Prabowo Subianto ternyata punya cerita bersejarah di Papua. Sosok ketua umum Partai Gerindra ini pernah menjadi pimpinan militer dalam operasi penyelamatan sandera warga sipil di pulau paling timur Indonesia tersebut. Peristiwa yang melibatkan Prabowo itu dikenal dengan sebutan Operasi Mapenduma.
Operasi pembebasan sandera Mapenduma adalah operasi militer dengan tujuan membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz 95. Para peneliti disandera kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam peristiwa krisis sandera Mapenduma. Pelaksana operasi ini sebagian besar dilakukan oleh anggota Kopassus. Operasi ini dimulai tanggal 8 Januari 1996 silam terutama sejak dilaporkannya peristiwa penyanderaan itu dan dipimpin oleh Komandan Kopassus Prabowo Subianto.
Kala itu pada Senin, 8 Januari 1996, sebanyak 26 orang yang berasal dari 10 Tim Ekspedisi Lorentz 1995, 3 orang periset WWF dan UNESCO, serta 13 penduduk desa, yang sedang mengumpulkan data di Mapenduma, Papua, mengalami nasib kurang beruntung. Mereka diculik oleh ratusan anggota OPM pimpinan Daniel Yudas Kogoya dari basecamp.
Peristiwa penyanderaan itu pun jadi sorotan luas dari dunia internasional, terutama karena melibatkan warga negara asing. Setidaknya ada 4 orang asal Inggris, 2 orang asal Belanda, dan 1 orang asal Jerman. Selama penyanderaan, para sandera digiring berjalan dan blusukan ke hutan belantara Papua, tanpa mendapatkan asupan makanan yang cukup, sehingga beberapa orang jatuh sakit.
Kala itu, kabar penyanderaan itu juga jadi sorotan masyrakat di tanah air yang terus menantikan perkembangan penyelamatan korban yang dinantikan setiap hari, bahkan selama lebih kurang 4 bulan. Sampai akhirnya Mabes TNI menggelar satgas untuk membebaskan sandera di Mapenduma.
Baca Juga: Peta Kekuatan Wilayah Jokowi-Prabowo, Siapa Menang Di Mana?
Komandan Jenderal Kopassus saat itu Brigjen Prabowo Subianto ditunjuk menjadi komandan. Tim Kopassus yang dikerahkan berasal dari Grup 5 Antiteror yang berseragam hitam-hitam. Kala itu, ada pasukan Kopassus dibantu Kostrad Yon 330, 328, dan 327 (Jawa Barat), Batalyon 514 (Brawijaya), Batalyon 742 (Trikora), Penerbad dan TNI AU yang berhasil menyelamatkan para sandera, meski 2 orang sandera tewas di tangan OPM.
Selain itu ada pasukan Batalyon Lintas Udara Kostrad 330 dan pasukan penjejak yang terdiri dari putra-putra Irian milik Kodam Cendrawasih. Total pasukan yang dikerahkan mencapai 600 orang.
Prabowo saat itu mempersilahkan tim dari International Committee of the Red Cross (ICRC atau Palang Merah Internasional) untuk melakukan perundingan. Hal itu dilakukan lantaran sesuai dengan permintaan dunia internasional.
Awalnya, dikabarkan sandera-sandera tersebut hendak ditukar dengan kemerdekaan Papua oleh Komandan OPM Kelly Kwalik. Namun, Kelly Kwalik menunjukkan itikad baik dengan berniat membebaskan beberapa sandera yang sakit, termasuk Martha Klein yang sedang hamil.
Sayangnya, saat detik-detik pelepasan sandera, tiba-tiba Kelly Kwalik berubah pikiran dan malah berpidato dengan lantang. Kurang lebih isi pidatonya itu menegaskan bahwa apa yang ia perjuangkan dengan susah payah merupakan nilai yang sangat mahal. “Saya minta ubi harus dapat ubi, bukan minta ubi dikasih ketela,” kata Kelly.
Dari pernyataannya itu, jelas bahwa Kelly menegaskan bahwa kemerdekaan harga mutlak untuk Kelly. Hingga akhirnya para sandera dan tim ICRC pun lemas mendengar hal tersebut, mereka sadar bahwa perundingan yang rumit dan panjang ini harus melalui jalan buntu.
Melihat rumitnya situasi tersebut, kala itu Brigjen Prabowo langsung menggerakkan pasukan begitu mendengar lampu hijau. Pergerakan pasukan pun dilakukan, misalnya saja seperti pengintaian lewat udara yang dilakukan terus menerus. Bahkan, sebuah pesawat tanpa awak yang bisa mendeteksi panas tubuh juga turut dikerahkan.
Selama proses berlangsung, memang tak mudah untuk melacak jejak para sandera, apalagi mereka berada di tengah hutan belantara Papua yang sangat lebat dan luas. Namun, TNI sendiri tak menyerah begitu saja dan terus melakukan tekanan kepada pihak penyandera.
Baca Juga: Penembakan KKB di Papua: Cerita Korban Selamat dan Pelaku Diduga OPM
Hasilnya, kelompok OPM yang terdesak terus bergerak masuk ke dalam hutan. Ketika itulah, saat dalam keadaan panik, pada tanggal 15 Mei, OPM membunuh dua anggota Tim Lorentz yakni Navy dan Matheis. Keduanya dibantai dengan kampak.
