Setelah diramaikan polemik soal qanun poligami, Aceh kini mengundang kehebohan lain terkait perempuan. Di provinsi berjuluk “Serambi Mekah” itu, tepatnya di Kabupaten Aceh Utara, ada imbauan untuk melarang perempuan keluar rumah malam hari.
Setidaknya ada 28 ormas yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Ormas se-Aceh Utara menandatanganani dan menggelar deklarasi bersama tentang larangan anak-anak dan perempuan berkeliaran saat malam hari. Deklarasi itu disampaikan di Masjid Agung Baiturrahim Lhoksukon, Rabu (10/07), dan dihadiri Bupati Muhammad Thaib, pejabat Forkopimda, sejumlah ulama, pimpinan dayah, dan tokoh masyarakat.
Ada dua poin inti deklarasi dan seruan ormas itu. Pertama, anak usia 17 tahun ke bawah tidak dibenarkan berkeliaran pada malam hari dan pada jam belajar tanpa didampingi orang tua/wali. Kedua, perempuan tidak dibenarkan berkeliaran pada malam hari tanpa didampingi suami atau mahramnya.
Muhammad Thaib mengatakan bahwa seriuan tersebut berawal dari kekhawatiran bersama akan masa depan anak-anak di Aceh Utara. “Di Aceh Utara sudah banyak indikasi penyakit-penyakit masyarakat, dan yang paling mengkhawatirkan adalah narkoba. Ini perlu mendapat perhatian dan keseriusan kita bersama,” kata Thaib dalam keterangannya, Rabu (10/07).
“Ini baru sebatas seruan. Jadi, kita imbau agar wanita tidak keluar malam hari jika tak didampingi mahramnya atau orangtuanya,” ucapnya.
Thaib menyebutkan hal-hal itu akan dibahas oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara bersama sejumlah organisasi penandatangan. “Tidak serta-merta seruan itu berlaku. Nanti dibahas dulu, dikaji dulu secara mendalam. Dianalisis dan lain sebagainya. Barulah jika memenuhi syarat dituangkan dalam peraturan bupati,” ujarnya.
Thaib menerangkan bahwa Pemerintah Kabupaten Aceh Utara bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) telah merumuskan aturan soal ketertiban anak-anak usia sekolah, khususnya pada malam hari. Aturan berbentuk qanun itu mulai disiapkan pada 2016 dan telah dikirim ke Pemerintah Provinsi Aceh untuk dilakukan pengkajian dan verifikasi, namun hingga saat ini belum selesai.
Pada 2014, pemerintah Aceh Utara telah membuat aturan daerah dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 33 tahun 2014 tentang Penguatan Syariat Islam. Aturan itu di antaranya mencakup kebijakan agar anak-anak SD yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMP harus mampu membaca Al-Quran.
Baca Juga: Sikap Aktivis Perempuan Aceh Terhadap Kontroversi Qanun Poligami
“Kami ingin nilai-nilai kearifan lokal tersebut kembali hidup dan tetap terjaga dalam masyarakat Aceh Utara,” ujar Thaib.
Selain itu, Thaib mengaku sudah berulang kali mengatakan ingin membangun karakter islami bagi generasi muda Aceh Utara. Terkait dengan deklarasi ormas untuk mengontrol anak-anak yang berkeliaran malam hari, ia berharap tugas itu mengedepankan petugas Wilayatul Hisbah (WH) dan Satpol PP, bukan satuan polisi dan TNI.
Persoalan yang sedang dihadapi Aceh saat ini memang sangat rumit. Aktivis Perempuan Aceh dari Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Norma Manalu, menilai seharusnya negara hadir untuk mencari solusi terbaik, memberikan perlindungan bagi semua warga negaranya. Apalagi, seruan pelarangan perempuan keluar malam di Aceh Utara itu cenderung diskriminatif.
“Saya ingin katakan dalam masa sekarang, di mana aceh mulai membangun perdamaian, layaknya perempuan juga bisa merasakan damai dengan sesungguhnya. Tidak semua perempuan yang memiliki mahram sebagaimana yang dimaksud, karena banyak kondisi. Termasuk karena konflik dan hal lainnya, misalnya karena lapangan pekerjaan yang terbatas maka laki-laki ke daerah lain mencari pekerjaan,” kata Norma saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (11/07)
Norma melihat bahwa sebetulnya aktivitas keluar malam itu tidak semua dipandang sebagai aktivitas buruk. Apalagi ada beberapa perempuan yang memang harus keluar malam karena pekerjaannya, misalnya pedagang kuliner, perawat, dan lainnya. “Belum lagi karena keadaan darurat yang mendesak perempuan harus keluar malam, misalnya.”
