Sebanyak 14 siswa di Kota Solo, Jawa Tengah dikeluarkan dari sekolah karena mengidap HIV/AIDS. Mereka yang dikeluarkan akhirnya dikembalikan ke rumah khusus anak pengidap HIV/AIDS di Yayasan Lentera Kompleks Makam Taman Pahlawan Kusuma Bakti, Jurug, Solo, Jawa Tengah. Yunus Prasetyo, ketua yayasan tersebut mengaku anak didiknya dikeluarkan karena adanya surat keberatan dari para wali murid.
“Para orang tua murid membuat surat keberatan atas keberadaan anak-anak kami di sana. Kami sedang berkoordinasi dengan pemerintah,” kata Prasetyo di Yayasan Lentera Solo, Jawa Tengah, pada Kamis, 14 Februari 2019.
Prasetyo pun menceritakan awal mula keputusan tersebut. Katanya, para orang tua mengadakan pertemuan dengan komite dan pihak sekolah untuk mengajukan protes. Hingga akhirnya berita acara tersebut ditandatangani dan dijadikan acuan untuk keputusan mengeluarkan anak murid yang mengidap HIV/AIDS.
“Dalam isi surat intinya mereka keberatan dan meminta anak itu untuk tidak sekolah di situ. Komite mengamini berarti menyetujui, sekolah menandatangani berarti sekolah juga menyetujui. Itu yang terjadi,” terangnya.
Keputusan mengeluarkan anak dari sekolah itu cukup membuat Prasetyo kecewa. Ia mengatakan seharusnya ada sosialisasi yang dilakukan sebelum anak tersebut diterima ke sekolah umum. Maka dari itu ia langsung berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Anak, dan Dinas Sosial.
“Sekali lagi ini tanggung jawab pemerintah karena hak anak, hak pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah. Kami inginnya mereka tetap sekolah formal bukan non formal. Home schooling bukan solusi, karena kebutuhan anak ini bukan masalah membaca, berhitung. Kebutuhan anak ini mereka bisa bersosialisasi, bermain dengan anak di luar panti, anak sebaya mereka,” kata dia.
Tak hanya Prasetyo, Wali Kota Surakarta Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo juga ikut menyayangkan adanya pengeluaran siswa SD karena sakit yang diidapnya. Menurut Rudyatmo, masyarakat saat ini memang masih ada yang belum mengerti tentang sistem penularan HIV.
“Walaupun penyakit hanya ditularkan lewat hubungan seksual dan jarum suntik, tapi yang namanya masyarakat ya pokoke mboten (pokoknya tidak mau),” ujar Rudyatmo.
Salah Kaprah Penularan HIV
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Virus HIV menyerang sel T, salah satu bagian sel darah putih. Sementara sel T berperan untuk sistem kekebalan tubuh manusia.
Ketika sel tersebut rusak karena virus HIV, maka tubuh jadi tidak mampu mengenali virus dan bakteri yang masuk. Terkait HIV, dokter Adyana Esti, tenaga medis klinik Angsamerah Jakarta menyampaikan bahwa masyarakat sering salah kaprah menganggap HIV dan AIDS adalah sama, padahal itu adalah dua hal yang berbeda.
“Ada yang menganggap orang HIV itu pasti AIDS,” katanya dalam diskusi HIV/AIDS di Jakarta, dilansir Antara.
Jadi, jika HIV itu adalah virus, AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kondisi yang timbul karena rusaknya sistem pertahanan tubuh akibat virus HIV. Sehingga, belum tentu orang yang terkena HIV mengalami AIDS. Bahkan pengidap HIV sendiri bisa tetap hidup normal apabila menjalani pengobatan yang sesuai.
Masyarakat juga masih ada yang salah kaprah tentang penularan HIV. Dokter Adyana Esti menyampaikan banyak mitos dan juga hoaks terkait cara penularan HIV. Berikut, beberapa contoh mitos yang paling sering terkait penularan HIV.
HIV menular lewat penggunaan alat makan secara bergantian antara ODHA dengan orang sehat. Atau virus HIV menular lewat ciuman. Faktanya, tidak demikian. Virus HIV merupakan jenis virus yang mudah mati di udara bebas. Tanpa inangnya, seperti darah, ASI, cairan vagina, dan sperma, virus HIV akan mati dalam waktu kurang dari semenit.
Penyebab HIV Pada Anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak itu diturunkan melalui ibu kepada kandungannya selama masa kehamilan, persalinan, dan menyusui. Penyebab lain HIV sendiri yaitu transfusi darah, di mana darah yang terinfeksi HIV dimasukkan kepada anak-anak. Di Amerika Serikat dan negara maju lainnya, kasus tersebut telah sepenuhnya hilang, namun pada negara miskin hal ini masih terjadi.
Penelitian di Ukraina, HIV yang tertular dari penggunaan jarum suntik bergantian, juga terjadi pada anak di bawah usia 10 tahun. Namun ada juga kasus di mana anak-anak terinfeksi HIV melalui tindakan kekerasan seksual ataupun pemerkosaan. Meskipun anak-anak tidak menunjukkan tanda atau gejala infeksi HIV, dokter perlu memilih obat untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan meningkatkan daya tahan hidup jangka panjang.
Karena terjadi kemajuan dalam bidang pengobatan dan pencegahan, maka kematian terkait AIDS di kalangan anak-anak saat ini terus berkurang di dunia. Terapi HIV/AIDS biasanya sama pada anak dan dewasa. Namun, terdapat pertimbangan spesial ketika mengobati anak. Sebab, beberapa obat HIV tidak tersedia dalam bentuk cair seperti sirup atau tetes.