap Jokowi, dalam siaran pers yang diunggah dalam laman Setkab.go.id, Selasa (16/7).
Sedangkan secara sosial, musim kemarau yang berkepanjangan juga mengakibatkan permasalahan di masyarakat. Krisis air bersih akibat kekeringan tidak hanya mengakibatkan gagal panen, tetapi juga kesulitan bagi warga beraktivitas secara normal. Banyak warga terpaksa antre berjam-jam demi pasokan air bersih. Bahkan, sebagian dari mereka harus menempuh perjalanan jauh.
Dampak sosial lainnya adalah permasalahan kesehatan masyarakat. Banyak warga yang tidak menyadari bahwa minimnya curah hujan dapat mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang sering muncul adalah penyakit kulit akibat paparan sinar matahari yang langsung mengenai permukaan kulit.
Terakhir, kemarau berkepanjangan juga ciptakan dampak negatif secara lingkungan. Di kota-kota besar, rendahnya curah hujan mengakibatkan polusi udara semakin menebal. Contohnya di Jakarta. Beberapa hari ke belakang, dilaporkan kualitas udara Jakarta semakin memburuk. Selain karena penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan, ketiadaan hujan yang dapat mengurangi polusi di udara jelas menjadi faktor pendukung memburuknya kualitas udara Jakarta.
Sedangkan di wilayah pedesaan, dampak lingkungan dari rendahnya curah hujan adalah meningkatnya kemungkinan kebakaran hutan. Teriknya paparan matahari dapat membakar pohon secara alami dan mengakibatkan kebakaran hutan yang masif. Hal ini juga perlu segera mendapatkan perhatian pemerintah Indonesia.