Menurut Norma, pemerintah justru salah kaprah karena memahami dan menafsirkan perlindungan itu selalu berbentuk pembatasan dan pelarangan. Tidak semestinya ada pembatasan dan pelarangan. Pemerintah harus membuat sistem yang baik dan memastikan jaminan keselamatan untuk perempuan dan anak.
Lagipula, larangan berada dan berkegiatan di luar rumah di malam hari pada jam tertentu alias jam malam (avondklok), biasanya diberlakukan dalam keadaan bahaya, seperti saat menghadapi pemberontakan atau pengambilalihan kekuasaan dan perang. Mengutip dari laman Historia, dalam sejarah Indonesia, jam malam itu diberlakukan apabila ada peristiwa-peristiwa tertentu yang sifatnya darurat.
Misalnya pada Oktober 1740, ribuan etnis Tionghoa di Batavia dibantai oleh penguasa VOC. Mereka melawan, meski akhirnya takluk juga. Dalam situasi yang semakin genting, sejak 8 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Valckenier memberlakukan jam malam bagi warga Tionghoa, hingga berimbas pada pembatalan persiapan perayaan besar-besaran Tionghoa.
Lain lagi saat penguasa Belanda memberlakukan jam malam pada awal Perang Pasifik. Saat mengambil-alih pendudukan Indonesia dari Sekutu, Belanda memberlakukan jam malam terutama ketika melancarkan agresi militer. Mereka yang terpaksa melakukan perjalanan malam harus memiliki pass khusus dari pihak berwajib.
Bahkan, situasi itu semakin diperketat sejak Singapura bertekuk lutut kepada Jepang. Situasi mencekam dan rawan akhirnya menjadi pemandangan setiap malam, di mana jalan-jalan juga sepi senyap, rumah-rumah penduduk gelap tanpa lampu, terutama saat Belanda mengumumkan keadaan dalam bahaya dan perang di penghujung kekuasaannya pada Maret 1942.
Jam malam tetap berlaku saat Jepang mendarat di Jawa. Namun, aturan jam malam sempat dihapuskan pada 5 Juni 1942, meski akhirnya Jepang kembali memberlakukan jam malam karena berperang dengan Sekutu menjelang kekalahannya.
Tak hanya itu, berbagai peristiwa penuh gejolak di tanah air seperti gerakan RMS (Republik Maluku Selatan), PRRI/Permesta, dan DI/TII SM Kartosuwiryo mendorong pemerintah daerah memberlakukan jam malam. Di Jakarta juga sempat diberlakukan jam malam, terutama setelah Malari pada 1974. Pergolakan daerah terakhir yang diberlakukan jam malam adalah Darurat Militer di Aceh pada 2003-2004.
Norma pun menegaskan bahwa masih banyak hal-hal lain yang sifatnya genting yang harusnya dikerjakan pemerintah, bukan terus-terusan mengurusi perempuan dengan melakukan pembatasan dan membuat kebijakan yang cenderung diskriminatif. “Sebagian kekerasan yang muncul hari ini kan nggak hanya terjadi di ruang publik, tapi di ruang domestik juga, yang orang-orangnya itu harusnya adalah orang-orang yang bisa memberikan perlindungan buat korban.”
Kasus-kasus kekerasan di rumah tangga di Aceh jumlahnya tinggi. Menurut Norma, sebagian besar pelaku kekerasan terhadap perempuan itu ya mahramnya, orang tua, dan orang-orang terdekatnya. “Jadi tidak relevan kalau kemudian akhirnya kebijakan yang dikeluarkan adalah larangan perempuan untuk keluar malam, sementara di rumah saja masih jadi korban kekerasan.”
“Kebijakan ini justru cenderung terlihat seperti kebijakan sensasional. Apalagi ini kemarin baru muncul soal rancangan qanun poligami dan sekarang perempuan dilarang keluar malam. Harusnya ada cara lain untuk mengatasi itu.”