Yang mengerikan adalah ternyata pihak OPM sendiri awalnya berniat membunuh seluruh sandera yang berasal dari Indonesia dan hanya menyandera warga negara asing. Namun, akhirnya sisa sandera berlari menyelamatkan diri sembari berteriak histeris.
Tak hanya sampai di situ saja. Peristiwa mencekam masih terjadi setelahnya. Lalu, dalam keadaan putus asa mereka bertemu pasukan Linud 330 Kostrad yang telah mencoba mengikuti mereka berhari-hari. Pasukan pimpinan Kapten Agus Rochim tersebut menemukan permen dan pembalut wanita yang tercecer di hutan. Dua benda tersebutlah seolah jadi bukti dan semakin menambah keyakinan bahwa mereka tak jauh lagi dari sandera.
“Kami TNI Batalyon 330,” teriak salah satu anggota pasukan saat bertemu para sandera.
Akhirnya, ketegangan para sandera itu berubah menjadi rasa lega lantaran mereka sudah diselamatkan oleh pasukan elite baret hijau tersebut. Saat itu, Kapten Agus memerintahkan pasukannya membuat parameter dan melindungi para sandera yang selamat. Pasukan Yon 330 berkali-kali menembakan senjata untuk mencegah OPM mendekat.
Kapten Agus memutuskan untuk tak melakukan pengejaran atau melakukan pencarian pada dua sandera yang tewas dibunuh. Alasannya jelas, karena kekuatan pasukan OPM tak diketahui, sehingga hal itu justru membahayakan. Mereka juga pasti akan berusaha keras merebut sandera yang kini berada di tangan TNI.
“Pasukan saya cuma 25 orang. Harus dibagi dua satu menjaga di seberang sungai, satu lagi melindungi para sandera,” kata Agus.
Tim berkekuatan itu bermalam di hutan sepanjang semalaman. Cuaca buruk dan kabut menyebabkan jarak pandang hanya lima meter di dalam hutan. Kapten Agus terus berusaha memanggil bala bantuan.
“Kami masih dalam keadaan tegang. Baik mantan sandera maupun Batalyon 330 tetap bersiaga menghadapi kemungkinan dari GPK-OPM yang bernapsu merebut sandera,” kata Adinda Arimbi Saraswati, salah seorang sandera mengisahkan ketegangan malam itu.
Pengalaman Adinda itu ditulis dalam buku Sandera, 130 Hari terperangkap di Mapenduma yang diterbitkan Sinar Harapan tahun 1997. beruntungnya, tak ada serangan yang terjadi pada malam itu. Pagi harinya, personel tambahan Tim Kopassus pun datang dan mereka bertugas mengamankan lokasi dan mengevakuasi jenazah Navy dan Matheis.
Akhirnya, seluruh sandera pun dievakuasi dengan helikopter. Setelah 130 hari disandera, para peneliti bisa bebas sepenuhnya pada tanggal 16 Mei 1996. Mereka bisa pulang ke rumah dengan selamat. Pasukan TNI mendapat pujian dari dari dunia internasional atas prestasi mereka.
Prabowo pun pernah bercerita soal perjuangannya bersama Kopassus dalam operasi pembebasan sandera Mapenduma di Papua pada 1996 silam itu. Dalam Program Mata Najwa di Metro TV Rabu, 27 April 2011 pukul 22.05 WIB. Ia pun menceritakan betapa sulitnya perjuangan yang harus ia lakukan bersama pasukannya.
“Kesulitan yang paling besar waktu Mapenduma adalah alam. Jadi lingkungannya sangat sulit. Hutannya sangat sulit. Pohonnya sangat tinggi. Lebat. Komunikasi tidak ada. Dan kita tidak punya peta daerah itu. Biasanya kalau tentara itu pakai peta topografi 1:50.000. Bahkan ada negara-negara maju bisa 1:25.000. Kadang 1:10.000. Jadi lebih detail, lebih akurat. Kita pakai peta 1:1.000.000, ha…ha…ha,” kata Prabowo kepada Najwa Shihab.
“Dulu kita tidak punya akses pada satelit. Kalau sekarang lebih gampang, banyak satelit komersial bisa kita beli. Beli waktu, beli foto. Secara keseluruhan, kalau statistik itu ada statistik FBI. Dari semua operasi pembebasan sandera yang dicatat oleh FBI di seluruh dunia itu tingkat keberhasilannya hanya 50 persen.”
Prabowo pun mengungkapkan faktor yang menyebabkan operasi yang ia pimpin tersebut akhirnya berhasil meski probabilitasnya hanya 50 persen. Terlebih, Prabowo dan pasukannya menghadapi kesulitan dan keterbatasan selama menjalankan operasi.
“Yah, TNI pada waktu itu semangatnya tinggi. Modal kita semangat. Mungkin sekarang bisa disebut nekat. Tapi juga, ada faktor X. Katakanlah faktor keberuntungan, faktor karunia Tuhan. Bahkan, waktu itu, ada perwira SAS Inggris yang menilai kita tidak mungkin berhasil. James Bond yang bisa berhasil. Mereka katakan itu,” ujarnya.