Peristiwa Malari yang terjadi 45 tahun lalu jelas tidak terlupakan. Peristiwa tersebut diawali dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang saat itu, Kakuei Tanaka, ke Indonesia. Hari ini, kedatangan seorang Perdana Menteri Jepang ke Indonesia mungkin tidak akan menjadi masalah. Karena hubungan Jepang-Indonesia sudah begitu harmonis. Berbagai macam bentuk investasi dari Jepang juga sudah menjadi barang ‘normal’ di Indonesia. Namun beda urusannya saat itu. Kala itu, investasi asing belum semasif sekarang. Investasi asing dianggap hanya akan merugikan dan menjadi imperialisme gaya baru. Tak terkecuali untuk investasi dari Jepang.
Di tanggal 15 Januari 1974, Presiden Soeharto dan menteri-menterinya bertemu dengan Tanaka di Istana Negara. Ketika pejabat-pejabat Indonesia menyambut Tanaka dengan formal, beda urusannya bagi para mahasiswa dan pelajar. Mereka ‘menyambut’ Tanaka dengan protes. Mereka berdemonstrasi dengan lantang menolak investasi Jepang di Indonesia. Bagi mereka, investasi Jepang hanyalah gaya baru imperialisme Jepang di Indonesia. Demonstrasi ini pun tidak dilakukan secara kecil-kecilan. Demonstrasi yang dilayangkan oleh mahasiswa dan pelajar terhadap kedatangan Tanaka ini menjadi yang terbesar semenjak Orde Baru berkuasa. Besarnya demonstrasi membuat fenomena ini diberi nama Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari 1974).
Mahasiswa dan pelajar yang berdemonstrasi kala itu bukanlah para demonstran spontan. Mereka sudah mempersiapkan aksinya matang-matang. Bahkan, para mahasiswa dan pelajar sudah mempersiapkan demonstrasi semenjak pesawat rombongan Jepang mendarat di Indonesia. Namun rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Barulah ketika rombongan disambut oleh Soeharto dan pejabat Indonesia lainnya, mereka beraksi lebih besar lagi.
Sebenarnya, pemicu awal demonstrasi ini bukanlah kedatangan Perdana Menteri Tanaka ke Indonesia. meskipun Malari 1974 adalah klimaksnya, awal mula gelombang demonstrasi anti modal asing dipicu oleh kedatangan ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) Jan P Pronk. IGGI ini adalah kelompok internasional yang didirikan pada tahun 1967 oleh Amerika Serikat dengan tujuan mengkoordinasikan dana bantuan multilateral ke Indonesia. Di dalam kelompok tersebut terdapat banyak donatur asing seperti Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, United Nations Development Programme (UNDP), Bank Dunia, Australia, Belgia, Inggris Raya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss, dan Amerika Serikat.
Hariman Siregar lahir di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, 68 tahun yang lalu. Dalam Peristiwa Malari 1974, demonstrasi ini dipimpin oleh Hariman selaku ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI). Ia mengomandoi para demonstran untuk berjalan dari kampus UI Salemba menuju Universitas Trisakti di Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat. Ia memimpin para demonstran bersama tokoh mahasiswa lainnya seperti Syahrir, Muhammad Aini Chalid, dan Judilherry Justam. Akibat tindakannya ini, Hariman pun dipenjara oleh rezim penguasa. Hingga kini, ia seringkali identik dengan istilah aktivis reformasi.
Terlepas dari nama-nama yang sering dikaitkan dengan peristiwa Malari, terdapat satu nama lain yaitu Ali Sadikin. Kala itu, ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Resah dengan kondisi yang ada, ia memutuskan untuk meredam kerusuhan dengan caranya sendiri. Pertama, ia pergi ke kampus UI Salemba. Ia berbicara pada mahasiswa untuk meredam demonstrasi. Ia mengungkapkan kalau demonstrasi hanya akan menambah korban dari pihak mahasiswa. Selanjutnya, Ali Sadikin pun membawa Hariman ke TVRI untuk memberitahu mahasiswa kalau masalah sudah selesai. Strategi ini ternyata cukup baik meredam aksi mahasiswa.