MRT Jakarta resmi beroperasi secara komersial pada 1 April 2019. Sebagai fasilitas publik dan tempat berkumpul banyak orang, MRT tak lepas dari risiko aksi terorisme. Serangan teror mematikan yang menyasar transportasi berbasis rel pernah terjadi di berbagai belahan dunia.
Pada 20 Maret 1995, kelompok relijius Aum Shinrikyo melepaskan gas sarin, senjata kimia pelumpuh saraf, di lima kereta api bawah tanah di Tokyo. 13 orang tewas dan ribuan lainnya dirawat di rumah sakit. Novelis Haruki Murakami mewawancarai sejumlah korban dan anggota Aum Shinkiriyo, dan menerbitkan hasilnya dalam buku Underground: The Tokyo Gas Attack and the Japanese Psyche (2000).
11 Maret 2004, di Madrid, Spanyol, empat bom yang diledakkan simpatisan Al Qaeda di kereta bawah tanah membunuh 191 serta melukai 1.800 orang. Berselang setahun, empat teroris menyerang tiga kereta api bawah tanah dan satu bus tingkat di London. Peristiwa itu merenggut 52 nyawa dan melukai sekitar 700 orang.
Amanda Erickson, dalam tulisannya di Washington Post, mengatakan bahwa transportasi publik memikat teroris karena sukar dilindungi. Berbeda dari bandara, stasiun-stasiun tak bisa menempatkan pos-pos pemeriksaan secara masif. Stasiun juga mudah diakses dan padat, terutama pada jam-jam sibuk. Hal itu, katanya, dapat menjelaskan statistik yang relatif tinggi: sejak 1970, ada sekurangnya 387 serangan terhadap kereta, bus, dan feri di Amerika Utara dan Eropa. Di Asia Selatan dan Timur Tengah masing-masing telah terjadi 1.287 dan 801 penyerangan di kereta. Dan di Eropa, tulis Erickson, 75% korban serangan teroris merupakan korban peristiwa-peristiwa di stasiun-stasiun kereta bawah tanah.
Meskipun moda transportasi berbasis rel di Indonesia belum pernah menjadi sasaran teror, Stacey, seorang penumpang MRT jurusan Lebak Bulus-Semanggi, mengaku memikirkan kemungkinan itu.
“Sewaktu saya berada di jalur layang, saya nggak terlalu khawatir, tetapi begitu kereta masuk ke terowongan, saya mulai berpikir, bagaimana kalau ada serangan terorisme atau pembajakan kereta?” katanya.
Sabtu pekan lalu (13/4), dalam perjalanan pulang kerja, Stacey memperhatikan bahwa tak ada petugas keamanan yang memeriksa penumpang dengan metal detector. Menurutnya, risiko serangan teror terhadap MRT dapat dikurangi dengan pemeriksaan acak atau random check terhadap penumpang.
“Sewaktu terkena random check di BTS Skytrain Bangkok, awalnya saya agak tersinggung. Namun, berdasarkan pemberitaan isu terorisme selama ini, teroris tidak dapat diidentifikasi dari penampilan. Jadi, demi keamanan, kenapa tidak?” katanya.
Berbeda dari Stacey, Selly, juga seorang penumpang MRT, menyatakan bahwa pemeriksaan semacam itu tak bernilai banyak.
“Aksi terorisme bisa terjadi dimana pun, termasuk di hotel yang sudah begitu ketat penjagaannya atau departement store,” katanya. Dia mengaku pernah menumpang MRT, kereta subway, dan metro di berbagai negara. “Tidak pernah ada pemeriksaan barang bawaan dengan scanner. Kalau itu dilakukan, mau makan waktu berapa lama lagi? Ketika naik transportasi umum, kita kan mengejar waktu juga,” katanya.
Yoga Adiwinarto, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, mengatakan: “Random check berarti, misalnya, satu dari setiap lima penumpang diperiksa. Pada praktiknya, ia nggak pernah benar-benar random. Pasti ada preferensi terhadap orang-orang tertentu. Di bandara di Amerika Serikat, peluang saya terkena random check pasti sangat besar”, ujarnya.
“Di MRT Bangkok, pemeriksaan membuat antrean panjang sekali,” Yoga melanjutkan. “Keberadaaan metal detector di sana tidak dirancang sejak awal. Terowongan MRT didesain lebar, sekitar 8 meter. Kalau dipasangi detector seperti di Bangkok, ruang gerak yang tadinya lebar akan mengecil. Metal detector di Bangkok itu dipasang belakangan karena ada kekhawatiran potensi serangan teroris,” katanya.
Alih-alih random check, menurut Yoga, lebih baik memaksimalkan pemantauan oleh para petugas keamanan. Kalau beralasan, misalkan ada penumpang yang membawa ransel besar, barulah pemeriksaan dijalankan. “CCTV juga penting banget. Meskipun tidak mencegah, CCTV merekam kejadian,” katanya.
Yang tak kalah penting: kampanye penyadaran publik. Di Singapura dan London, misalnya, ada pengumuman rutin yang mengingatkan agar penumpang waspada dan cepat melaporkan hal-hal mencurigakan kepada petugas keamanan.
Menurut Mortimer Downey dan Thomas Menzies dalam “Countering Terrorism in Transportation”, menutup setiap celah yang mungkin dimanfaatkan teroris adalah upaya sia-sia. Pendekatan lawas keamanan transportasi itu boros dan tidak sangkil. Yang perlu dilakukan kini, kata mereka, adalah menciptakan sistem keamanan berlapis dan saling-sisip, di mana satu perlindungan memperkuat perlindungan lainnya. Pengelola sistem transportasi juga perlu berpikir kolaboratif. Tak hanya dengan otoritas keamanan seperti kepolisian, tetapi juga dengan para penumpang.